Powered By Blogger

Translate

Jumat, 20 Juli 2012

AIR BERSIH HASIL PENGOLAHAN LIMBAH DAN COMBERAN


AIR BERSIH HASIL PENGOLAHAN LIMBAH
DAN COMBERAN
Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Tak dipungkiri bahwa air memang sesuatu yang sangat berharga dan dibutuhkan bagi kehidupan manusia, namun ketersediaannya terkadang tidak sesuai dengan kadar konsumsi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Karena itulah sebagian orang, terlebih-lebih kalangan pemerintah terus mencari tekhnologi yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi suplay kebutuhan, karena hal tersebut memang menjadi tanggung jawab mereka, semoga Alloh membalas pemerintah kita dengan kebaikan atas perhatian dan tanggung jawabnya menutupi kebutuhan warganya.
Pada sebagian wilayah di Indonesia ada daerah yang memiliki sumber air bersih yang telah memenuhi standar kualitas yang diinginkan sehingga tidak membutuhkan pengolahan berarti, cukup dengan pemberian desinfektan (pembunuh kuman) untuk menjaga kualitas air di sepanjang pipa. Namun di sebagian tempat yang lain, terutama di kota-kota besar sangat dirasakan keterbatasan sumber air bersih. Karena itu, mau tidak mau pencairan sumber dialihkan kepada pengolahan air yang notabene sudah tercemar dengan najis, sehingga muncul pertanyaan dari kaum muslimin: Apa hukum konsumsi air bersih hasil pengolahan?
Walhamdulillah, sekalangan ulama telah memaparkan pembahasan tentang masalah ini dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan sunnah serta kaidah-kaidah yang dibangun di atas dalil-dalil sebagai bentuk pengamalan ilmu syari’at yang mereka emban. Pembahasan tersebut dilakukan oleh Lajnah Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ Kerajaan Arab Saudi –ketika itu- yang terdiri dari: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bazz, Syaikh ‘Abdur Rozzaq ‘Afify, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, dan Syaikh ‘Abdulloh bin Mani’ Ghofarohumulloh Jami’a. Kemudian dikuatkan dengan keluarnya fatwa tentang masalah ini tanggal 25 Syawwal 1398 H (no. 64) oleh Hai’ah Kibaril ‘Ulama Kerajaan Arab Saudi[1].

Berikut fatwa terkait:
الحمد لله وحده، وصلى الله وسلم على من لا نبي بعده محمد، وعلى آله وصحبه، وبعد:
Dibangun di atas apa-apa yang disebutkan oleh para ulama bahwasanya air yang banyak yang mengalami perubahan karena sesuatu yang najis, akan menjadi suci kembali apabila:hilang perubahan tersebut dengan sendirinya, atau dengan menambahkan air yang suci kepadanya, atau perubahannya hilang karena lamanya air tersebut berdiam, ataupengaruh matahari dan lewatnya angin, atau apa-apa yang semisal dengannya, karena hukum sesuatu menjadi hilang dengan hilangnya ‘illah (sebab munculnya) hukum tersebut.
Manakala penyaringan dan pemurniannya dari najis-najis yang masuk kepadanya, dilakukan dengan perantaraan metode khusus yang baru dalam penyaringan yang diperhitungkan merupakan metode terbaik dalam pengaliran dan penyucian, dari sisi bahwa metode tersebut menghabiskan banyak dari bahan-bahan yang menjadi sebab pemurnian air tersebut dari najis-najis, sebagaimana disaksikan dan ditetapkan oleh para pakar spesialis dengan bidang tersebut dari kalangan orang-orang yang tidak ada keraguan pada keilmuan, keahlian dan percobaan mereka. Oleh karena itu, maka majelis ini (maksudnya Hai’ah Kibaril ‘Ulama –pen) meyakini kesuciannya setelah proses penyaringan yang sempurna dari sisi bahwa air tersebut kembali pada kondisinya semula, tidak terlihat perubahan yang disebabkan oleh zat-zat najis tersebut baik dari segi rasa, warna maupun bau. Air tersebut boleh dipakai untuk menghilangkan hadats-hadats dan kotoran-kotoran, serta dengan air tersebut sah thoharohnya, sebagaimana boleh untuk meminumnya. Kecuali jika diketahui adanya bahaya-bahaya terhadap kesehatan yang ditimbulkan akibat penggunaannya, maka meminumnya dilarang untuk penjagaan jiwa dan melindungi dari bahaya, bukan karena air itu najis.
