Powered By Blogger

Translate

Kamis, 26 Juli 2012

PENENTUAN AWAL BULAN DENGAN HISAB ADALAH BID’AH


PENENTUAN AWAL BULAN DENGAN HISAB ADALAH BID’AH http://isnad.net/wp-content/themes/fbone/images/baru4.gif
Ditulis oleh:
Ahmad Rifai bin Mas’ud Al-Indunisi
-semoga Alloh menjaganya-
Darul Hadits Dammaj
2 Romadhon 1433 H
Dalam menentukan masuknya awal bulan Hijriyah biasanya dipergunakan dua cara: ru’yah dan hisab.Ru’yah (baca: rukyat atau rukyah) adalah menentukan awal bulan dengan melihat terbitnya hilal (bulan sabit baru) bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuq barat, sedangkan hisab adalah menentukan awal bulan dengan menghitung derajat pergeseran manazil (tempat-tempat) bulan.
Yang kami perhatikan selama di tanah air, selalu saja penentuan tanggal 1 (satu) Romadhon danSyawwal menjadi problem tahunan yang tak bisa dihindari dan tidak bisa untuk disatukan menjadi satu pendapat. Salah satu ormas  besar (sebut Muhammadiyah) berpendapat bahwa penentuan awal bulan hanya dengan hisab bukan dengan ru’yah, sebaliknya ormas yang lain berpendapat hanya dengan ru’yah bukan dengan hisab. Dan penulis sendiri pernah meyakini pendapat yang pertama karena doktrin yang sedemikian rupa  dari sebagian pengurus Muhammadiyah.
Adapun yang benar dalam masalah ini adalah bahwa penentuan masuknya awal bulan Hijriyah hanya dengan ru’yah, sementara penggunaan hisab dalam hal ini hukumnya bid’ah, menyelisihi syariat Rosululloh .
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [آل عمران/31].
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Alloh itu Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohim (Maha Menyayangi para hamba).” (QS. Ali Imron: 31).
Syaikhul Islam -rohimahulloh- berkata: “Dan hanyalah kesempurnaan rasa cinta pada beliau (Rosululloh ) dan pengagungannya itu ada pada mutaba’ah (mengikutinya), taat dan mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnah-sunnahnya yang lahiriyyah dan bathiniyyah, menyebarkan syariat yang beliau diutus dengannya, menegakkan jihad untuknya dengan hati, tangan dan lisan. Maka inilah jalan para As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik.” (Iqtidhoush Shirothol Mustaqim /2/hal. 124/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnu Katsir -rohimahulloh- berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Alloh, tapi dia tidak berada di atas jalan Muhammad  , karena dia itu sungguh pada hakikatnya telah berdusta di dalam pengakuannya, sampai dia itu mau mengikuti syariat Muhammad dan agama Nabi di dalam seluruh ucapan dan keadaannya, sebagaimana telah tetap di dalam “Ash Shohih” dari Rosululloh yang bersabda:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ»
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari urusan agama kami maka amalannya itu tertolak.”
Oleh karena itulah Alloh berfirman: (yang artinya:) “Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian” Yaitu kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi apa yang kalian cari, yaitu diakuinya cinta kalian pada-Nya. Yang akan kalian dapatkan adalah Alloh cinta pada kalian, dan itu lebih agung daripada yang pertama. sebagaimana sebagian orang bijak berkata: “Bukanlah yang penting itu kalian mencintai, tapi yang penting adalah kalian dicintai.” (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim/1/hal. 494-495/cet. Darus Shiddiq).
Rosululloh dalam banyak hadits mengaitkan kewajiban puasa dengan ru’yah, di antaranya hadits ibnu Umar di Shohihain, Rosululloh berkata:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ» وفي رواية: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْه.
“Berpuasalah kalian apabila melihatnya (hilal Romadhon) dan berhentilah dari puasa apabila kalian melihatnya (hilal Syawwal). Dan apabila kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah bilangan bulan.”Dan dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian berpuasa kecuali apabila kalian melihat hilal dan jangan berhenti berpuasa sampai kalian melihatnya.” (HR Bukhori:1909 dan Muslim:1081)
Juga hadits Abu Huroiroh semakna dengannya, diriwayatkan oleh Bukhori (1900) dan Muslim (1080).
Dan dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh  Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwa Rosululloh berhati-hati dalam bulan Sya’ban tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa bila melihat hilal bulan Romadhon dan bila terhalang oleh awan beliau menggenapkan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, lalu berpuasa.
Ibnu Daqiq Al-’Ied -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah (2/206): “Aku berpendapat bahwahisab tidak boleh untuk dijadikan pedoman dalam menentukan kapan puasa (Romadhon), karena padanya terdapat penyerupaan bulan dengan matahari, sesuai dengan ilmu perbintangan (astronomi). Dengan hisab itu mereka terkadang memajukan awal bulan satu atau dua hari sebelum ru’yahnya. Apabila hisab dijadikan sebagai pedoman maka artinya kita telah mengada-adakan di dalam syariat Islam ini sesuatu yang tidak diizinkan oleh Alloh.”
Ibnu Baththol -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Subulus Salam (2/423): “Di dalam hadits tersebut (hadits Ibnu Umar ) terdapat bantahan terhadap orang yang menentukan awal bulan dengan ilmu perbintangan, sedangkan yang terpandang dalam menentukan awal bulan adalah dengan melihat hilal, dan kita telah dilarang dari takalluf (membebani diri).”
Ibnu Bazizah -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Subulus Salam (2/423): “Itu (penggunaan hisab) adalah madzhab yang batil, sedangkan syariat telah melarang dari berlebih-lebihan dalam ilmu nujum (perbintangan/astronomi), karena ilmu tersebut hanya berdasarkan atas perkiraan dan tidak mungkin untuk mendapatkan kepastian dengannya.”
Imam Ash-Shon’ani menguatkan perkataan tersebut seraya berkata: “Dan jawaban yang paling tepat dan gamblang bagi mereka (ahli hisab) adalah hadits yang disebutkan oleh imam Bukhori dalam shohihnya (1913) dari Abdulloh bin Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwa Rosululloh berkata:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ «وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
“Kita adalah ummat yang ummi, tidak menulis tidak pula menghitung, bulan itu kadang seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” -beliau (mengisyaratkan dengan sepuluh jarinya tiga kali dan) melipat satu jarinya pada kali ketiga-, dan kadang bulan itu seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” maksud beliau adalah genap tiga puluh hari.
Syaikhuna Muhammad bin Hizam -hafidzohulloh- berkata: “Hadits tersebut juga disebutkan oleh imam Muslim:(1080)(15).”
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarh Shohih Al-Bukhori hadits no.1913: “Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah menghitung pergeseran bintang-bintang, sedangkan pada masa itu tidak ada yang mengerti tentang itu kecuali segelintir orang. Maka disandarkanlah penetapan puasa dan lainnya kepada ru’yah sehingga mereka tidak susah payah menanggung repotnya menghitung pergeseran bintang. Hukum tersebut terus berlaku demikian, walaupun pada masa-masa setelah generasi tersebut banyak orang yang mengerti tentang ilmu perbintangan. Bahkan yang dipahami dari dhohir (konteks) hadits tersebut adalah menafikan sama sekali penyandaran hukum (penetapan awal puasa dan lainnya) kepada hisab. Yang lebih memperjelas hal itu adalah perkataan Rosululloh dalam hadits yang lalu (hadits Ibnu Umar dalam Shohih Bukhori:1906):   ”Apabila kalian terhalangi oleh awan (dari melihat hilal) maka perkirakanlah,” beliau tidak mengatakan: Bertanyalah kalian kepada ahli perbintangan. –sampai pada ucapan beliau:-
Sebagian orang berpendapat bolehnya merujuk kepada pendapat ahli perbintangan dalam permasalahan tersebut, di antaranya adalah Rofidhoh, dan dinukil dari sebagian ahli fikih pendapat yang sama dengan itu. Al-Baji berkata: Ijma’ salafus sholih (tentang tidak bolehnya merujuk kepada ahli perbintangan) adalah hujjah yang membantah pendapat mereka.” Demikian perkataan Al-hafidh rohimahulloh.
Shiddiq Hasan Khon -rohimahulloh- dalam kitab Roudhotun Nadiyyah (1/224) berkata (perkataan ini beliau nisbatkan kepada As-Shon’ani): “Penentuan waktu baik hari ataupun bulan dengan dengan perhitungan hisab terhadap tempat-tempat beredarnya bulan hukumnya adalah bid’ah menurut kesepakatan ummat.”
Lajnah Daimah ketika ditanya tentang masalah ini (fatwa no.386) menjawab: “Merujuk kepada ilmu perbintangan dalam menetapkan awal bulan-bulan qomariyah dan kaitannya dengan ibadah-ibadah disertai dengan mengesampingkan ru’yah adalah suatu bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan tidak ada dasarnya dalam syariat.”
Demikian, kami memohon kepada Alloh semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, khususnya bagi siapa saja yang mencari kebenaran dengan dalilnya. Wabillahittaufiq.
Maroji’:
1. Ithaful Anam Bi Ahkam wa Masail Ash-Shiyam, karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani cet. Maktabah Al-Falah edisi kedua.
2. Fathul Bari Syarh Shohihul Bukhori, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar, cet. Darul Hadits, edisi pertama.
3. Subulus salam Syarh Bulughul Marom, karya Ash-Shon’ani, cet. Maktabah Al-Ma’arif, edisi pertama.
4. Ihkamul Ahkam syarh ‘Umdatil Ahkam, karya Ibnu Daqiq Al-Ied, cet. Maktabatus Sunnah Al-Muhammadiyyah.
Ar-Roudhotun Nadiyyah, karya Shiddiq Hasan Khon Al-Qonnuji, cet. Darul Ma’rifah

