AIR BERSIH HASIL PENGOLAHAN LIMBAH
DAN COMBERAN
Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits
Al-Minangkabawy Saddadahulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحَمْدَ لله
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ
أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ
لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Tak dipungkiri bahwa air memang sesuatu yang sangat berharga dan
dibutuhkan bagi kehidupan manusia, namun ketersediaannya terkadang tidak sesuai
dengan kadar konsumsi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Karena itulah sebagian
orang, terlebih-lebih kalangan pemerintah terus mencari tekhnologi yang bisa
dimanfaatkan untuk memenuhi suplay kebutuhan, karena hal tersebut memang
menjadi tanggung jawab mereka, semoga Alloh membalas pemerintah kita dengan
kebaikan atas perhatian dan tanggung jawabnya menutupi kebutuhan warganya.
Pada sebagian wilayah di Indonesia ada daerah yang memiliki
sumber air bersih yang telah memenuhi standar kualitas yang diinginkan sehingga
tidak membutuhkan pengolahan berarti, cukup dengan pemberian desinfektan (pembunuh
kuman) untuk menjaga kualitas air di sepanjang pipa. Namun di sebagian tempat
yang lain, terutama di kota-kota besar sangat dirasakan keterbatasan sumber air
bersih. Karena itu, mau tidak mau pencairan sumber dialihkan kepada pengolahan
air yang notabene sudah tercemar dengan najis, sehingga muncul pertanyaan dari
kaum muslimin: Apa hukum konsumsi air bersih hasil pengolahan?
Walhamdulillah, sekalangan ulama telah memaparkan pembahasan tentang
masalah ini dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan sunnah serta
kaidah-kaidah yang dibangun di atas dalil-dalil sebagai bentuk pengamalan ilmu
syari’at yang mereka emban. Pembahasan tersebut dilakukan oleh Lajnah
Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ Kerajaan Arab Saudi –ketika itu- yang
terdiri dari: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bazz, Syaikh ‘Abdur Rozzaq
‘Afify, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, dan Syaikh ‘Abdulloh bin Mani’ Ghofarohumulloh
Jami’a. Kemudian dikuatkan dengan keluarnya fatwa tentang masalah ini
tanggal 25 Syawwal 1398 H (no. 64) oleh Hai’ah Kibaril ‘Ulama Kerajaan
Arab Saudi[1].
Berikut fatwa terkait:
الحمد لله وحده، وصلى الله وسلم على من لا نبي بعده محمد، وعلى آله
وصحبه، وبعد:
…
Dibangun di atas apa-apa yang disebutkan oleh para ulama bahwasanya
air yang banyak yang mengalami perubahan karena sesuatu yang najis, akan
menjadi suci kembali apabila:hilang perubahan tersebut dengan sendirinya,
atau dengan menambahkan air yang suci kepadanya, atau perubahannya
hilang karena lamanya air tersebut berdiam, ataupengaruh matahari dan
lewatnya angin, atau apa-apa yang semisal dengannya, karena hukum sesuatu
menjadi hilang dengan hilangnya ‘illah (sebab munculnya) hukum
tersebut.
Manakala penyaringan
dan pemurniannya dari najis-najis yang masuk kepadanya, dilakukan dengan
perantaraan metode khusus yang baru dalam penyaringan yang diperhitungkan
merupakan metode terbaik dalam pengaliran dan penyucian, dari sisi bahwa metode
tersebut menghabiskan banyak dari bahan-bahan yang menjadi sebab pemurnian air
tersebut dari najis-najis, sebagaimana disaksikan dan ditetapkan oleh para
pakar spesialis dengan bidang tersebut dari kalangan orang-orang yang tidak ada
keraguan pada keilmuan, keahlian dan percobaan mereka. Oleh karena itu, maka
majelis ini (maksudnya Hai’ah Kibaril ‘Ulama –pen) meyakini kesuciannya setelah
proses penyaringan yang sempurna dari sisi bahwa air tersebut kembali pada
kondisinya semula, tidak terlihat perubahan yang disebabkan oleh zat-zat najis
tersebut baik dari segi rasa, warna maupun bau. Air tersebut boleh dipakai
untuk menghilangkan hadats-hadats dan kotoran-kotoran, serta dengan air
tersebut sah thoharohnya, sebagaimana boleh untuk meminumnya. Kecuali jika
diketahui adanya bahaya-bahaya terhadap kesehatan yang ditimbulkan akibat penggunaannya,
maka meminumnya dilarang untuk penjagaan jiwa dan melindungi dari bahaya, bukan
karena air itu najis.