Majelis ini (maksudnya Hai’ah Kibaril ‘Ulama –pen) dalam menetapkan perkara di atas, menganggap baik untuk tidak menggunakan air tersebut untuk minum apabila didapatkan jalan ke arah itu, dalam rangka penjagaan kesehatan, perlindungan dari bahaya dan pembersihan dari sesuatu yang dianggap jelek oleh jiwa dan sesuatu yang tabiat lari darinya.  Allohlah yang memberi taufik. Sholawat dan Salam Alloh atas Nabi-Nya Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya”. Selesai
Demikian juga Syaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajury Hafizhohulloh ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab bahwa penyucian air dengan penggunaan bahan kimia adalah sah (airnya suci), bersamaan dengan itu dinasehatkan untuk menggunakan air yang belum tercemar. (Dari Pelajaran umum, malam sabtu 16 Jumadits Tsani 1432H)
Maka kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi air matang sebenarnya sebuah langkah yang bagus untuk melindungi bahaya terhadap dirinya dan menjaga nikmat kesehatan, karena salah satu bentuk syukur seorang hamba adalah dengan menjaga nikmat yang diberikan kepadanya.
PEMBAHASAN FIQIH SEPUTAR PERMASALAHAN
Sebagai seorang pencari kebenaran, semestinyalah kita mencari sesuatu yang melatar-belakangi sebuah fatwa, karena ilmu tentang sesuatu akan menambah keyakinan dan melapangkan jiwa seseorang dalam menjalankan sesuatu tersebut. Maka dalam tulisan ini insya Alloh akan dijelaskan sisi pembahasan fiqih baik dari pembahasan yang disebutkan oleh Lajnah Ad-Da’imah di atas maupun yang dijelaskan para ulama muslimin baik yang terdahulu maupun sekarang.
PERBUATAN ALLOH DIBANGUN DI ATAS HIKMAH DAN ‘ILLAH (SEBAB)
Diantara nama Alloh adalah Al-Hakim yaitu Dzat yang memiliki hikmah. Maka termasuk ke dalam sifat-Nya tersebut bahwasanya setiap perbuatan Alloh dibangun atas maslahat dan hikmah yang dikehendaki-Nya tidak ada yang sia-sia. Alloh berfirman:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia?” (QS Al-Mukminun 115)
أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja” (QS Al-Qiyamah 36)
Diantara hikmah Alloh, bahwasanya Alloh menentukan sebab-sebab bagi sesuatu dan menetapkan akibatnya, namun semua itu tidak terlepas dari kehendak-Nya. Alloh menciptakan penyakit dan Alloh juga yang menciptakan obatnya sebagai sebab kesembuhan. RosulullohSholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لكل داء دواء فإذا أصيب دواء الداء برأ بإذن الله عز وجل
“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat mengenai penyakit, maka akan pulih dengan izin Alloh ‘Azza wa Jalla”. (HR Muslim dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu)
Apabila obat telah diminum, tidak mesti kesembuhan didapatkan dan masalah ini tidak ada satu pun orang berakal yang mengingkarinya. Karena itu, harus diyakini bahwa obat tersebut bisa berakibat kesembuhan karena izin dari Alloh, karena memang Dialah yang menyembuhkan. Makanya, Rosululloh berkata di salah satu do’anya:
أَنْتَ الشَافِي لا شَافِيَ إِلاَ أَنْتَ
“Engkaulah Asy Syafi (Yang Menyembuhkan) tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau”. (HR Muslim dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha).
