PENENTUAN AWAL BULAN DENGAN HISAB ADALAH BID’AH
Ditulis oleh:
Ahmad Rifai bin Mas’ud Al-Indunisi
-semoga Alloh menjaganya-
Darul Hadits Dammaj
2 Romadhon 1433 H
Dalam menentukan masuknya awal bulan Hijriyah biasanya
dipergunakan dua cara: ru’yah dan hisab.Ru’yah (baca: rukyat atau
rukyah) adalah menentukan awal bulan dengan melihat terbitnya hilal (bulan
sabit baru) bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuq barat, sedangkan hisab adalah
menentukan awal bulan dengan menghitung derajat pergeseran manazil (tempat-tempat)
bulan.
Yang kami perhatikan selama di tanah air, selalu saja penentuan
tanggal 1 (satu) Romadhon danSyawwal menjadi
problem tahunan yang tak bisa dihindari dan tidak bisa untuk disatukan menjadi
satu pendapat. Salah satu ormas besar (sebut Muhammadiyah) berpendapat
bahwa penentuan awal bulan hanya dengan hisab bukan dengan ru’yah, sebaliknya
ormas yang lain berpendapat hanya dengan ru’yah bukan dengan hisab. Dan penulis
sendiri pernah meyakini pendapat yang pertama karena doktrin yang sedemikian
rupa dari sebagian pengurus Muhammadiyah.
Adapun yang benar dalam masalah ini adalah bahwa penentuan
masuknya awal bulan Hijriyah hanya dengan ru’yah, sementara penggunaan hisab
dalam hal ini hukumnya bid’ah, menyelisihi syariat Rosululloh ﷺ.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [آل عمران/31].
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka
ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa
kalian. Dan Alloh itu Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohim (Maha Menyayangi para
hamba).” (QS. Ali Imron:
31).
Syaikhul Islam -rohimahulloh- berkata: “Dan hanyalah kesempurnaan
rasa cinta pada beliau (Rosululloh ﷺ) dan pengagungannya itu
ada pada mutaba’ah (mengikutinya), taat dan mengikuti
perintahnya, menghidupkan sunnah-sunnahnya
yang lahiriyyah dan bathiniyyah, menyebarkan syariat yang beliau diutus
dengannya, menegakkan jihad untuknya dengan hati, tangan dan lisan. Maka inilah
jalan para As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang
mengikuti mereka dengan baik.” (Iqtidhoush Shirothol Mustaqim /2/hal.
124/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnu Katsir
-rohimahulloh- berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang
yang mengaku cinta pada Alloh, tapi dia tidak berada di atas jalan Muhammad
ﷺ, karena dia itu sungguh
pada hakikatnya telah berdusta di dalam pengakuannya, sampai dia itu mau
mengikuti syariat Muhammad ﷺ dan agama Nabi di dalam
seluruh ucapan dan keadaannya, sebagaimana telah tetap di dalam “Ash Shohih”
dari Rosululloh ﷺ yang bersabda:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا
فَهُوَ رَدُّ»
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan
dari urusan agama kami maka amalannya itu tertolak.”
Oleh karena itulah Alloh berfirman: (yang artinya:) “Katakanlah:
Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai
kalian” Yaitu kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi apa
yang kalian cari, yaitu diakuinya cinta kalian pada-Nya. Yang akan kalian
dapatkan adalah Alloh cinta pada kalian, dan itu lebih agung daripada yang
pertama. sebagaimana sebagian orang bijak berkata: “Bukanlah yang penting itu
kalian mencintai, tapi yang penting adalah kalian dicintai.” (Tafsirul Qur’anil
‘Azhim/1/hal. 494-495/cet. Darus Shiddiq).
Rosululloh ﷺ dalam banyak hadits mengaitkan kewajiban
puasa dengan ru’yah, di antaranya hadits ibnu Umar di Shohihain,
Rosululloh ﷺ berkata:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ» وفي رواية: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ،
وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْه.
“Berpuasalah kalian apabila melihatnya (hilal Romadhon) dan
berhentilah dari puasa apabila kalian melihatnya (hilal Syawwal). Dan apabila
kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah bilangan bulan.”Dan dalam riwayat yang lain: “Janganlah
kalian berpuasa kecuali apabila kalian melihat hilal dan jangan berhenti
berpuasa sampai kalian melihatnya.” (HR Bukhori:1909 dan Muslim:1081)
Juga hadits Abu Huroiroh
semakna dengannya, diriwayatkan oleh Bukhori (1900) dan Muslim (1080).
Dan dalam hadits Aisyah
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwa
Rosululloh ﷺ berhati-hati dalam bulan Sya’ban tidak
sebagaimana pada bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa bila melihat
hilal bulan Romadhon dan bila terhalang oleh awan beliau menggenapkan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari, lalu berpuasa.
Ibnu Daqiq Al-’Ied -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarhul
‘Umdah (2/206): “Aku berpendapat bahwahisab tidak boleh untuk
dijadikan pedoman dalam menentukan kapan puasa (Romadhon), karena
padanya terdapat penyerupaan bulan dengan matahari, sesuai dengan ilmu
perbintangan (astronomi). Dengan hisab itu mereka terkadang memajukan awal bulan
satu atau dua hari sebelum ru’yahnya. Apabila hisab dijadikan sebagai pedoman
maka artinya kita telah mengada-adakan di dalam syariat Islam ini sesuatu yang
tidak diizinkan oleh Alloh.”