Majelis ini (maksudnya
Hai’ah Kibaril ‘Ulama –pen) dalam menetapkan perkara di atas, menganggap baik
untuk tidak menggunakan air tersebut untuk minum apabila didapatkan jalan ke
arah itu, dalam rangka penjagaan kesehatan, perlindungan dari bahaya dan
pembersihan dari sesuatu yang dianggap jelek oleh jiwa dan sesuatu yang tabiat
lari darinya. Allohlah yang memberi taufik. Sholawat dan Salam Alloh atas
Nabi-Nya Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya”. Selesai
Demikian juga Syaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajury Hafizhohulloh ditanya
tentang masalah ini, maka beliau menjawab bahwa penyucian air dengan penggunaan
bahan kimia adalah sah (airnya suci), bersamaan dengan itu dinasehatkan untuk
menggunakan air yang belum tercemar. (Dari Pelajaran umum, malam sabtu 16
Jumadits Tsani 1432H)
Maka kebiasaan
masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi air matang sebenarnya sebuah langkah
yang bagus untuk melindungi bahaya terhadap dirinya dan menjaga nikmat
kesehatan, karena salah satu bentuk syukur seorang hamba adalah dengan menjaga
nikmat yang diberikan kepadanya.
PEMBAHASAN FIQIH SEPUTAR PERMASALAHAN
Sebagai seorang
pencari kebenaran, semestinyalah kita mencari sesuatu yang melatar-belakangi
sebuah fatwa, karena ilmu tentang sesuatu akan menambah keyakinan dan
melapangkan jiwa seseorang dalam menjalankan sesuatu tersebut. Maka dalam
tulisan ini insya Alloh akan dijelaskan sisi pembahasan fiqih baik dari
pembahasan yang disebutkan oleh Lajnah Ad-Da’imah di atas maupun yang
dijelaskan para ulama muslimin baik yang terdahulu maupun sekarang.
PERBUATAN ALLOH DIBANGUN DI ATAS HIKMAH DAN ‘ILLAH (SEBAB)
Diantara nama Alloh
adalah Al-Hakim yaitu Dzat yang memiliki hikmah. Maka termasuk ke dalam
sifat-Nya tersebut bahwasanya setiap perbuatan Alloh dibangun atas maslahat dan
hikmah yang dikehendaki-Nya tidak ada yang sia-sia. Alloh berfirman:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian
sia-sia?” (QS Al-Mukminun 115)
أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu
saja” (QS Al-Qiyamah 36)
Diantara hikmah Alloh, bahwasanya Alloh menentukan sebab-sebab
bagi sesuatu dan menetapkan akibatnya, namun semua itu tidak terlepas dari
kehendak-Nya. Alloh menciptakan penyakit dan Alloh juga yang menciptakan
obatnya sebagai sebab kesembuhan. RosulullohSholallohu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
لكل داء دواء فإذا أصيب دواء الداء برأ بإذن الله عز وجل
“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat mengenai penyakit,
maka akan pulih dengan izin Alloh ‘Azza wa Jalla”. (HR Muslim dari Jabir Rodhiyallohu
‘Anhu)
Apabila obat telah
diminum, tidak mesti kesembuhan didapatkan dan masalah ini tidak ada satu pun
orang berakal yang mengingkarinya. Karena itu, harus diyakini bahwa obat
tersebut bisa berakibat kesembuhan karena izin dari Alloh, karena memang Dialah
yang menyembuhkan. Makanya, Rosululloh berkata di salah satu do’anya:
أَنْتَ الشَافِي لا شَافِيَ إِلاَ أَنْتَ
“Engkaulah Asy Syafi (Yang Menyembuhkan) tidak ada yang
menyembuhkan kecuali Engkau”. (HR Muslim dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha).
