Powered By Blogger

Translate

Jumat, 20 Juli 2012

KESALAHAN DALAM BERWUDHU


KESALAHAN DALAM BERWUDHU
Ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy
-saddadahulloh-.
Dammaj Harosahalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Alloh -subhanahu wa ta’ala- berfirman dalam surat Al-Maidah yang dikenal oleh para ulama sebagai ‘ayat wudhu’:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku. Usaplah kepala dan basuh kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat tersebut diawali dengan seruan Alloh -ta’ala- kepada orang-orang mukmin. Hal ini menunjukkan akan pentingnya perkara wudhu ini, karena dengan seruan tersebut mengharuskan adanya perhatian dari yang diseru. Kemudian seruan tersebut diarahkan kepada orang-orang yang beriman, sehingga menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum wudhu dalam ayat tersebut secara baik dan tepat merupakan konsekuensi iman. Sebaliknya, jika dilakukan secara serampangan, maka dapat mengurangi kualitas keimanan seorang mukmin. (lihat Tadwinul Faidah, oleh Syaikhuna Yahya -hafidzohulloh-, hal. 22)
Di samping itu, wudhu termasuk syarat sahnya sholat seseorang, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidak diterima sholat salah seorang dari kalian jika berhadats, sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Banyak hadits-hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang shohih menjelaskan perincian ayat tersebut, yaitu tata-cara berwudhu sesuai As-Sunnah yang jikalau umat Islam mengamalkan petunjuk Nabi mereka -baik dalam peribadatan maupun mu’amalah-, maka akan mendapatkan keutamaan yang banyak dan barokah serta kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akherat kelak. Ini semua merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat beliau-‘alaihis-sholatu was-salam- terhadap umat akhir zaman ini.
Demikian pula para sahabat beliau -rodhiyallohu ‘anhum-, telah bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menyampaikan sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada generasi setelah mereka para salafush-sholeh dan seterusnya, sehingga ajaran Islam yang murni ini -termasuk tata cara bersuci- sampailah kepada kita dengan sempurna dan terang-benderang -malamnya bagaikan siang-. Tidaklah seseorang itu berpaling dan enggan untuk menerimanya, melainkan ia akan hidup sengsara dan binasa.
Inilah sahabat Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhu- ketika berwudhu mengatakan kepada siapa yang waktu itu berada di sekitarnya: “Siapa yang ingin mengetahui wudhu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka inilah dia.” (Riwayat Abu Dawud)
Demikian juga ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-, ketika berwudhu dengan membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali, berkata kepada siapa yang ada di sekitarnya: “Aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Para salaf pun demikian bersemangat untuk menanyakan bagaimana tata cara wudhu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengajarkannya, sampai-sampai di antara mereka ada yang dikenal sebagai ‘Ibnu Syaikh Wudhu’ (anak syaikh wudhu); yaitu Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim Ash-Shofadiy (wafat 799H). Hal itu karena ayahnya dahulu suka mengajari orang-orang awam tata-cara berwudhu, sehingga dijuluki sebagai ‘Syaikh Wudhu’. (lihat Syudzurot Adz-Dzahab: 6/357)
PENTINGNYA KESEMPURNAAN DALAM BERWUDHU
Wudhu yang sempurna adalah wudhu yang sesuai dengan sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, dengan memenuhi kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnahnya serta menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Dengan demikian, seorang muslim yang membaguskan wudhunya akan mendapatkan manfaat dan keutamaan yang besar dari amalan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
Kesempurnaan wudhu separoh dari keimanan
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kesempurnaan wudhu adalah separoh dari keimanan.” (HR. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah dari Abu Malik Al-Asy’ariy -rodhiyallohu ‘anhu-, dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya -hafidzohulloh- dalam Tadwinul Faidah, hal. 18)