Minggu, 22 Juli 2012

NASIHAT SINGKAT UNTUK SAUDARA-SAUDARA KAMI AHLUS SUNNAH DI INDONESIA -HAFIZHOHUMULLOH-




Kami menasihatkan kepada saudara-saudara kami agar bertakwa kepada Alloh taala dan berpegang tegung dengan Al Kitab Was Sunnah di atas pemahaman Salafush sholih, kemudian bersemangat dalam mempelajari ilmu agama ini, karena Alloh ta'ala berfirman kepada nabi-Nya:

“Katakanlah wahai Rosululloh: Wahai Robbku tambahkanlah padaku ilmu.”
Dan Alloh berfirman pula:

“Apakah orang-orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu itu adalah haq sama seperti orang yang buta? Hanyalah yang berpikir itu adalah orang-orang yang punya akal.”
Menuntut ilmu adalah termasuk kewajiban. Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori dan Muslim dari Muawiyah rodhiyallohu anhu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diinginkan oleh Alloh kebaikan untuknya Alloh akan memahamkan kepadanya ilmu agama.” (HSR Al Bukhori (71) dan Muslim (2386))

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan konsekuensi dari itu adalah bahwasanya barangsiapa yang tidak diberikan pemahaman terhadap ilmu agama ini maka berarti Alloh tidak menginginkan kepadanya kebaikan. Memahami ilmu agama ini adalah wajib. dan mengetahui hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya dari Al Qur’an dan As Sunnah. Maka barangsiapa tidak mengetahui yang demikian itu maka dia bukan termasuk orang yang paham terhadap agama ini.” (“Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah” 3 hal. 198)
Dan termasuk dari perkara yang telah tetap di kalangan salaf bahwa sesungguhnya ilmu itu tidak diambil dari orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dan orang-orang yang tercela. 
Al Imam Muslim berkata di muqodimah shahihnya: telah menceritakan kepadaku Makh;lad bin Husian dari Hisyam dari Muhammad bin Sirin berkata:

"Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama tersebut."
Dan beliau berkata pula: telah menceritakan kepadaku Abu Ja'far Muhammad bin Shobbah, telah menceritakan kepadaku Ismail bin Zakaria, dari Ashim Al Ahwal dari Ibnu Sirin berkata:

Mereka dahulunya tidak menanyakan tentang isnad maka ketika terjadi fitnah mereka berkata,"Sebutkan kepada kami rawi-rawi kalian." Dilihat kepada Ahlis sunnah diambil hadits mereka, dan dilihat kepada ahlul bid'ah tidak diambil hadits mereka."
Maka kami juga menasihatkan kepada saudara-saudara kami -waffaqahumulloh- agar mereka bersungguh-sungguh dalam menuntu ilmu, karena sesungguhnya kita ini berada di zaman yang penuh dengan fitnah dan syubhat. Barangsiapa yang berpaling dari ilmu dan sunnah maka dia akan terjatuh kedalam bid`ah, bid`ah tashowwuf, bid`ah tasyayyu', dan bid'ah tahazzub. Dan keselamatan dan keterjagaan dari terjatuhnya ke dalam bid'ah adalah: senantiasa berada di atas sunnah dan mempelajari ilmu agama. Sebagaimana Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kamian mengikuti jalan-jalan yang lain yang dengannya kalian akan tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu telah Kami wasiatkan kepada kalian agar kalian bertaqwa."
Dan saya menasihatkan kepada saudara-saudara kami untuk menempuh perjalanan menuju ke ulama sunnah dan ke Darul Hadits di Dammaj harosahalloh, yang tempat ini dibangun sejak awalnya di atas sunnah, dan tidak ada yang semisalnya di zaman ini, dari segi tamayyuz ("pemisahan diri dari ahlul bathil") dan penetapan aqidah salafiyyah, dan bantahan terhadap ahlul bid'ah, orang yang sesat dan menyimpang. Tempat tersebut yang membangunnya adalah syaikh kami Al Mujaddid (pembaharu), penolong sunnah, dan penumpas bid'ah Abu Abdirrohman Muqbil bin Hadi Al Wadi'i –semoga Alloh merohmatinya dan memuliakan tempat tinggalnya-.
Dan tidak asing lagi bahwa tempat tersebut Alloh telah memberikan manfaat hidayah dengannya kebanyakan manusia, dan mengeluarkan darinya para masyayikh dan penuntut ilmu yang bertebaran di penjuru seluruh dunia sebagai da'i yang menyeru kepada tauhid dan sunnah dan manhaj salaf. Dan terus-menerus –dengan segala pujian untuk Alloh- tempat tersebut hidup dengan ilmu dan sunnah. Dan setelah Syaikh Muqbil digantikan dengan wasiatnya oleh Syaikh Al Muhaddits Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuri –semoga Alloh menjaganya- beliau mengurusi dakwah ini dengan sebaik-baik pengurusan. Sangat lantang dalam mengemukakan kebenaran, menolong sunnah, memberantas kebid'ahan dan ahlul bid'ah. Semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan. Syaikh kami berkata –semoga Alloh merahmatinya- di dalam muqoddimah kitab Syaikh Yahya "Ahkamul Jum'ah wabida'iha":
"Aku telah melihat kitab "Al Jum'ah" karya Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri -hafidhahulloh- maka aku mendapatinya sebagai suatu kitab yang agung. Di dalamnya ada faidah-faidah yang pantas untuk dicari walaupun dengan perjalanan yang sungguh-sungguh. Dan Syaikh Yahya -hafidhahulloh- berada pada puncak kehati-hatian dalam memilih, taqwa, zuhud, wara', dan takut pada Alloh. Dan beliau adalah orang yang sangat berani dalam mengemukakan kebenaran, tidak takut -karena Alloh- celaan orang yang mencela. Dan beliaulah -hafidhahulloh- yang menjadi penggantiku dalan penyampaian durus (pelajaran-pelajaran) di Darul Hadits di Dammaj, beliau menyampaikannya dengan cara yang terbaik yang kita inginkan." (muqoddimah kitab "Al Jum'ah wa Bida'uha"/Fadhilatusy Syaikh An Nashihul Amin Yahya bin Ali Al Hajuri hafidhahulloh-)
Barangsiapa yang menjadi saksi untuk beliau adalah pakarnya, maka cukuplah itu. Dan telah mengirimkan kepadaku beberapa ikhwah Indonesia ahlussunnah yang menuntut di Dammaj sebuah surat yang di dalamnya terdapat beberapa lembaran yang telah ditulis dari hasil rekaman milik seseorang yang bernama Luqman Ba Abduh. Dan aku telah membacanya dan kudapati di dalamnya celaan, kedustaan dan kebohongan terhadap Syaikh Yahya Al Hajuri serta terhadap ma'had, yaitu Darul Hadits yang orang-orang berakal merasa malu darinya. Dan tidak asing lagi bagi kalian bahwasanya cercaan kepada ulama sunnah itu termasuk tanda-tanda ahlul bid'ah dan penyimpangan.
Imam Abu Hatim Ar razi -rahimahulloh- berkata:
عَلامةُ أَهلِ البدَعِ الوَقيعةُ في أَهلِ الأَثَر
"Ciri-ciri ahli bida' adalah mencela ahlil atsar." (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits/Ash Shobuni/hal. 109)
Imam Ahmad bin Sinan -rahimahulloh- berkata:
ليس في الدنيا مبتدع إلا وهو يبغض أهل الحديث؛ وإذا ابتدع الرجل نزع حلاوة الحديث من قلبه
"Tiada di dunia seorang mubtadi'pun kecuali dia itu dalam keadaan membenci ahlul hadits. Dan jika seseorang berbuat bid'ah, dicabutlah darinya manisnya hadits dari hatinya" ("Aqidatus Salaf"/Ash Shobuni/hal. 109)
Dan apabila telah nyata dari perkataan saudara-saudaraku para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah Indonesia di Dammaj bahwasanya Luqman ini bukanlah orang yang jujur. Dan sesungguhb nya dia itu adalah pendusta terhadap apa-apa yang dikatakan sebagaimana yang dikuatkan oleh Abu Hazim dean selainnya. Maka termasuk perkara yang telah dikatshui bersama bahwa persaksian ahlussunnah itu ditermia. Bahkan khobar satu orang yang adil itu diterima di sisi ahlussunnah. Bagaimana jika mereka itu merupakan saekumpulan dari para penuntut ilmu yang mulia? Maka ini cukup dalam menetapkan kebohongan orang tadi . Dan orang pendusta itu tidak dipercaya dan tidak diterima khobarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- berkata,"Perbedaan antara seorang mukmin dan munafiq adalah kejujuran. Karena sesungguhnya landasan dari kemunifakan itu adalah kedustaan." ("Majmu' Fatawa Syaikhul Islam" 2 hal. 72) 
Dan yang terakhir saya ingin mengingatkan kepada suatu perkara yang penting bahwasanya Luqman ini tidak bisa membedakan antara kritikan yang syari dan bagaimana menjelaskan kesalahan dengan bagaiomana celaan yang diusertai dengan kebohongan dan kedustaan yang ini semua menunjukkan bodohnya dia terhadap sunnah dan manhaj salaf.
Al Hafidh Ibnul Qoyyim -rahimahulloh- berkata:
من سبَ بالبُرهان ليس بظالمٍ والظلمُ سبُ العبدِ بالبهتان
"Barangsiapa mencela dengan disertai bukti maka dia itu bukanlah termasuk orang yang dzolim. Dan kedzoliman itu adalah celaan seseorang dengan kedustaan."
Syaikh Al Harrosh -rahimahulloh- berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang mencela lawan bicaranya dengan dalil maka dia itu bukanlah termasuk orang yang dzoplim. Dan bukan termasuk orang yang meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Akan tetapi kedzoliman itu adalah celaan seseorang dengan kepalsuan dan jkebohongan." (Syarh Nuuniyyah Ibnul Qoyyim 2 hal. 340)
Dan yang terakhir aku mengulangi nasihat ini kepada saudara-saudara kami ahlussunnah di Indonesia agar menjauhi orang yang dikaetahui kedustaannya seperti orang ini. Dan tidak pantas orang ini diambil ilmu darinya. Wallohul musta'an.