Oleh sebab itulah, bagi setiap muslim dalam menjalani hidupnya
mesti menjalani sebab-sebab yang diperbolehkan dalam mencapai apa yang inginkan
dengan senantiasa berkeyakinan bahwa yang bakal menyampaikannya kepada
tujuannya hanyalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dengan alur seperti
ini insyaalloh seseorang bakal selamat langkahnya di dunia dan
akhirat. Karena itu dikatakan: Semata-mata bersandar kepada sebab
merupakan kesyirikan yang meniadakan tauhid seseorang. Tidak mengakui
keberadaan sebab merupakan celaan terhadap hikmah Alloh dan syari’at-Nya. Berpaling
dari sebab, padahal dia tahu bahwa hal itu memang adalah sebab, menunjukkan
kekurangan pada akal orang tersebut.[2]
MEMAHAMI ‘ILLAH (FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA)
SEBUAH HUKUM MERUPAKAN PERKARA PENTING BAGI ORANG-ORANG YANG INGIN BERIBADAH DI
ATAS ILMU
Diantara hikmah-Nya, Alloh menetapkan ‘illah pada
hukum-hukum syar’i. Namun ‘illah tersebut ada yang tidak
diketahui manusia dan ada yang diketahui.
Yang pertama disebut dengan ‘illah
ta’abbudiyyah. Jenis ini lebih sedikit dibandingkan dengan‘illah yang
diketahui. Misal jenis ini adalah penetapan bilangan sholat Maghrib
dengan tiga rakaat. Perkara yang seperti ini tidak diketahui hikmahnya,
namun wajib bagi kita untuk meyakini bahwa di balik itu terdapat hikmah yang
besar karena Alloh tidaklah menetapkan sesuatu dengan sia-sia. Namun tidak
perlu memberat-beratkan diri dalam mencari hikmahnya. Yang jelas apa yang
diperintahkan kepada hamba pasti ada maslahatnya dan yang wajib bagi seorang
hamba adalah mendengar dan taat serta berupaya mengamalkan. Alloh Ta’ala
berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Alloh dan
rosul-Nya telah menetapkan sesuatu keputusan, masih ada pilihan bagi mereka
dalam urusan mereka. Barangsiapa yang memaksiati Alloh dan rosul-Nya maka dia
telah tersesat dalam kesesatan yang nyata” (QS Al-Ahzab 36)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Orang–orang beriman apabila diseru kepada Alloh dan rosul-Nya
untuk menghukumi diantara mereka, jawaban mereka hanyalah: “Kami mendengar dan
taat”. Merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS An-Nur 51)
Adapun yang kedua, maka ‘illah sebuah hukum
bisa diketahui: {1} langsung dari dalil Al-Qur’an atau As-Sunnah yang ada, atau
{2} para ulama telah ijma’ (sepakat) atas ‘illah pada
sebuah hukum yang sedang dibahas; {3} ‘illah tersebut dipahami
setelah menempuh metode-metode penarikan hukum sebagaimana dipelajari dalam
ilmu ushul fiqih.
Contoh {1}:
Sabda Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَام
“Setiap yang memabukkan haram” (HR Bukhory-Muslim, dari Abu Musa Al-Asy’ari Rodhiyallohu
‘Anhu)
Padanya terdapat larangan mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan,
apapun namanya. Karena Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan ‘illah:
memabukkan, kemudian menyebutkan hukum: haram.
Contoh {2}:
Air yang asalnya suci dihukumi sebagai najis apabila masuk ke dalamnya najis
yang menyebabkan berubahnya salah satu sifat air tersebut, baik dari segi
warna, bau atau rasanya. Para ulama ijma’ atas perkara ini sebagaimana
dinukilkan oleh Imam Ibnul MundzirRahimahulloh dalam Al-Awsath (1/260). Maka ‘illahnya
adalah: Perubahan sifat air karena najis yang masuk ke dalamnya. Sementara
hukumnya adalah: Air menjadi najis.
Adapun hadits dengan makna yang sama dalam masalah ini, datang
dari Abu Umamah Al-Bahily Rodhilyallohu ‘Anhu yang
diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-Baihaqy. Namun kedua riwayat tersebut dho’if (lemah)[3], sehingga tidak bisa berdalil dengannya.
Contoh {3}:
Seperti pendapat sebagian ulama yang menetapkan bahwa ‘illah najisnya
bangkai adalah terdapatnya darah yang tertahan. Maka mereka menyebutkan bahwa
setiap binatang yang tidak memiliki peredaran darah maka bangkainya suci.
Penetapan ‘illah untuk jenis ini ditempuh
dengan kaidah-kaidah (lebih luasnya dalam ilmu ushul fiqih) dalam mengamati
keterkaitan antara dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah tersebut. Karena
itulah sering didapatkan perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam
menetapkan ‘illah lewat metode ini, karena memang terkadang
terdapat perbedaan pemahaman dan sisi pandang dalam menelusuri keterkaitan
dalil-dalil.