Oleh sebab itulah, bagi setiap muslim dalam menjalani hidupnya mesti menjalani sebab-sebab yang diperbolehkan dalam mencapai apa yang inginkan dengan senantiasa berkeyakinan bahwa yang bakal menyampaikannya kepada tujuannya hanyalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dengan alur seperti ini insyaalloh seseorang bakal selamat langkahnya di dunia dan akhirat. Karena itu dikatakan: Semata-mata bersandar kepada sebab merupakan kesyirikan yang meniadakan tauhid seseorang. Tidak mengakui keberadaan sebab merupakan celaan terhadap hikmah Alloh dan syari’at-Nya. Berpaling dari sebab, padahal dia tahu bahwa hal itu memang adalah sebab, menunjukkan kekurangan pada akal orang tersebut.[2]
MEMAHAMI ‘ILLAH (FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA) SEBUAH HUKUM MERUPAKAN PERKARA PENTING BAGI ORANG-ORANG YANG INGIN BERIBADAH DI ATAS ILMU
Diantara hikmah-Nya, Alloh menetapkan ‘illah pada hukum-hukum syar’i. Namun ‘illah tersebut ada yang tidak diketahui manusia dan ada yang diketahui.
Yang pertama disebut dengan ‘illah ta’abbudiyyah. Jenis ini lebih sedikit dibandingkan dengan‘illah yang diketahui. Misal jenis ini adalah penetapan bilangan sholat Maghrib dengan tiga rakaat. Perkara yang seperti ini tidak diketahui hikmahnya, namun wajib bagi kita untuk meyakini bahwa di balik itu terdapat hikmah yang besar karena Alloh tidaklah menetapkan sesuatu dengan sia-sia. Namun tidak perlu memberat-beratkan diri dalam mencari hikmahnya. Yang jelas apa yang diperintahkan kepada hamba pasti ada maslahatnya dan yang wajib bagi seorang hamba adalah mendengar dan taat serta berupaya mengamalkan. Alloh Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Alloh dan rosul-Nya telah menetapkan sesuatu keputusan, masih ada pilihan bagi mereka dalam urusan mereka. Barangsiapa yang memaksiati Alloh dan rosul-Nya maka dia telah tersesat dalam kesesatan yang nyata” (QS Al-Ahzab 36)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Orang–orang beriman apabila diseru kepada Alloh dan rosul-Nya untuk menghukumi diantara mereka, jawaban mereka hanyalah: “Kami mendengar dan taat”. Merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS An-Nur 51)
Adapun yang kedua, maka ‘illah sebuah hukum bisa diketahui: {1} langsung dari dalil Al-Qur’an atau As-Sunnah yang ada, atau {2} para ulama telah ijma’ (sepakat) atas ‘illah pada sebuah hukum yang sedang dibahas; {3} ‘illah tersebut dipahami setelah menempuh metode-metode penarikan hukum sebagaimana dipelajari dalam ilmu ushul fiqih.
Contoh {1}: Sabda Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَام
“Setiap yang memabukkan haram” (HR Bukhory-Muslim, dari Abu Musa Al-Asy’ari Rodhiyallohu ‘Anhu)
Padanya terdapat larangan mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan, apapun namanya. Karena Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan ‘illah: memabukkan, kemudian menyebutkan hukum: haram.
Contoh {2}: Air yang asalnya suci dihukumi sebagai najis apabila masuk ke dalamnya najis yang menyebabkan berubahnya salah satu sifat air tersebut, baik dari segi warna, bau atau rasanya. Para ulama ijma’ atas perkara ini sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnul MundzirRahimahulloh dalam Al-Awsath (1/260). Maka ‘illahnya adalah: Perubahan sifat air karena najis yang masuk ke dalamnya. Sementara hukumnya adalah: Air menjadi najis.
Adapun hadits dengan makna yang sama dalam masalah ini, datang dari Abu Umamah Al-Bahily Rodhilyallohu ‘Anhu yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-Baihaqy. Namun kedua riwayat tersebut dho’if (lemah)[3], sehingga tidak bisa berdalil dengannya.
Contoh {3}: Seperti pendapat sebagian ulama yang menetapkan bahwa ‘illah najisnya bangkai adalah terdapatnya darah yang tertahan. Maka mereka menyebutkan bahwa setiap binatang yang tidak memiliki peredaran darah maka bangkainya suci.
Penetapan ‘illah untuk jenis ini ditempuh dengan kaidah-kaidah (lebih luasnya dalam ilmu ushul fiqih) dalam mengamati keterkaitan antara dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah tersebut. Karena itulah sering didapatkan perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan ‘illah lewat metode ini, karena memang terkadang terdapat perbedaan pemahaman dan sisi pandang dalam menelusuri keterkaitan dalil-dalil.