Diantara makna hadits ini adalah bahwasanya yang dimaksud iman di sini adalah sholat, sebagaimana dalam firman Alloh -subhanahu wa ta’ala-:
وَمَا كَانَ الله لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Alloh tidak akan menyia-nyiakan iman kalian (yaitu sholat kalian ketika masih berkiblat ke Baitul Maqdis).” (QS. Al-Baqoroh: 143)
Sedangkan wudhu adalah syarat sahnya sholat, maka seolah-olah ia adalah separoh sholat. Tidak melazimkan bahwa yang dimaksudkan dengan separoh di sini adalah secara hakiki. (lihatSyarh Shohih Muslim, no. 223; karya Imam An-Nawawiy -rohimahulloh-)
Wudhu yang baik penyebab datangnya ampunan
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي تَلِيهَا
“Tidaklah seorang muslim membaguskan wudhunya kemudian melakukan sholat, kecuali Alloh akan memberikan ampunan untuknya di antara sholat yang satu dengan sholat berikutnya.”(HR. Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu)
Yang dimaksud dengan membaguskan wudhu di sini adalah melakukan sifat (tata cara) dan adab wudhu secara sempurna. Dalam hadits ini pula mengandung anjuran untuk mempelajari syarat-syarat, tata cara, adab-adab berwudhu dan beramal dengannya secara hati-hati serta bersungguh-sungguh untuk berwudhu secara sempurna. (lihat Syarh Shohih Muslim, no. 333)
Wudhu yang sempurna sebab dihapuskannya dosa-dosa
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ أَتَمَّ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ تَعَالَى، فَالصَّلَوَاتُ الْمَكْتُوبَاتُ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ
“Siapa yang menyempurnakan wudhunya sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh ta’ala, maka sholat lima waktu itu sebagai penghapus dosa di antara sholat-sholat tersebut.” (HR. Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-)
Hadits ini berlaku bagi seseorang yang mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban-kewajiban dalam berwudhu, tanpa melakukan perkara-perkara sunnah mustahabbah dalam berwudhu. Jika seseorang menyempurnakan wudhunya dengan melakukan perkara-perkarasunnah, maka akan lebih banyak pula dosa-dosa yang dihapuskan. (lihat Syarh Shohih Muslim, no. 231)
Sebab dibukakannya pintu-pintu masuk jannah
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاء
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan membaguskan wudhunya, lalu mengucapkan: “Asyhadu all-laa ilaaha illalloh, wa anna Muhammadan ‘abdullohi wa rosuuluh,” melainkan akan dibukakan untuknya delapan pintu-pintu jannah, silahkan ia memasukinya dari pintu manapun yang dikehendaki.” (HR. Muslim dari Umar bin Al-Khotthob -rodhiyallohu ‘anhu-)
SIFAT (TATA-CARA) WUDHU NABI
Banyak diantara para salaf menjelaskan tata-cara berwudhu dengan cara praktek langsung di hadapan orang-orang. Hal ini telah dimaklumi bersama, bahwa hal itu lebih mudah untuk diingat dan dipahami daripada hanya sekedar teori.
Diantara riwayat yang lengkap dalam menggambarkan sifat wudhu Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Bukhori dan Muslim:
دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ: هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ.
“Beliau meminta air wudhu, lalu memulai berwudhu dengan mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali. Kemudian berkumur-kumur disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya. Kemudian mencuci wajah sebanyak tiga kali. Lalu mencuci tangan kanan sampai siku sebanyak tiga kali, demikian juga tangan kirinya. Kemudian mengusap kepala. Lalu mencuci kaki kanannya sampai mata kaki sebanyak tiga kali, demikian juga kaki kirinya. Lalu beliau berkata: “Aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.” Kemudian menyampaikan sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu mendirikan sholat dua rokaat dengan khusyu’, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Ibnu Syihab Az-Zuhriy -rohimahulloh- berkata: “Ulama kami dahulu mengatakan: “Ini adalah cara wudhu terbaik yang dilakukan seseorang untuk mendirikan sholat.”