PERUBAHAN HUKUM MENGIKUTI PERUBAHAN HAKIKAT SESUATU
Syari’at ketika
menetapkan hukum terhadap sesuatu, maka hukum tersebut berlangsung padanya
selama sesuatu tersebut masih berada pada hakikat yang dimaklumi. Namun apabila
hakikatnya telah berubah kepada hakikat yang lain, maka hukumnya akan berganti
sesuai apa yang ditetapkan oleh syari’at. Sebagai contoh: Tidak dipungkiri,
bahwa air adalah sesuatu yang dinyatakan syari’at sebagai materi yang
dipergunakan untuk bersuci. Sekarang, jika tertumpah sedikit pewarna (dari
bahan yang suci) ke dalam air sehingga nampak sedikit keruh, apakah boleh
bersuci dengannya? Jawabnya boleh, karena hakikatnya –secara syari’at maupun
adat- masih diyakini sebagai air yang dimaklumi.
Adapun air yang telah bercampur dengan sirup, sehingga sifat
sirup mendominasinya, maka tidak bisa dinamakan air lagi secara mutlak.
Walaupun sama-sama dinamakan cairan, namun hakikatnya sudah tidak sama lagi
dengan air (yang dimaklumi) dan tidak dianggap sebagai air lagi –secara
syari’at ataupun adat-, sehingga tidak bisa dipakai untuk bersuci; karena itu
hukum thoharoh dengannya tidak berlaku lagi. Demikian juga, jika air tersebut
berubah salah satu sifatnya karena najis yang masuk kedalamnya, maka secara syari’at
hakikatnya telah berubah dari air yang dimaksudkan untuk bersuci, menjadi air
yang najis. Nah, perubahan sesuatu dari hakikat yang satu ke hakikat
yang lain, di kalangan ulama dikenal dengan istilah Al-Istihaalah[4].
Ibnu Hazm Rahimahulloh dalam Al-Muhalla (132)
mengatakan: “Apabila tahi atau bangkai terbakar, atau mengalami perubahan
sehingga menjadi debu atau tanah, maka semuanya menjadi suci, bisa bertayammum
dengannya. Bukti atas itu: Bahwasanya hukum-hukum hanyalah berlaku pada objek
yang Alloh tetapkan hukum tersebut berlaku nama benda yang Alloh ‘Azza wa
Jalla katakan kepada kita. Apabila benda tersebut tidak layak menyandang nama
(asal)nya lagi, maka ia pun tak berhak menyandang hukumnya dan ia bukanlah
benda yang telah Alloh tetapkan hukum baginya. Tahi bukanlah tanah, bukan juga
debu. Demikian juga khomr (minuman yang memabukkan) bukanlah
cuka, manusia bukanlah darah yang darinya diciptakan dan bangkai bukanlah
tanah”.
Maksud beliau bahwasanya bangkai hewan yang telah dikubur
bertahun-tahun sehingga menjadi tanah, maka hukumnya adalah hukum tanah. Tidak
bisa lagi dikatakan –secara syari’at dan akal- bahwa tanah ini adalah bangkai,
maka hukumnya najis. Sementara perubahan nama yang disebutkan Rahimahulloh adalah
perubahan nama yang disebabkan perubahan hakikat, karena perubahan nama tanpa
perubahan hakikat tidak akan mempengaruhi sisi hukum. Minuman memabukkan, walau
dinamakan bir, vodka, jus, atau sirup, atau apapun, tidak akan mengubah
hukumnya dari keharaman, karena hakikatnya yang memabukkan tidak hilang.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dalam I’lamul
Muwaqqi’in (1/394) –dalam konteks benda-benda yang suci dan najis-
mengatakan: “Sesuatu yang baik jika berubah hakikatnya menjadi sesuatu yang
jelek, maka ia menjadi najis, seperti air dan makanan jika hakikatnya berubah
menjadi kencing dan kotoran. Maka bagaimana istihalaah bisa
memberikan pengaruh (terhadap hukum) pada perubahan yang baik menjadi jelek
namun tidak berpengaruh pada perubahan yang jelek menjadi yang baik?”. Selesai
Beliau Rahimahulloh dalam Bada’iul
Fawa’id (3/119-120) juga mengatakan: “Hukum sesuatu mengikuti
nama dan sifatnya, berganti-ganti bersamanya dalam keadaan ada dan tidaknya”.
Catatan: Dalam masalah istihaalah khomr menjadi terdapat
kondisi yang disepakati dan kondisi yang diperselisihkan.