PERUBAHAN HUKUM MENGIKUTI PERUBAHAN HAKIKAT SESUATU
Syari’at ketika menetapkan hukum terhadap sesuatu, maka hukum tersebut berlangsung padanya selama sesuatu tersebut masih berada pada hakikat yang dimaklumi. Namun apabila hakikatnya telah berubah kepada hakikat yang lain, maka hukumnya akan berganti sesuai apa yang ditetapkan oleh syari’at. Sebagai contoh: Tidak dipungkiri, bahwa air adalah sesuatu yang dinyatakan syari’at sebagai materi yang dipergunakan untuk bersuci. Sekarang, jika tertumpah sedikit pewarna (dari bahan yang suci) ke dalam air sehingga nampak sedikit keruh, apakah boleh bersuci dengannya? Jawabnya boleh, karena hakikatnya –secara syari’at maupun adat- masih diyakini sebagai air yang dimaklumi.
Adapun air yang telah bercampur dengan sirup, sehingga sifat sirup mendominasinya, maka tidak bisa dinamakan air lagi secara mutlak. Walaupun sama-sama dinamakan cairan, namun hakikatnya sudah tidak sama lagi dengan air (yang dimaklumi) dan tidak dianggap sebagai air lagi –secara syari’at ataupun adat-, sehingga tidak bisa dipakai untuk bersuci; karena itu hukum thoharoh dengannya tidak berlaku lagi. Demikian juga, jika air tersebut berubah salah satu sifatnya karena najis yang masuk kedalamnya, maka secara syari’at hakikatnya telah berubah dari air yang dimaksudkan untuk bersuci, menjadi air yang najis. Nah, perubahan sesuatu dari hakikat yang satu ke hakikat yang lain, di kalangan ulama dikenal dengan istilah Al-Istihaalah[4].
Ibnu Hazm Rahimahulloh dalam Al-Muhalla (132) mengatakan: “Apabila tahi atau bangkai terbakar, atau mengalami perubahan sehingga menjadi debu atau tanah, maka semuanya menjadi suci, bisa bertayammum dengannya. Bukti atas itu: Bahwasanya hukum-hukum hanyalah berlaku pada objek yang Alloh tetapkan hukum tersebut berlaku nama benda yang Alloh  ‘Azza wa Jalla katakan kepada kita. Apabila benda tersebut tidak layak menyandang nama (asal)nya lagi, maka ia pun tak berhak menyandang hukumnya dan ia bukanlah benda yang telah Alloh tetapkan hukum baginya. Tahi bukanlah tanah, bukan juga debu. Demikian juga khomr (minuman yang memabukkan) bukanlah cuka, manusia bukanlah darah yang darinya diciptakan dan bangkai bukanlah tanah”.
Maksud beliau bahwasanya bangkai hewan yang telah dikubur bertahun-tahun sehingga menjadi tanah, maka hukumnya adalah hukum tanah. Tidak bisa lagi dikatakan –secara syari’at dan akal- bahwa tanah ini adalah bangkai, maka hukumnya najis. Sementara perubahan nama yang disebutkan Rahimahulloh adalah perubahan nama yang disebabkan perubahan hakikat, karena perubahan nama tanpa perubahan hakikat tidak akan mempengaruhi sisi hukum. Minuman memabukkan, walau dinamakan bir, vodka, jus, atau sirup, atau apapun, tidak akan mengubah hukumnya dari keharaman, karena hakikatnya yang memabukkan tidak hilang.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dalam I’lamul Muwaqqi’in (1/394) –dalam konteks benda-benda yang suci dan najis- mengatakan: “Sesuatu yang baik jika berubah hakikatnya menjadi sesuatu yang jelek, maka ia menjadi najis, seperti air dan makanan jika hakikatnya berubah menjadi kencing dan kotoran. Maka bagaimana istihalaah bisa memberikan pengaruh (terhadap hukum) pada perubahan yang baik menjadi jelek namun tidak berpengaruh pada perubahan yang jelek menjadi yang baik?”. Selesai
Beliau Rahimahulloh dalam Bada’iul Fawa’id (3/119-120) juga mengatakan: “Hukum sesuatu  mengikuti nama dan sifatnya, berganti-ganti bersamanya dalam keadaan ada dan tidaknya”.