Banyak riwayat-riwayat lainnya secara rinci melengkapi hadits ini dalam tata-cara wudhu, sehingga dapat disimpulkan secara singkat bahwa sifat wudhu Nabi secara urut dan sempurna adalah sebagai berikut:
·         Pertama, berniat wudhu dalam hati; lalu mencuci kedua telapak tangan (tiga kali);
·         Kemudian berkumur disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya (istintsar) sebanyak tiga kali;
·         Lalu mencuci atau membasuh seluruh permukaan wajah (tiga kali); disertai dengan menyela-nyela jenggot (jika berjenggot lebat sampai menutup kulit di bawahnya);
·         Lalu mencuci kedua tangan: dari ujung jari sampai siku (tiga kali);
·         Kemudian mengusap kepala sebanyak satu kali, dimulai dari arah depan tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke belakang, lalu mengembalikannya kembali ke depan disertai dengan mengusap kedua telinga, dengan memasukkan ujung jari telunjuk ke dalam lobang telinga dan mengusap bagian dalam telinga dangan jari telunjuk dan bagian luar dengan ibu jari; atau mengusap ‘imamah jika sedang mengenakannya (sebagai ganti mengusap kepala);
·         Kemudian mencuci kedua kaki sampai mata kaki (tiga kali); atau mengusap bagian atas kedua khuf (sepatu tinggi yang menutupi mata kaki atau kaos kaki) jika sedang mengenakannya;
·         Kemudian yang terakhir membaca dzikir setelah wudhu sebagaimana telah tersebut dalam hadits Umar -rodhiyallohu ‘anhu- di atas (asy-syahadatain).
·         Semuanya dilakukan secara tertib dan terus-menerus tanpa ada jeda dalam waktu yang lama tanpa adanya udzur syar’iy.
Adapun perincian sifat wudhu Nabi selengkapnya, baik kewajiban-kewajiban atau sunnah-sunnahnya yang disertai dengan dalil-dalilnya, maka tidaklah disebutkan di sini, tetapi memerlukan risalah tersendiri. Semoga Alloh -subhanahu wa ta’ala- memudahkannya di waktu mendatang.
KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BERWUDHU
Hal ini merupakan inti pembahasan risalah ini yang bertujuan agar kaum muslimin  menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan wudhunya, bahkan diantara kesalahan-kesalahan tersebut ada yang merusak sahnya wudhu seseorang.
Batasan kesalahan dalam berwudhu
Yang dimaksudkan dengan melakukan kesalahan dalam berwudhu adalah jika seseorang:
-          Meninggalkan kewajiban-kewajiban wudhu, seperti niat, membasuh wajah, tangan, kaki, mengusap kepala dan sebagainya.
-          Melakukan hal-hal yang tidak ada dalilnya sama sekali.
-          Melakukan atau meninggalkan sesuatu sebagai bentuk penyelisihan terhadap dalil-dalil yang jelas dan shohih serta mengikuti pendapat yang sangat lemah.
Beberapa kesalahan dalam berwudhu
1. 1. Melafadzkan niat.
Niat adalah syarat sahnya suatu amalan, termasuk wudhu ini. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan itu dengan niat-niat dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhoriy dan Muslim dari Umar -rodhiyallohu ‘anhu-)
Niat adalah amalan hati, yaitu kehendak hati untuk melakukan sesuatu dan bukan amalan lisan. Melafadzkan niat dalam berwudhu dan ibadah lainnya tidaklah disyariatkan, karena hal itu tidak pernah dilakukan dan dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, juga tidak seorang pun dari para khulafaur-rosyidin, para sahabat, salafush-sholeh dan para ulama muslimin melakukannya. Itu hanyalah perkara yang diada-adakan oleh orang-orang belakangan yang tidak merasa cukup dengan apa yang telah dituntunkan oleh syariat yang telah sempurna ini.
Alloh -subhanahu wa ta’ala- maha mengetahui niat-niat yang ada dalam hati-hati manusia, sehingga tidak ada perlunya lagi bersusah payah untuk melafadzkannya. Apakah masuk akal, jika seseorang hendak makan -misalnya-, lalu ia mengatakan: “Aku berniat makan ini dan itu untuk menghilangkan rasa lapar…” Maka demikian pula dalam berwudhu ataupun amalan lainnya, tidaklah perlu dia berkata: “Aku berniat untuk berwudhu untuk menghilangkan hadats…” Tidaklah hal itu dilakukan, kecuali oleh orang yang jahil dan kurang akalnya. Maka hal itu tertolak, baik secara tabiat maupun syariat.
Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan bahwa hal itu merupakan kebid’ahan menurut kesepakatan ulama. Siapa yang melakukannya dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyariatkan, maka ia adalah seorang jahil dan sesat serta pantas mendapatkan hukuman. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam -rohimahulloh-: 22/218 & 236)
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan suatu amalan bukan dari tuntunan kami (kebid’ahan), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)
1. 2. Mencuci kedua mata bagian dalam.