Sabtu, 21 Juli 2012

TUNTUNAN AS-SUNNAH TENTANG TATA CARA MANDI JANABAH



بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Permasalahan thoharoh (bersuci) adalah permasalahan yang sangat penting. Oleh karena itu pengetahuan tentangnya merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sebab, pada sah dan tidaknya thoharoh seseorang, bergantung sah dan tidaknya sholat orang tersebut. Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- telah bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُور
“Sholat itu tidaklah akan diterima  tanpa bersuci.” (HR. Muslim)
Keadaan suci yang dituntut dari seorang hamba sebelum mengerjakan sholat mencakup suci dari najis dan suci dari hadats baik besar maupun kecil.
Pada tulisan ini akan kami paparkan secara ringkas –insya Alloh- tuntunan syariat Islam yang sempurna dalam permasalahan bersuci dari hadats besar, mengingat banyaknya orang yang lalai seputar permasalahan ini.
SEBAB-SEBAB DIWAJIBKANNYA MANDI
1. Keluarnya mani baik dari laki-laki ataupun perempuan, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Sebagaimana sabda Rosululloh -Shollallohu’alaihi wa sallam-:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاء
“Sesungguhnya mandi itu (diwajibkan) karena (keluarnya) air (mani).” (HR. Muslim)
Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa keluarnya mani merupakan sebab wajibnya mandi tanpa membedakan apakah keluarnya itu dalam keadaan terjaga atau tertidur.
Sebagian ulama mempersyaratkan adanya syahwat jika mani tersebut keluar dalam keadaan terjaga. Akan tetapi yang rojih (kuat) tidak adanya syarat tersebut. Kapan saja didapati mani keluar darinya maka wajib baginya mandi berdasarkan konteks hadits di atas.[1]
Adapun jika keluarnya mani ketika tidur maka telah diriwayatkan dari Ummi Salamah –radhiyallohu ‘anha- berkata; bahwa ummu sulaim bertanya kepada Nabi –Shollallohu’alaihi wa sallam- :
يَا رَسُولَ الله، إِنَّ الله لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟
“Sesungguhnya Alloh itu tidak malu dari kebenaran, apakah wajib bagi wanita untuk mandi jika dia ihtilam (mimpi basah)?”
Beliau menjawab:
نَعَمْ، إِذَا رَأَتْ الْمَاء
“Ya, (wajib baginya mandi) jika melihat adanya air mani.” (Muttafaqun alaih)
Dalam hadits ini Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- menjelaskan bahwa kewajiban mandi jatuh pada seseorang yang ihtilam (mimpi basah) dan mendapatkan adanya air mani setelah terjaga. Tidak dipersyaratkan bahwa dia teringat mimpi tersebut atau tidak. Cukup dengan didapati mani yang seseorang itu yakin bahwa mani tersebut berasal darinya, diwajibkan baginya mandi janabah.
Jadi keadaan seseorang yang bermimpi atau mendapatkan cairan selepas tidur ada tiga macam:
·         Bermimpi dan mendapati mani pada pakaiannya, maka diwajibkan mandi padanya.
·         Bermimpi dan ketika bangun tidak mendapati cairan apa-apa, maka tidak wajib mandi baginya.
·         Tidak ingat apakah mimpi atau tidak tapi mendapati mani pada pakaiannya, maka wajib baginya mandi.
Kondisi ketiga inilah yang sering dipertanyakan orang, apakah wajib mandi atau tidak? Kondisi ini sering terjadi pada seseorang yang tidur kelelahan habis kerja berat atau pada musim dingin.
Untuk bisa menghukumi apakah wajib mandi atau tidak seseorang harus mengetahui ciri-ciri mani itu sendiri.
Imam Nawawi telah menjelaskan tentang ciri-ciri mani dalam perkataan beliau: “Mani seorang laki-laki dalam keadaan sehat berwarna putih, kental, keluar dengan memancar, keluar dengan syahwat, dia merasakan kenikmatan ketika keluarnya. Kemudian jika telah keluar disusul rasa lemas. Baunya seperti runjung korma yang mirip dengan bau adonan tepung. Apabila telah kering baunya seperti telur. Inilah sifat-sifat mani. Terkadang sebagian sifat-sifat tersebut tidak didapati padahal yang keluar itu adalah mani yang mewajibkan mandi.” [Al-Majmu’: 2/ 141]
Adapun mani wanita warnanya kekuningan dan tidak pekat. Keluarnya juga  diiringi dengan syahwat dan disusul denga rasa lemas.
Perlu ditegaskan bahwa tidak dipersyaratkan terkumpulnya semua ciri-ciri di atas sehingga seseorang bisa menghukumi bahwa yang keluar itu mani, sebagaimana dijelaskan imam Nawawi pada akhir perkataan beliau.
Sebagai contoh: seorang yang habis kerja berat dan mendapati setelah tidur cairan pada celananya biasanya tidak didapati kekentalan ataupun warna putih pada cairan tersebut. Akan tetapi dia mendapati bau yang khas dan yakin bukan bau kencing, maka dengan ini dia menghukumi bahwa yang keluar itu mani.
Adapun jika yang keluar bukan mani, dengan melihat ciri-ciri yang ada, baik sifat maupun baunya, maka tidak diwajibkan padanya mandi.
1. Jima’ (bersetubuh), walaupun tidak keluar mani ketika terjadi jima’ tersebut. Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْل
“Jika seorang  laki-laki duduk di antara dua tangan dan kaki wanita (maksudnya: jima’) dan bertemu antara kelamin laki-laki dan perempuan maka telah wajib baginya untuk mandi.” (HR. Muslim dari Aisyah, datang juga dari Abu Huroiroh muttafaqun alaih dengan lafadz yang hampir sama)
Pertemuan dua alat kelamin yang dimaksud dalam hadits adalah masuknya kepala dzakar ke dalam kelamin perempuan.[ Lihat Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (2/ 133)]
Masuk di dalam permasalahan ini jika si laki-laki memakai kondom. Tetap diwajibkan padanya mandi karena tercakup dalam keumuman hadits Abu Huroiroh sebagaimana dirajihkan oleh Syaikhuna Muhammad Hizam dan merupakan pendapat imam Nawawi.
1. Berhentinya haidh maupun nifas.
Berdasarkan hadits Aisyah –radhiyallohu ‘anha-: bahwa Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- berkata kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Jika haidh mendatangimu maka tinggalkanlah sholat, dan apabila telah selesai (haidh tersebut) maka mandilah kemudian sholatlah”( HR Bukhory-Muslim)[2]
TATA CARA MANDI JANABAH
Pada mandi janabah ada dua rukun yang wajib untuk dilakukan, kapan saja kedua rukun ini tidak terpenuhi maka mandinya tidak sah. Kedua rukun tersebut adalah:
1. Niat mandi janabah.
Berdasarkan hadits:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Seluruh amalan itu berdasar pada niatnya.” (HR Bukhory-Muslim)