Catatan: Dalam masalah istihaalah khomr menjadi terdapat kondisi yang disepakati dan kondisi yang diperselisihkan.
Kondisi yang disepakati adalah apabila khomr tersebut menjadi cuka dengan sendirinya tanpa proses apa-apa baik dengan penambahan sesuatu ke dalamnya ataupun secara fisika (memanfaatkan temperature dll). Dalam kondisi ini maka khomr menjadi halal. Ijma’ ulama dalam masalah ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih Muslim (1983). Dengan ini hukum inilah fatwa ‘Umar dan Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhuma.[5]
Adapun kondisi yang diperselisihkan adalah apabila pengubahan khomr menjadi cuka ditempuh dengan upaya-upaya ke arah itu, karena adanya larangan khusus dalam masalah ini yang menunjukkan bahwa upaya istihaalah khomr menjadi cuka adalah perkara terlarang. Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya oleh Abu Tholhah tentang anak-anak yatim yang mewarisi khomr. Maka beliau berkata: “Tumpahkan”. Abu Darda’ bertanya: “Tidakkah kita menjadikannya sebagai cuka?” Beliau menjawab: “Tidak”. (HR Abu Daud dan Ahmad, dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikhuna Muhammad Hizam).
MENILIK PERUBAHAN HAKIKAT AIR
Hukum Asal Air
Seluruh air yang ada di bumi pada hakikatnya adalah suci lagi mensucikan, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu. Dikatakan kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Apakah kami berwudhu’ dari mata air Bidho’ah, yaitu mata air yang padanya dibuang kain bekas pembersih haid, daging anjing, dan kotoran?. Rosululloh berkata: “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatupun yang membuatnya najis”. (HR Ahmad dll. Dihasankan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikhuna Muhammad Hizam)
Yang dimaksud disini adalah setiap yang masih dikatakan air. Hal ini disebabkan bahwa yang terdapat pada dalil-dalil adalah penyebutan air secara mutlak (tanpa embel-embel), dan Rosululloh tidak membagi, ini air yang mensucikan dan ini yang tidak mensucikan. Adapun pembagian yang masyhur (yang asalnya dari mazhab Hanabilah) bahwasanya ada air yang mensucikan dan yang tidak mensucikan adalah pembagian yang tidak ada dalilnya. Selama hakikat dan namanya adalah air, maka boleh dipakai bersuci (Lihat Al-Majmu’ul Fatawa 19/236).
Adapun yang biasa dicontohkan, seperti: tidak boleh berwudhu dengan kopi, teh, jus jeruk dsb, pada dasarnya hanyalah pembicaraan yang keluar dari topik, karena secara syari’at maupun adat, cairan-cairan tersebut tidak layak lagi untuk disebut sebagai air secara mutlak karena hakikat yang berbeda.
Perubahan hakikatnya menjadi najis
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa berubahnya air dari hukum asalnya yang cuci menjadi najis karena ditemukannya ‘illah hukum najis, yaitu masuknya najis yang menyebabkan perubahan salah satu sifatnya.
Air yang najis menjadi suci lagi?
Telah diuraikan sebelumnya bahwa sebuah hukum berjalan dengan ‘illahnya. Apabila ‘illah ada maka hukum pun ada, jika tidak maka tidak. Ketika air yang najis dikembalikan lagi ke hakikat asalnya maka hukum najis pun hilang bersamaan dengan hilangnya ‘illah.