Kondisi yang disepakati adalah apabila khomr tersebut menjadi cuka dengan sendirinya
tanpa proses apa-apa baik dengan penambahan sesuatu ke dalamnya ataupun secara
fisika (memanfaatkan temperature dll). Dalam kondisi ini maka khomr menjadi
halal. Ijma’ ulama dalam masalah ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh
Shohih Muslim (1983). Dengan ini hukum inilah fatwa ‘Umar dan Abu Darda’ Rodhiyallohu
‘Anhuma.[5]
Adapun kondisi yang diperselisihkan adalah apabila pengubahan
khomr menjadi cuka ditempuh dengan upaya-upaya ke arah itu, karena adanya
larangan khusus dalam masalah ini yang menunjukkan bahwa upaya istihaalah khomr
menjadi cuka adalah perkara terlarang. Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa
Sallam ditanya oleh Abu Tholhah tentang anak-anak yatim yang mewarisi
khomr. Maka beliau berkata: “Tumpahkan”. Abu Darda’ bertanya: “Tidakkah kita
menjadikannya sebagai cuka?” Beliau menjawab: “Tidak”. (HR Abu Daud dan Ahmad,
dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh
Al-Albany dan Syaikhuna Muhammad Hizam).
MENILIK PERUBAHAN HAKIKAT AIR
Hukum Asal Air
Seluruh air yang ada di bumi pada hakikatnya adalah suci lagi
mensucikan, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu.
Dikatakan kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Apakah
kami berwudhu’ dari mata air Bidho’ah, yaitu mata air yang padanya dibuang kain
bekas pembersih haid, daging anjing, dan kotoran?. Rosululloh berkata: “Sesungguhnya
air itu suci, tidak ada sesuatupun yang membuatnya najis”. (HR
Ahmad dll. Dihasankan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikhuna Muhammad Hizam)
Yang dimaksud disini
adalah setiap yang masih dikatakan air. Hal ini disebabkan bahwa yang terdapat
pada dalil-dalil adalah penyebutan air secara mutlak (tanpa embel-embel), dan
Rosululloh tidak membagi, ini air yang mensucikan dan ini yang tidak
mensucikan. Adapun pembagian yang masyhur (yang asalnya dari mazhab Hanabilah)
bahwasanya ada air yang mensucikan dan yang tidak mensucikan adalah pembagian
yang tidak ada dalilnya. Selama hakikat dan namanya adalah air, maka boleh
dipakai bersuci (Lihat Al-Majmu’ul Fatawa 19/236).
Adapun yang biasa
dicontohkan, seperti: tidak boleh berwudhu dengan kopi, teh, jus jeruk dsb,
pada dasarnya hanyalah pembicaraan yang keluar dari topik, karena secara
syari’at maupun adat, cairan-cairan tersebut tidak layak lagi untuk disebut
sebagai air secara mutlak karena hakikat yang berbeda.
Perubahan hakikatnya menjadi najis
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa berubahnya air dari
hukum asalnya yang cuci menjadi najis karena ditemukannya ‘illah hukum
najis, yaitu masuknya najis yang menyebabkan perubahan salah satu
sifatnya.
Air yang najis menjadi suci lagi?
Telah diuraikan sebelumnya bahwa sebuah hukum berjalan
dengan ‘illahnya. Apabila ‘illah ada maka hukum
pun ada, jika tidak maka tidak. Ketika air yang najis dikembalikan lagi ke
hakikat asalnya maka hukum najis pun hilang bersamaan dengan hilangnya ‘illah.