Oleh karena itu apabila seseorang junub kemudian mandi tanpa berniat mandi janabah maka tidak sah mandinya dan hadats besar yang ada padanya belum terangkat.
1. Membasahi seluruh anggota tubuh dengan air. Apabila ada anggota tubuh yang tidak terkena air maka mandinya tidak sah. Berdasarkan sabda Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- kepada seseorang yang tidak ikut sholat bersama Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- karena junub, maka beliau memberikan air kepadanya dan berkata:
اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْك
“Pergilah dan siramkan air ini ke tubuhmu.”(Muttafaq alaih dan lafadh ini di Bukhory)
Dari rukun ini kita pahami bahwa dengan cara apa saja seseorang mandi, maka mandinya sah jika air mencapai seluruh anggota tubuhnya, baik itu dengan mengguyurkan air ataupun dengan menceburkan diri ke sungai atau laut.
Jika kedua rukun telah terpenuhi maka mandi seseorang telah sah. Namun sebagai seorang sunny tentunya menginginkan tata cara yang lebih sempurna daripada yang telah tersebut di atas. Hal ini tidak lain dengan mencontoh tata cara mandi Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam-.
Telah datang dalam permasalahan ini dua hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhory dan Muslim:
Pertama: hadits Aisyah, dia berkata:
كَانَ رَسُول الله -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ وفي رواية: كَفَّيْهِ ثلاثا-، ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ، حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْه
“Rosululloh biasanya jika mandi janabah, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya –pada riwayat yang lain: kedua telapak tangan tiga kali-, kemudian menyiramkan air dengan tangan kanannya  ke tangan kiri dan mencuci kemaluan dengannya, kemudian beliau wudhu sebagaimana wudhunya ketika mau sholat, kemudian menciduk air dan menyisipkan jari-jari tangannya ke poros rambut, sehingga ketika telah merasa bahwa air sudah mencapai (kulit kepala), beliau mengguyurkan air ke kepala tiga kali, kemudian mengguyur seluruh badannya, kemudian beliau mencuci kedua kakinya.” (HR Bukhory-Muslim)
Kedua: hadits Maimunah. Hadits kedua ini pada asalnya hampir sama dengan hadits yang pertama, kecuali pada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu: disebutkannya bahwa Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- setelah mencuci kemaluan dengan tangan kirinya, beliau mengusapkan tangan kirinya itu ke tanah dan menggosokkannya. Juga disebutkan pada hadits ini bahwa Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- menolak handuk yang diberikan Maimunah.
Dari kedua hadits di atas dapat kita perinci tentang tata cara mandi yang sesuai sunnah sebagai berikut:
1. Mencuci tangan tiga kali.
2. Mencuci kemaluan dengan dengan tangan kiri dan tangan kanan yang mengguyurkan air.
3. Berwudhu seperti wudhu untuk sholat.
4. Mengambil air dan menyela-nyelai rambut dengannya sampai terasa bahwa air mencapai kulit kepala dan merata.
Apabila dia memiliki jenggot, maka diwajibkan pula untuk menyela-nyelainya sehingga air sampai pada kulit.
1. Mengguyur kepala tiga kali.
2. Mengguyur seluruh badan.
Para ulama juga menyebutkan bahwa menggosok badan juga termasuk yang disunnahkan karena hal tersebut menambah bersih dan sempurnanya mandi seseorang.
1. Mencuci kedua kaki. Hal ini bisa dilakukan ketika wudhu sebagaimana hadits Aisyah, atau setelah selesai semua baru mencuci kaki sebagaimana hadits Maimunah. [Lihat: Fathul bari, hadits no. 249]
Adapun menyeka air dengan handuk, maka ini adalah perkara yang boleh. Sebab penolakan Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- terhadap kain yang diberikan Maimunah tidaklah berarti bahwa menyeka air selepas mandi terlarang. Bahkan Rosululloh sendiri telah melakukannya, walaupun tidak dengan handuk, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah.
Inilah secara ringkas tata cara mandi yang dicontohkan oleh Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- yang sepantasnya bagi setiap muslim untuk mengamalkannya.
Mungkin seseorang akan bertanya: “Apakah tata cara ini berlaku juga bagi wanita?”
Kita jawab: Bahwa syariat ini pada dasarnya berlaku bagi laki-laki dan perempuan kecuali bila ada dalil yang menunjukkan adanya kekhususan pada salah satu dari keduanya.
Pada permasalahan kita ini, telah datang hadits dari Ummi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rosululloh: “ Wahai Rosululloh, saya seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku urai (kepangan itu) untuk mandi janabah?”
Rosululloh menjawab:
لَا. إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
”Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menyiramkan air di kepalamu tiga kali siraman kemudian mengguyurkan air ke badanmu, maka (dengan ini) engkau telah suci .” [HR. Muslim: 330]
Hadits di atas menunjukkan bahwa apabila seseorang memiliki rambut yang dikepang maka tidak wajib baginya untuk melepasnya ketika mandi janabah. Dengan syarat bahwa kepangan tersebut tidak mencegah sampainya air ke kulit kepala. Apabila kepangan itu menghalangi maka wajib untuk diurai sehingga air bisa mencapai kulit kepala. Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama dan dirajihkan oleh: Syaikh bin Baz dan Muhamad bin Ibrohim. [Fatawa lajnah: 5/ 320, Fathul Allam: 1/ 324]
Dari hadits di atas juga dipetik hukum bahwa rambut wanita yang panjang tidaklah wajib untuk dibasahi ketika mandi. Sebab Rosululloh tidaklah memerintahkan dalam hadits tersebut untuk mengurai kepangan, padahal jika keadaannya seperti ini kebanyakannya air tidak bisa mencapai bagian dalam kepangan tersebut. Seandainya membasahi seluruh rambut itu wajib bagi wanita maka tentu Rosululloh akan memerintahkan Ummu Salamah untuk mengurai rambutnya yang dikepang. [Al-Mugniy: 1/ 301-302, Fathul Bari-Ibnu Rojab: 256]
Wallohu A’lam, inilah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini, semoga bisa bermanfaat dan diamalkan.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
Ditulis Oleh: Abu Zakaria Irham Al-Jawiy
Darul Hadits, Sabtu 6 Rojab 1433
Semoga Alloh Menjaganya