DIANTARA HIKMAH DAN KEADILAN ALLOH ADALAH PEMBEDAAN APA-APA YANG BERLAINAN
Perlu diketahui bahwa syari’at menyamakan apa-apa yang semisal dan membedakan apa-apa yang berlainan. Karena itulah Alloh mengingkari penyamaan antara dua perkara yang berlainan dan membedakan dua perkara yang semisal, sebab hal tersebut menyelisihi hikmah-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Alloh berfirman:
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ ^ مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيم
“Kumpulkanlah orang-orang zholim, yang semisal dengan mereka, serta sembahan-sembahan mereka selain Alloh, lalu tunjukkanlah jalan mereka ke neraka” (Ash-Shoffat 22-23)
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ  ^مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Apakah pantas Kami memperlakukan orang-orang muslim seperti para pendosa (kafir)? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian memutuskan mereka sama?” (QS Al-Qolam 35-36)
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الأرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Apakah pantas Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan  beramal sholeh dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Ataukah pantas bagi Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang jahat?” (QS Shod 28)
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan menyangka bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Amat buruk persangkaan mereka itu” (QS Al-Jatsiyah 21)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
“Orang-orang yang memakan riba, pada hari kiamat tidak akan dapat bangkit berdiri dari kubur mereka kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan. Hal itu karena mereka mengatakan bahwa jual beli sama dengan riba” (QS Al-Baqoroh 275)
PENUTUP
Syari’at ini adalah syari’at yang sempurna, masalah halal dan haram tak ada yang luput darinya, Alloh berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu” (QS An-Nahl 89)
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Kami telah merincikan bagi kalian apa-apa yang diharamkan atas kalian” (QS Al-An’am 119)
Penjelasan tersebut mencakup apa-apa yang disebutkan dari sunnah Rosululloh, karena sunnah tersebut merupakan penjelas Al-Qur’an. Hukum-hukum syariat ada yang disebutkan secara khusus, ada pula yang disinggung secara umum dan global. Mungkin dalam beberapa pembahasan hukum ditemui sedikit kerumitan, terlebih pada perkara-perkara yang tidak terbatas dalil khusus yang berbicara tentangnya. Namun dari kesempurnaan syari’at agama ini, pada dalil-dalil yang ada dapat dipetik kaidah-kaidah syariah yang bisa diterapkan di berbagai perkara. Semoga Alloh memberikan kepahaman dan membantu kita untuk mengamalkan,walhamdulillah
KITAB-KITAB TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN:
·         Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
·         I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qoyyim Rahimahullohu Ta’ala
·         Adhwa’ul Bayan karya Imam Asy-Syinqithy Rahimahullohu Ta’ala
·         Abhats Hai’ah Kibaril ‘Ulama jilid 6 (tahun 1423)
·         Fathul ‘Allam Karya Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohullohu Ta’ala
·         Syarh Manzhumah Qowa’id Fiqhiyyah Syaikh As-Sa’dy karya Syaikh ‘Abdulloh bin Lamh Al-Khaulany Hafizhohullohu Ta’ala
·         Ma’alim Ushulil Fiqh karya Muhammad bin Husein Al-Jezany Hadahullohu Ta’ala

[1] Yang terdiri dari: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bazz, Syaikh ‘Abdur Rozzaq ‘Afify, Syaikh Ibrohim bin Muhammad Alu Syaikh, Syaikh Sholih bin Luhaidan, Syaikh Muhammad bin ‘Ali Al-Harkan, Syaikh ‘Abdulloh Khayyaath, Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Abdulloh bin Humaid, Syaih Sulaiman bin ‘Ubaid, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Sholih, Syaikh Rosyid bin Khonin, Syaikh Muhammad bin Jubair, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Muhammad bin Ghosun, Syaikh ‘Abdul Majid Hasan, Syaikh ‘Abdulloh bin Qu’ud, dan Syaikh ‘Abdulloh bin Mani’ -Semoga Alloh mengampuni yang telah wafat dari mereka dan menjaga yang masih hidup untuk istiqomah di jalan salaf-.
[2] Lihat Majmu’ul Fatawa (8/70) dan Madarijus Salikin (1/267)
[3] Pada riwayat Ibnu Majah terdapat Rusydain bin Sa’ad. Dia Syadidud Dho’if. Imam An-Nawawy mengatakan: “Para Ahlul Hadits sepakat akan kedho’ifannya”. Adapun riwayat Al-Baihaqy terdapat ‘Athiyyah bin Baqiyyah dan bapaknya: Baqiyyah bin Walid. ‘Athiyyah dho’ifsementara bapaknya mudallis, meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah. (Lihat Fathul ‘Allam karya Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh)
[4] Roddul Mukhtar 1/ 191
[5] Shohih. Atsar ‘Umar diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (8/202) dan Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwal (311), sementara atsar Abu Darda’ diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalamMushonnafnya (8/20)

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)