Perbuatan ini tidak disunnahkan, baik dalam berwudhu maupun mandi wajib, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah melakukannya dan tidak pula menuntunkannya, bahkan dapat mengganggu kesehatan mata. Adapun pendapat sebagian orang akan disunnahkannya perbuatan tersebut, sama sekali tidaklah didukung dengan dalil.
1. 3. Berlebihan dalam penggunaan air wudhu.
Dahulu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menggunakan sedikit air wudhu. Seringnya beliau berwudhu dengan satu mud air (kurang lebih sebanyak dua telapak tangan orang dewasa), sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim. Bahkan beliau pernah berwudhu hanya dengan dua pertiga mud, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Umaroh -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’iy (dishohihkan oleh Imam Al-Wadi’iy -rohimahulloh- dalam Ash-Shohihul Musnad: 2/544)
Tidak apa-apa jika seseorang berwudhu dengan menggunakan air lebih dari satu mud jika dibutuhkan, selama tidak berlebihan. Hal ini karena tidak ada dalil tentang batasan air terbanyak yang boleh digunakan. Berwudhu secara sempurna dengan menggunakan sedikit air menunjukkan tingkatan fiqih seseorang dan ini termasuk madzhab Ahlussunah wal jama’ah, berbeda dengan kelompok ‘Ibadhiyah dan Khowarij yang suka berlebihan dalam menggunakan air wudhu. Kelompok ini muncul pada zaman tabi’in dan banyak atsar-atsar salafdiriwayatkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan mereka. (lihat At-Tamhid: 8/105, karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr -rohimahulloh-)
1. 4. Mencuci atau membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali dan menganjurkan umatnya untuk melakukan yang demikian, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhoriy dan Muslim tersebut di atas.
Beliau juga pernah berwudhu dua kali-dua kali sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid  -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhoriy dan satu kali-satu kali sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Bukhoriy. Terkadang beliau mencuci atau membasuh sebagian anggota wudhu tiga kali dan sebagian yang lain dua kali salam sekali berwudhu, sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid -rodhiyallohu ‘anhu- juga riwayat Bukhoriy dan Muslim.
Semuanya boleh dilakukan meskipun yang afdhol adalah cara pertama. Akan tetapi beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang umatnya untuk sengaja membasuh lebih dari tiga kali dengan sabda beliau setelah berwudhu:
هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Demikianlah wudhu itu, siapa yang menambah dari ini (lebih dari tiga kali basuhan), maka dia telah melakukan kejelekan, melanggar dan berbuat dzolim.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dari ‘Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma, dihasankan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam dalam Fathul ‘Allam: 1/148)
1. 5. Mengusap kepala lebih dari sekali.
As-Sunnah yang shohih menunjukkan secara jelas bahwa kepala hanyalah diusap sekali saja, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman, ‘Abdulloh bin Zaid dalam Ash-Shohihain dan juga hadits ‘Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhum- dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad yang shohihbahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengusap kepalanya sebanyak satu kali dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (lihat Fathul ‘Allam: 1/151)
Adapun yang berpendapat bahwa kepala juga diusap sebanyak tiga kali sebagaimana anggota wudhu lainnya, berdalil dengan keumuman hadits bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu tiga kali sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi hadits ini bersifat global, telah diperjelas oleh hadits-hadits lainnya secara terperinci yang hendaknya seseorang itu beramal dengannya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
Mereka juga berdalil dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menunjukkan bahwa beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengusap kepala sebanyak tiga kali, tetapi riwayat-riwayat tersebut sangat lemah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
1. 6. Mengusap tengkuk.
Tidak ada dalil yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau mengusap tengkuknya ketika berwudhu. Sebaliknya, riwayat-riwayat yang shohihah tentang sifat wudhu tidak menyebutkan sama sekali bahwa beliau melakukan hal itu. Dengan demikian, mengusap tengkuk ketika berwudhu termasuk perbuatan kebid’ahan yang tertolak dalam agama ini. (lihat Fathul ‘Allam: 1/145) Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami (agama ini) yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)
1. 7. Mencukupkan diri dengan mengusap telinga tanpa kepala.