[1] Ini adalah pendapat ibnu Hazm (Al-Muhalla: 173) dan dirajihkan oleh Syikhuna Muhammad Hizam.
[2] Para ulama juga menyebutkan sebab- sebab lain yang dengannya seseorang diwajibkan mandi, yaitu: ketika seseorang masuk islam dan ketika seseorang ingin menghadiri sholat jum’at. Sengaja Penulis tidak cantumkan karena diluar pokok pembahasan.

Pelajaran dari Salman al-Farisiy (Terus menerus mencari al-Haqq)



SALMAN AL-FAARISIY 
rodhiyallahu ‘anhu

TELADAN PENCARI KEBENARAN
(DISERTAI BEBERAPA FAIDAH
 HADITS)
~ Faidah dari Pelajaran Umum Abu Abdirrohman Yahya bin ‘Ali Al-Hajury ~
Dirangkum: Abu Ja’far Al-Minangkabawy
Alih Bahasa: Abu Ubaidillah ‘Amir bin Munir Al-Acehy
-semoga Alloh menjaga mereka-
Ma’had 
Darul Hadits Dammaj – Yaman
إن الحمد لله نستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Menuntut ilmu syar’iy adalah suatu keharusan bagi seorang muslim dalam memahami agamanya dan juga dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena tidaklah seorang mampu untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya melainkan dengan Ilmu. Keutamaan ilmu tidaklah bisa mengimbanginya  keutamaan suatu apapun dari kehidupan dunia ini. Sehingga berkata Al-Imam Asy-Syafi’i: “Menuntut Ilmu lebih utama dari pada Sholat Naafilah (sunat)”.
Kemuliaan seorang yang berilmu dan orang-orang yang beramal dengan ilmunya adalah kemuliaan yang akan diperolehnya di dunia dan akhirat. Dan menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu adalah suatu kebiasaan para salaf terdahulu dan sekarang. Berapa banyak para Salafus Sholih yang bersusah payah menempuh perjalanan yang sangat jauh dan menghabis umurnya dengan tujuan hanya untuk menuntut ilmu. Rasanya hal ini cukuplah  untuk menunjukkan keutamaan ilmu tersebut.
Berikut akan kami sebutkan Kisah Salman Al-Faarisiy Rodhiyallohu anhu akan pengorbanannya yang sangat besar dalam memperoleh suatu kebenaran yang hakiki. Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad Rohimahuloh di dalam musnadnya[1] dari ‘Abdulloh bin ‘Abbas Rodhiyallohu anhu dari Salman Al-Faarisiy Rodhiyallohu anhu, beliau berkata:
“Aku adalah seorang laki-laki dari Persia dari penduduk Ashbahan yang berasal dari suatu kampung yang disebut dengan Jayy, dan ayahku adalah sebagai seorang kepala kampung tersebut. Aku adalah orang yang paling dia cintai, senantiasa kecintaannya terhadapku ada padanya sampai-sampai dia mengurungku di dalam rumahnya untuk senantiasa menyembah api, sebagaimana seorang anak perempuan yang dikurung. Aku benar-benar telah membebankan diriku di dalam agama Majusi, sampai-sampai aku menjadi pelayan bagi api yang menyalakannya serta tidak membiarkannya padam sekejap pun.
(SALMAN MELIHAT NASHRANY)
Ayahku memiliki kebun yang besar, suatu hari dia disibukkan dengan mengurus bangunan, maka dia berkata kepadaku: “Wahai anakku, sesungguhnya hari ini aku disibukkan dengan suatu bangunan dari mengurusi kebunku, maka pergilah engkau kesana dan perhatikanlah ia”. Ayahku memerintahkanku untuk melakukan beberapa hal yang dia inginkan, maka aku pun keluar menuju ke kebunnya. Kemudian aku pun melewati satu gereja dari gereja-gerejanya orang Nashraniy, aku mendengar suara-suara mereka di dalamnya sementara mereka dalam keadaan sedang mengerjakan shalat. Aku tidak tahu kondisi orang-orang karena dikurungnya aku di rumah ayahku. Maka ketika aku melewati mereka dan aku mendengar suara mereka, akupun masuk ke dalamnya sehingga aku melihat apa yang mereka perbuat. Ketika aku melihat mereka maka aku pun terkagum dengan sholat mereka dan muncul hasratku untuk mengikuti mereka, dan aku berkata: “Demi Allah!, ini lebih baik dari pada agama yang kami sedang berada di atasnya”.
Maka demi Allah, aku tidak meninggalkan mereka sampai dengan tenggelamnya matahari, dan aku tidak memperdulikan sawah ayahku serta tidak mendatanginya. Lalu aku berkata kepada mereka: “Dari mana asal agama ini?”. Mereka menjawab: “Dari Syam”. Lalu aku pun kembali menjumpai ayahku dan dia -ketika itu- telah mengutus seseorang untuk mencariku, dan aku (benar-benar) telah menyibukkannya dari semua pekerjaannya maka ketika aku mendatanginya, dia berkata: “Wahai anakku dari manakah engkau, bukankah aku telah memerintahkan kamu sesuatu?”. Aku berkata: “Wahai ayahku, aku melewati sekumpulan orang yang sedang mengerjakan sholat di dalam gereja mereka maka aku terkagum dengan apa yang aku lihat dari agama mereka, demi Allah!  Aku senantiasa di sana sampai dengan tenggelam matahari”. Ayahku berkata: “Tidaklah ada suatu kebaikan pun di dalam agama tersebut”. Lantas aku berkata: “Sekali-kali tidak, ssengguhnya agama tersebut lebih baik dari agama kita”. Maka ayahku mulai merasa khawatir akan diriku, kemudian dia mengikat kakiku dan mengurungku di dalam rumahnya. Lalu aku mengirim pesan kepada orang-orang nashraniy tersebut.Aku berkata:“Apabila datang kepada kalian rombongan pedagang dari Syam dari orang-orang nashara maka khabarilah aku”. Maka -tidak lama setelah itu- datang kepada mereka rombongan pedagang dari Syam dari orang-orang nashara maka merekapun mengabariku hal tersebut. Maka aku berkata kepada mereka: “Apabila mereka telah memenuhi hajat mereka dan ingin kembali ke negeri mereka maka beritahulah aku”. Maka ketika mereka hendak kembali ke negeri mereka maka mereka mengabariku, maka akupun campakkan rantai yang terikat di kakiku.
(GURU PERTAMA SALMAN)
Kemudian aku keluar bersama mereka sampai akhirnya aku tiba di negeri Syam. Maka ketika aku tiba di sana, aku berkata: “Siapakah orang yang paling utama dari agama ini?” Mereka berkata: “Uskup yang ada di dalam gereja tersebut”. Maka akupun mendatanginya dan berkata: “Aku berhasarat untuk mengikuti agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, melayanimu didalam gerejamu ini, serta menuntut ilmu darimu dan mengerjakan sholat bersamamu”.Dia berkata: “Masuklah”. Maka akupun masuk. Aku dapati dia seorang laki-laki yang jelek, dia memerintahkan orang-orang untuk bersedekah dan menganjurkan mereka untuk melakukan hal itu, maka apabila mereka telah mengumpulkan kepadanya shodaqah, maka dia pun menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak memberikannya kepada orang-orang miskin, sampai-sampai dia telah mengumpulkan tujuh kendi yang berisi penuh emas dan perak. Maka aku benar-benar sangat membencinya melihat apa yang telah dia perbuat, tidak lama kemudian dia pun mati, maka orang-orang Nashraniy tersebut berkumpul untuk menguburinya. Maka aku berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang ini adalah laki-laki yang jelek, dia memerintahkan kalian untuk bersedekan dan menganjur kalian untuk melakukan hal tersebut akan tetapi apabila kalian telah mengumpulkannya kepadanya maka iapun menyimpannya untuk dirinya sendiri, dan tidak memberikan sedikitpun untuk orang-orang miskin”. Mereka berkata: “Apa yang telah kamu ketahui?”. Aku berkata:“Aku akan menunjukkan kepada kalian tempat penyimpanannya”. Maka merekapun berkata:“Tunjukkanlah kepada kami”.
Maka akupun memperlihatkannya kepada mereka tempatnya. lalu mereka mengeluarkan dari tempat tersebut tujuh kendi penuh dengan emas dan perak, maka ketika mereka telah melihat tersebut mereka berkata: “Demi Allah, sekali-kali kami tidak akan menguburinya lalu mereka menyalibnya serta melemparnya bebatuan”.