Ibnu Baththol -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam
kitab Subulus Salam (2/423): “Di dalam hadits tersebut (hadits
Ibnu Umar ) terdapat bantahan terhadap orang yang menentukan awal bulan dengan
ilmu perbintangan, sedangkan yang terpandang dalam menentukan awal bulan adalah
dengan melihat hilal, dan kita telah dilarang dari takalluf (membebani
diri).”
Ibnu Bazizah -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam
kitab Subulus Salam (2/423): “Itu (penggunaan hisab) adalah
madzhab yang batil, sedangkan syariat telah melarang dari berlebih-lebihan
dalam ilmu nujum (perbintangan/astronomi), karena ilmu tersebut hanya
berdasarkan atas perkiraan dan tidak mungkin untuk mendapatkan kepastian
dengannya.”
Imam Ash-Shon’ani
menguatkan perkataan tersebut seraya berkata: “Dan jawaban yang paling tepat
dan gamblang bagi mereka (ahli hisab) adalah hadits yang disebutkan oleh imam
Bukhori dalam shohihnya (1913) dari Abdulloh bin Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-
bahwa Rosululloh ﷺ berkata:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ
«وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
“Kita adalah ummat yang ummi, tidak menulis tidak pula menghitung,
bulan itu kadang seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” -beliau
(mengisyaratkan dengan sepuluh jarinya tiga kali dan) melipat satu jarinya pada
kali ketiga-, dan kadang bulan itu seperti ini dan seperti ini dan seperti
ini,” maksud beliau adalah genap tiga puluh hari.”
Syaikhuna Muhammad bin Hizam -hafidzohulloh- berkata:
“Hadits tersebut juga disebutkan oleh imam Muslim:(1080)(15).”
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarh
Shohih Al-Bukhori hadits no.1913: “Yang dimaksud dengan hisab di sini
adalah menghitung pergeseran bintang-bintang, sedangkan pada masa itu tidak ada
yang mengerti tentang itu kecuali segelintir orang. Maka disandarkanlah
penetapan puasa dan lainnya kepada ru’yah sehingga mereka tidak susah payah
menanggung repotnya menghitung pergeseran bintang. Hukum tersebut terus berlaku
demikian, walaupun pada masa-masa setelah generasi tersebut banyak orang yang
mengerti tentang ilmu perbintangan. Bahkan yang dipahami dari dhohir
(konteks) hadits tersebut adalah menafikan sama sekali penyandaran hukum
(penetapan awal puasa dan lainnya) kepada hisab. Yang lebih
memperjelas hal itu adalah perkataan Rosululloh ﷺ dalam hadits yang lalu
(hadits Ibnu Umar dalam Shohih Bukhori:1906): ”Apabila kalian
terhalangi oleh awan (dari melihat hilal) maka perkirakanlah,” beliau
tidak mengatakan: Bertanyalah kalian kepada ahli perbintangan. –sampai pada
ucapan beliau:-
Sebagian orang berpendapat bolehnya merujuk kepada pendapat ahli
perbintangan dalam permasalahan tersebut, di antaranya adalah Rofidhoh,
dan dinukil dari sebagian ahli fikih pendapat yang sama dengan itu. Al-Baji
berkata: Ijma’ salafus sholih (tentang tidak bolehnya merujuk kepada ahli
perbintangan) adalah hujjah yang membantah pendapat mereka.”
Demikian perkataan Al-hafidh rohimahulloh.
Shiddiq Hasan Khon -rohimahulloh- dalam kitab Roudhotun
Nadiyyah (1/224) berkata (perkataan ini beliau nisbatkan kepada
As-Shon’ani): “Penentuan waktu baik hari ataupun bulan dengan dengan
perhitungan hisab terhadap tempat-tempat beredarnya bulan hukumnya adalah bid’ah menurut
kesepakatan ummat.”
Lajnah Daimah ketika ditanya tentang masalah ini (fatwa no.386)
menjawab: “Merujuk kepada ilmu perbintangan dalam menetapkan awal bulan-bulan
qomariyah dan kaitannya dengan ibadah-ibadah disertai dengan mengesampingkan
ru’yah adalah suatu bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan
tidak ada dasarnya dalam syariat.”
Demikian, kami memohon
kepada Alloh semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, khususnya bagi
siapa saja yang mencari kebenaran dengan dalilnya. Wabillahittaufiq.
Maroji’:
1.
Ithaful Anam Bi Ahkam wa Masail Ash-Shiyam, karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani cet.
Maktabah Al-Falah edisi kedua.
2.
Fathul Bari Syarh Shohihul Bukhori, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar, cet. Darul Hadits,
edisi pertama.
3.
Subulus salam Syarh Bulughul Marom, karya Ash-Shon’ani, cet. Maktabah Al-Ma’arif,
edisi pertama.
4.
Ihkamul Ahkam syarh ‘Umdatil Ahkam, karya Ibnu Daqiq Al-Ied, cet. Maktabatus Sunnah
Al-Muhammadiyyah.
Ar-Roudhotun
Nadiyyah, karya Shiddiq Hasan Khon Al-Qonnuji, cet. Darul Ma’rifah