Tidak sah wudhu seseorang yang hanya mencukupkan diri dengan mengusap dua telinga dan meninggalkan untuk mengusap kepala menurut kesepakatan (ijma’) para ulama. (lihat Al-Muhalla, no. 199; karya Ibnu Hazm dan Syarhul Muhadzab: 1/415, karya Imam An-Nawawiy -rohimahumalloh-)
1. 8. Sekedar mengusap kedua kaki tanpa mencucinya.
Telah mutawatir dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau dalam berwudhu membasuh atau mencuci kedua kaki sampai mata kaki jika tidak sedang mengenakan khuf. Tidak ada satu riwayat pun yang shohih, bahwa beliau sekedar mengusap keduanya saja. Bahkan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengingkari seseorang yang sekedar mengusap kedua kaki tanpa membasuhnya dengan berseru:
وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Neraka Wail (kecelakaan dengan sengatan api neraka) bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh air wudhu)!” (HR. Bukhori dan Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma-)
Oleh karena itu, membasuh kedua kaki dalam berwudhu merupakan sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang wajib dilakukan dan merupakan madzhab Ahlussunnah. Para sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersepakat tentang hal ini. Tidak shohih dari seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini, kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas dan Anas -rodhiyallohu ‘anhum-. Akan tetapi telah shohih riwayat-riwayat tentang rujuknya mereka semua kepada al-haq.  (lihat Fathul Bariy: 1/348, karya Ibnu Hajar -rohimahulloh-)
Adapun kelompok Rofidhoh, mereka mengatakan bahwa kedua kaki hanya diusap saja tanpa dibasuh atau dicuci. Maka mereka telah menyelisihi dalil-dalil As-Sunnah mutawatir tentang membasuh kedua kaki. Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan: “Siapa yang hanya mengusap kedua kaki, maka dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) menyelisihi As-Sunnah yang mutawatir dan juga Al-Quran.” (lihat Majmu’ Fatawa: 21/134)
1. 9. Meninggalkan sebagian anggota wudhu tidak terkena air.
Merupakan suatu kewajiban dalam berwudhu adalah mengenakan air pada seluruh anggota wudhu. Hal ini merupakan syarat sahnya wudhu. Tidak sah wudhu seseorang kecuali melakukan hal tersebut. Terkadang seseorang tergesa-gesa dalam berwudhu, sehingga sebagian anggota wudhunya tidak terkena air, seperti pada ujung siku, mata kaki, sela-sela jari, baik tangan maupun kaki. Maka ini merupakan suatu kesalahan yang harus dihindarkan agar wudhunya sah.
Sebagian orang ketika mencuci kedua tangan, hanya mencukupkan diri dengan mencucinya mulai dari pergelangan tangan sampai siku saja dan meninggalkan kedua telapak tangan dengan alasan, bahwa kedua telapak tangan tersebut telah dicuci pertama kali ketika memulai wudhu. Ini tidaklah benar, karena mencuci kedua telapak tangan ketika itu hukumnya sunnah mustahabbah, sedangkan mencuci kedua tangan setelah wajah -mulai dari ujung jari tangan sampai siku- adalah wajib, tidak sah wudhu seseorang tanpanya. Jadi dibedakan antara yang pertama dengan kedua.
Demikian juga, seseorang yang terkena sesuatu yang dapat menghalangi air untuk membasahi anggota wudhunya, seperti jika terkena cat atau bahan-bahan lainnya. Sehingga ada sebagian anggota wudhu yang tidak terkena air, maka tidak sah wudhunya. Maka hendaknya seseorang berhati-hati dalam hal ini dengan memeriksa bagian tersebut dan menghilangkannya ketika berwudhu.