DIANTARA HIKMAH DAN KEADILAN ALLOH ADALAH PEMBEDAAN APA-APA YANG
BERLAINAN
Perlu diketahui bahwa syari’at menyamakan apa-apa yang
semisal dan membedakan apa-apa yang berlainan. Karena itulah Alloh
mengingkari penyamaan antara dua perkara yang berlainan dan membedakan dua
perkara yang semisal, sebab hal tersebut menyelisihi hikmah-Nya Subhanahu
wa Ta’ala. Alloh berfirman:
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا
يَعْبُدُونَ ^ مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيم
“Kumpulkanlah orang-orang zholim, yang semisal dengan mereka,
serta sembahan-sembahan mereka selain Alloh, lalu tunjukkanlah jalan mereka ke
neraka” (Ash-Shoffat 22-23)
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ^مَا لَكُمْ
كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Apakah pantas Kami memperlakukan orang-orang muslim seperti
para pendosa (kafir)? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian memutuskan mereka
sama?” (QS Al-Qolam 35-36)
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
كَالْمُفْسِدِينَ فِي الأرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Apakah pantas Kami memperlakukan orang-orang yang beriman
dan beramal sholeh dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka
bumi? Ataukah pantas bagi Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan
orang-orang yang jahat?” (QS Shod 28)
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ
نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ
وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan menyangka bahwa Kami
akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Amat buruk
persangkaan mereka itu” (QS Al-Jatsiyah 21)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
“Orang-orang yang memakan riba, pada hari kiamat tidak akan dapat
bangkit berdiri dari kubur mereka kecuali seperti berdirinya orang yang
kerasukan setan. Hal itu karena mereka mengatakan bahwa jual beli sama dengan
riba” (QS Al-Baqoroh 275)
PENUTUP
Syari’at ini adalah
syari’at yang sempurna, masalah halal dan haram tak ada yang luput darinya,
Alloh berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala
sesuatu” (QS An-Nahl 89)
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Kami telah merincikan bagi kalian apa-apa yang diharamkan atas
kalian” (QS Al-An’am 119)
Penjelasan tersebut mencakup apa-apa yang disebutkan dari sunnah
Rosululloh, karena sunnah tersebut merupakan penjelas Al-Qur’an. Hukum-hukum
syariat ada yang disebutkan secara khusus, ada pula yang disinggung secara umum
dan global. Mungkin dalam beberapa pembahasan hukum ditemui sedikit kerumitan,
terlebih pada perkara-perkara yang tidak terbatas dalil khusus yang berbicara
tentangnya. Namun dari kesempurnaan syari’at agama ini, pada dalil-dalil yang
ada dapat dipetik kaidah-kaidah syariah yang bisa diterapkan di berbagai
perkara. Semoga Alloh memberikan kepahaman dan membantu kita untuk mengamalkan,walhamdulillah
KITAB-KITAB TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN:
·
Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
·
I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qoyyim Rahimahullohu Ta’ala
·
Adhwa’ul Bayan karya Imam Asy-Syinqithy Rahimahullohu Ta’ala
·
Abhats Hai’ah Kibaril ‘Ulama jilid 6 (tahun 1423)
·
Fathul ‘Allam Karya Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohullohu Ta’ala
·
Syarh Manzhumah Qowa’id Fiqhiyyah Syaikh As-Sa’dy karya Syaikh ‘Abdulloh bin Lamh
Al-Khaulany Hafizhohullohu Ta’ala
·
Ma’alim Ushulil Fiqh karya Muhammad bin Husein Al-Jezany Hadahullohu Ta’ala
[1] Yang terdiri dari: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Bazz, Syaikh ‘Abdur Rozzaq ‘Afify, Syaikh Ibrohim bin
Muhammad Alu Syaikh, Syaikh Sholih bin Luhaidan, Syaikh Muhammad bin ‘Ali
Al-Harkan, Syaikh ‘Abdulloh Khayyaath, Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Abdulloh bin
Humaid, Syaih Sulaiman bin ‘Ubaid, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Sholih, Syaikh
Rosyid bin Khonin, Syaikh Muhammad bin Jubair, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan,
Syaikh Muhammad bin Ghosun, Syaikh ‘Abdul Majid Hasan, Syaikh ‘Abdulloh bin
Qu’ud, dan Syaikh ‘Abdulloh bin Mani’ -Semoga Alloh mengampuni yang telah
wafat dari mereka dan menjaga yang masih hidup untuk istiqomah di jalan salaf-.
[2] Lihat Majmu’ul Fatawa (8/70) dan
Madarijus Salikin (1/267)
[3] Pada riwayat Ibnu Majah terdapat
Rusydain bin Sa’ad. Dia Syadidud Dho’if. Imam An-Nawawy mengatakan:
“Para Ahlul Hadits sepakat akan kedho’ifannya”. Adapun riwayat Al-Baihaqy
terdapat ‘Athiyyah bin Baqiyyah dan bapaknya: Baqiyyah bin Walid.
‘Athiyyah dho’ifsementara bapaknya mudallis,
meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah. (Lihat Fathul ‘Allam karya
Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh)
[4] Roddul Mukhtar 1/ 191
[5] Shohih. Atsar ‘Umar
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (8/202) dan Abu
‘Ubaid dalam Al-Amwal (311), sementara atsar Abu Darda’
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalamMushonnafnya (8/20)