(GURU KEDUA SALMAN)
Kemudian mereka mendatangkan penggantinya yang lain, dan menjadikannya pada posisi uskup tersebut. Maka tidaklah pernah aku melihat seorang laki-laki pun –yang tidak mengerjakan sholat lima waktu- yang lebih utama dari padanya, lebih zuhud akan dunia dan lebih menginginkan akhirat, dan lebih bersungguh-sungguh -dalam ibadah- siang dan malam daripada dirinya. Maka aku sangat mencintainya, dan tidak pernah aku mencintai seseorangpun seperti demikian sebelumnya. Maka aku tinggal bersamanya dalam beberapa waktu, kemudian datanglah ajalnya. Lantas aku berkata kepadanya:“Wahai fulan sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu dan aku sangat mencintaimu, tidak pernah aku mencintai seseoranpun seperti demikian sebelummu. Telah tiba ke atasmu apa yang kamu lihat dari urusan Allah, maka kepada siapakah engkau akan mewasiatkan aku, dan apa perintahmu?”. Dia berkata: “Wahai anakku, demi Allah tidaklah aku mengetahui seorangpun pada hari ini yang berada di atas perkara yang aku berada di atasnya, manusia dalam keadaan celaka, mereka telah merubah dan meninggalkan kebanyakan perkara yang dahulunya mereka berada di atasnya kecuali seorang yang tinggal di Al-Maushil namanya “fulan” dia masih tetap berada di atas perkara yang aku berada di atasnya, maka bergabunglah dengannya”.
(GURU KETIGA SALMAN)
Maka ketika dia telah wafat dan dikuburkan, akupun pergi kepada laki-laki di negeri Al-Maushil tersebut lalu aku berkata kepadanya: “Wahai fulan, sesungguhnya fulan telah mewasiatkan kepadaku ketika datang ajalnya untuk aku mengikutimu dan ia memberitahukan aku bahwa engkau berada di atas agamanya”. Kemudian dia berkata: “Tinggallah bersamaku!”, maka tinggallah aku bersamanya. Aku dapati ia sebaik-baik laki-laki yang berada di atas agama shohabatnya, kemudian tidak lama kemudian dia pun datanglah ajalnya, maka ketika sudah dekat ajalnya aku berkata kepadanya: “Wahai fulan telah mewasiatkan aku mengikutimu memerintahkan aku untuk bergabung denganmu dan telah datang dari Allah kepadamu apa yang telah engkau lihat maka kepada siapakah engkau mewasiatkan aku dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Dia berkata: “Wahai anakku, demi Allah tidaklah aku mengetahui seseorang yang berada di atas apa-apa yang kami berada di atasnya kecuali seorang laki-laki yang tinggal di negeri Nashibain namanya fulan maka bergabunglah dengannya”.
(GURU KEEMPAT SALMAN)
Maka ketika dia telah wafat dan dikuburkan, akupun pergi untuk bergabung laki-laki yang berada di Nashibain tersebut. Ketika aku telah tiba di sana aku mengabarinya akan maksud kedatanganku dan apa yang telah diperintahkan kepadaku oleh shohabatku. Lantas dia pun berkata: “Menetaplah di tempatku”. Maka aku pun menetap di tempatnya. Aku dapati ia berada di atas agama dua shohabatnya   maka tinggallah aku bersama sebaik-baik laki-laki. Demi Allah tidaklah berlalu waktu yang lama maka datanglah ajalnya. Maka ketika ajalnya sudah dekat aku berkata kepadanya: “Wahai fulan, sesungguhnya fulan telah mewasiatkan aku untuk mengikuti fulan, kemudian fulan tersebut mewasiatkan aku untuk mengikuti engkau maka setelah itu kepada siapakah engkau mewasiatkan aku dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?”. Dia berkata: “Wahai anakku, demi Allah tidaklah aku mengetahui seseorang yang tetap berada di atas agama kami ini untuk aku perintahkan engkau untuk menjumpainya kecuali seorang laki-laki yang berada di negeri ‘Amuriyyah, karena sesungguhnya ia berada di atas apa-apa yang kami berada di atasnya, jika engkau suka maka datangilah ia sesungguhnya ia berada di atas agama kami”.
(GURU KELIMA SALMAN)
Maka ketika dia telah wafat dan dikuburkan maka aku pergi menjumpai laki-laki yang berada di negeri ‘Amuriyyah tersebut dan aku mengabarkannya akan maksud kedatanganku. Lantas dia berkata:“Menetaplah di tempatku”. Maka akupun tinggal bersama seorang laki-laki yang yang berada di atas petunjuk shohabat-shohabatnya dan agama mereka. Akupun mencari pencaharian sehingga aku bisa memiliki beberapa ekor sapi dan beberapa ekor kambing. Kemudian datanglah ketetapan Allah atasnya maka ketika telah dekat ajalnya aku berkata kepadanya: “Wahai fulan sesungguhnya aku dahulunya bersama fulan maka ia mewasiatkan aku untuk mengikuti fulan, kemudian fulan tersebut mewasiatkan aku untuk mengikuti fulan kemudian fulan tersebut mewasiatkan aku untuk mengikuti engkau maka kemudian kepada siapakah engkau mewasiatkan aku dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?”. Dia berkata: “Wahai anakku, demi Allah aku tidak mengetahui seseorang pun yang dia berada di atas apa-apa yang kami berada di atasnya untuk aku aku perintahkan kamu untuk mengikutinya, hanya saja telah dekat kepadamu zaman diutusnya seorang Nabi yang mana dia diutus dengan agama Ibrahim, dia akan keluar di negeri Arab, dan akan berhijrah ke suatu negeri yang berada di antara dua negeri yang berbatuan hitam di antara keduanya ada pohon kurma, pada dirinya ada ciri-ciri yang tidak samar: dia menerima hadiah dan tidak memakan Shodaqoh, di antara dua pundaknya ada tanda kenabian, maka jika engkau mampu untuk bergabung dengan dengan negeri tersebut maka lakukanlah”. Maka ketika dia telah wafat dan dikuburkan maka menetaplah aku di negeri ‘Amuriyyah selama yang Allah kehendaki untuk aku menetap.
(JATUHNYA SALMAN KE TANGAN YAHUDI DALAM MENCARI NABI)
Lalu lewatlah di hadapanku sekelompok pedagang dari negeri Kalb. Maka aku berkata kepada mereka:”Apakah kalian mau membawaku ke negeri ‘Arab dan aku akan memberikan kepada kalian sapi-sapiku ini dan juga kambing-kamibingku”. Mereka berkata: “Baik”. Maka aku berikan sapi-sapiku ini dan juga kambing-kambingku kepada mereka, lalu mereka pun membawaku, sehingga ketika telah tiba di negeri Waadi Al-Qura merekapun menzholimiku, mereka menjualku kepada seorang laki-laki dari Yahudi sebagai seorang budak, maka menetaplah aku bersamanya. Aku melihat pohon kurma dan aku berharap inilah negeri yang telah disifatkan oleh shohabatku kepadaku, hanya saja aku tidak yakin. Ketika aku bersamanya maka datanglah kepadanya seorang anak pamannya dari Madinah dari kabilah Bani Quraidhoh maka ia membeliku darinya lalu ia membawaku ke negeri Madinah. Maka demi Allah tidaklah kota ini kecuali aku telah melihatnya serta aku mengenalnya sebagaimana yang disifatkan oleh shohabatku tersebut. Maka bermukimlah aku di sana dan Allah pun telah mengutus Rasul-Nya, maka beliau bermukim di Makkah selama yang beliau telah menetap, dan aku tidak pernah mendengar sekalipun beliau disebut di samping dengan kesibukanku sebagai seorang budak.
(BERITA KEDATANGAN ROSULULLOH)
Kemudian beliau pun berhijrah ke Madinah, maka demi Allah ketika aku sedang berada di puncak salah satu pohon kurma kepunyaan tuanku yang mana aku sedang mengurusnya, dan (ketika itu) tuanku sedang dalam keadaan duduk. Maka datang salah seorang anak pamannya, lalu berhenti di hadapannya, dan berkata: “Fulan, semoga Allah memerangi bani Qutailah, demi Allah sekarang mereka sedang berkumpul di Quba’ dipimpin oleh seorang dari Makkah yang tiba kepada mereka hari ini, mereka berkata bahwa ia adalah seorang Nabi”. Maka ketika aku mendengar hal tersebut tubuhku merasa gemetar sampai-sampai aku menyangka aku akan jatuh ke atas tuanku. Maka akupun turun dari pohon kurma dan mulai bertanya kepada anak pamannya itu: “Apa yang kamu katakan? Apa yang kamu katakan?”. Maka tuanku marah dan memukulkan dengan pukulan yang sangat keras, kemudian dia berkata: “Apa urusanmu?, teruskan pekerjaanmu!”. aku berkata: “Tidak ada, hanya saja aku ingin memastikan apa yang telah dia ucapkan”.
(PERJUMPAAN SALMAN DENGAN ROSULULLOH)
Padaku ada sedikit dari harta yang telah aku kumpulkan, maka ketika di sore harinya aku membawanya dan aku pergi menjumpai Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau ketika itu sedang berada di Masjid Quba, maka akupun masuk dan bertanya: “Sesungguhnya telah sampai kepadaku suatu berita bahwasannya engkau ini adalah seorang laki-laki yang sholih, dan bersamamu ada shohabat-shohabatmu yang mengasingkan diri dari negeri mereka lagi sangat membutuhkan, ini ada sedikit yang aku miliki sebagai shodaqoh karena aku melihat kalian lebih berhak akan hal itu dari pada yang lainnya”. Maka aku dekatkan kepadanya, kemudian Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada shohabatnya: “Makanlah”Sementara beliau sendri tidak menyentuhnya serta tidak memakannya, lalu aku berkata dalam diriku: “Ini ciri-ciri yang pertama”.
Kemudian akupun pergi, maka aku kumpulkan sedikit makanan. Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallamkembali ke Madinah kemudian aku datang dengan membawa makanan tersebut, lalu aku berkata:“Sesungguhnya aku melihat engkau tidak makan harta shodaqoh, ini ada sesuatu sebagai hadiah, aku memuliakan kamu dengannya”. Maka Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam memakannya dan memerintahkan shohabatnya untuk makan bersamanya, maka akupun  berkata dalam diriku: “Ini ciri-ciri yang kedua”.
Tidak lama kemudian aku mendatangi lagi beliau Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ketika itu beliau sedang berada di pekuburan Baqi’ Al-Ghorqod sedang mengikuti salah satu jenazah dari shohabatnya, dan di atas tubuhnya dilapisi dua pakaian. Dan saat beliau sedang duduk di tengah-tengah shohabatnya, maka akupun memberi salam kepada beliau, kemudian aku berputar arah untuk melihat bagian punggungnya, (yaitu) apakah aku akan melihat khotam sebagaimana yang telah disifatkan oleh temanku?. Ketika Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatku maka akupun berpaling, maka beliau mengetahui maksudku bahwasanya aku sedang memastikan sesuatu yang telah disifatkan kepadaku. Maka beliaupun melempar rida’-nya dari atas punggungnya, maka aku pun melihat khotamnya dan mengenalnya. Maka aku memeluk beliau serta menciumnya dalam keadaan menangis. Maka RosulullohSholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Hadapkanlah wajahmu!”. Maka akupun menghadapkannya, lalu aku ceritakan kepada beliau tentang kisahku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu wahai Ibnu ‘Abbas. Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa ta’ajub dengan shohabatnya ketika mereka mendengar hal tersebut.
(LEPASNYA SALMAN DARI PERBUDAKAN)
Kemudian aku disibukkan dengan pekerjaanku sebagai budak sehingga aku luput untuk mengikuti perang Badar bersama Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam dan perang Uhud. Maka Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: “Wahai Salman! buatlah  Mukatabah (kesepakatan penebusan dari perbudakan)”Maka akupun membuat kesepakatan dengan tuanku untuk aku menanam 300 tunas pohon kurma di sekitar sumur yang dekat sekeliling pohon kurma dan juga dengan memberikan 40 Uqiyyah. Maka Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para shohabatnya: “Bantulah saudara kalian ini!”.
Maka merekapun membantuku dengan memberikan tunas kurma: seorang lelaki ada membantuku dengan 30 tunas kurma, ada yang membantuku dengan 20 tunas, ada membantu dengan 15 tunas,  dan ada yang membantuku dengan 10, yaitu setiap laki-laki membantu sesuai dengan kadar yang mereka miliki. Sehingga terkumpullah untukku 300 tunas. Kemudian Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: “Pergilah engkau wahai Salman buatlah lubang-lubang untuk tunas-tunas kurma tersebut, dan apabila telah selesai maka datangilah aku, aku yang akan menanaminya dengan tanganku”. Maka aku pun mulai membuat lubang-lubang untuk tunas-tunas tersebut dengan dibantu oleh para Shohabatku, maka ketika telah selesai aku mendatangi Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam serta mengabarkan beliau hal tersebut. Maka Demi yang jiwaku berada di tangannya tidak ada satu tunas pun dari tunas-tunas tersebut -yaitu yang ditanam oleh Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam- mati. Maka akupun memberikannya (kepada tuanku), maka yang tersisa  atasku (yang harus aku tunaikan) tinggallah harta.
Kemudian Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam memperoleh emas semisal dengan besarnya telur ayam hasil dari sebagian peperangan. Maka beliau Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Apa yang telah dilakukan oleh Al-Faarisiy -yaitu Salman- terhadap orang yang telah ia buat kesepakatan?”. Lalu beliau memanggilku dan berkata: “Ambil ini dan tunaikan dengannya apa-apa (yang tersisa) atasmu wahai Salman”. Aku pun berkata: “ini tidaklah cukup untuk menunaikan apa-apa (yang tersisa) atasku”. Beliau Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Ambillah, sesungguhnya  Allah menunaikannya atasmu”.
Akupun mengambilnya, lalu menimbangnya untuk mereka, maka demi yang jiwaku berada di tangannya, (aku dapati ia) 40 Uqiyyah, kemudian aku tunaikanlah hak mereka, lalu akupun dimerdekakan. Maka setelah itu aku mengikuti peperangan khandaq bersama Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidaklah ada satu pertempuranpun bersama beliau yang aku lewatkan.”
BEBERAPA FAIDAH DARI KISAH SALMAN:
·         Terkadang seseorang diuji untuk mendapatkan sesuatu yang dicintainya
·         Mengedepankan kecintaan kepada Alloh dari selainnya, Salman tidaklah meninggalkan agama Majusi dan bapaknya karena kemiskinan.
·         Keimanan kepada takdir, semuanya berada dalam ketentuan Allaoh walaupun tak pernah terlintas salam pikiran sama sekali.
·         Sabar terhadap gangguan.
·         Pengingkaran dengan hati terhadap maksiat ketika tidak mampu, dan menampakkannya ketika ada kemampuan
·         Orang yang mengklaim sesuatu mesti bisa mendatangkan bukti
·         Meminta nasehat pada orang-orang sholih
·         Wasiat menjelang ajal
·         Seseorang berbicara sesuai ilmunya
·         Kaum Nashrany telah tersesat sebelum diutusnya Rosululloh kecuali segelintir orang
·         Melakukan perjalanan jauh demi menuntut ilmu
·         Usaha mencari kebenaran dan pemastian suatu perkara
·         Ta’awun ‘Alal birri wat Taqwa
·         Mengulurkan bantuan bagi orang sholih
·         Bertanya tentang keberadaan orang yang membutuhkan
·         Berkah itu datangnya dari Alloh
·         Semangat untuk membantu orang dalam mendapatkan hidayah Alloh

[1] Dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh Ta’ala

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)