Perlu diperhatikan pula jika jari-jari kakinya rapat, sehingga kemungkinan besar air tidak masuk ke sela-sela jari kaki, kecuali dengan menyela-nyelanya. Maka, wajiblah baginya untuk menyela-nyela jari kaki atau tangannya agar sempurna wudhunya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَسْبِغِ الوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ
“Sempurnakanlah wudhu dan sela-selahilah antara jari-jari kalian.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasaiy, Ibnu Majah, dan selain mereka, dishohihkan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam -hafidzohulloh-, lihat Fathul ‘Allam: 1/160)
Para ulama menyatakan bahwa siapa yang meninggalkan apa yang wajib dibasuh atau dicuci dalam berwudhu, meskipun hanya selebar rambut, baik sengaja maupun tidak, maka tidak sah sholatnya dengan wudhu tersebut sampai ia menyempurnakannya. Hal itu karena ia belumlah teranggap mendirikan sholat dengan thoharoh (bersuci) yang diperintahkan. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda (maknanya): “Siapa yang melakukan amalan bukan dari tuntunan kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama. (lihat Al-Muhalla, no. 205; karya Ibnu Hazm dan Syarh Shohih Muslim: 3/132)
10. Mengangkat tangan dan menghadap kiblat setelah berwudhu.
Ini banyak dilakukan oleh awam kaum muslimin, tidak ada dalilnya yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak pula dilakukan para sahabat serta para salafush-sholehsepeninggal beliau. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda (maknanya): “Siapa yang mengada-adakan pada urusan agama ini perkara yang bukan darinya, maka ia tertolak.”(Muttafaqun ‘alaih)
Mengangkat tangan dan menghadap kiblat adalah termasuk perkara ibadah yang dibangun di atas dalil, karena asal dari suatu peribadahan adalah terlarang (haram), kecuali ada dalilnya yang shohih.
11. Mengucapkan doa-doa yang tak ada dalilnya.
Adapun mengucapkan do’a khusus pada setiap kali membasuh anggota wudhu; ketika membasuh wajah, tangan, kaki dan sebagainya, maka hal ini sama sekali tidak shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk melakukannya. Orang-orang awam biasanya mengatakan ketika berkumur dalam wudhunya:
اللَّهمَّ اسقِنِي من حوض نبيِّك كأساً لا أظمأ بعده أبداً،
“Ya Alloh, berikanlah segelas air dari telaga Nabi-Mu, sehingga aku tidak haus selamanya,”
ketika ber-istinsyaq membaca:
اللَّهمَّ لا تحرمنِي رائحةَ نعيمك وجنّاتك،
“Ya Alloh, janganlah Engkau haramkan atasku aroma kenikmatan dan syurga-Mu,”
ketika mencuci wajah mengatakan:
اللَّهمَّ بيِّض وجهي يوم تبيَّض وجوه وتسودُّ وجوه،
“Ya Alloh, putihkanlah wajahku pada hari diputihkan dan dihitamkannya wajah-wajah,”
ketika mencuci kedua tangan dengan mengatakan:
اللَّهمَّ أعطنِي كتابي بيميني، اللَّهمَّ لا تُعطنِي كتابي بشمالي،
“Ya Alloh, berikanlah catatan amalku dari arah kananku. Ya Alloh, janganlah Engkau berikan catatanku dari arah kiriku,”
ketika mengusap kepala mengatakan:
اللَّهمَّ حرِّم شعري وبَشَرِي على النار،
“Ya Alloh, hindarkanlah rambut dan kulitku dari api neraka,”
ketika mengusap kedua telinga membaca:
اللَّهمَّ اجعلنِي من الذين يستمعون القولَ فيتَّبعون أحسنه،
“Ya Alloh, jadikanlah aku sebagai orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik,”
ketika mencuci kedua kaki mengatakan:
اللَّهمَّ ثبّت قدمي على الصراط،
“Ya Alloh, tegarkanlah kaki di atas shiroth.”
Maka semuanya itu termasuk perkara yang tidak ada dalilnya sama sekali dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak pula dari shohabattabi’in dan para imam kaum muslimin setelah mereka. Yang ada hanyalah hadits palsu, dusta atas nama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. (lihat Al-Wabilush-Shoyyib, hal. 316; karya Ibnul Qoyyim -rohimahulloh-)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencukupkan diri dengan apa yang telah dituntunkan oleh As-Sunnah serta menjauhi apa-apa yang diada-adakan oleh manusia setelah itu.
Wallohu ‘a’lam bish-showab.
Ini adalah beberapa kesalahan dalam berwudhu yang dapat kami sampaikan pada kesempatan yang mubarok kali ini sebagai isyarat kepada yang semisalnya. Mungkin para pembaca -yang dimuliakan oleh Alloh- menemui bentuk-bentuk kesalahan lainnya termasuk dalam kategori kesalahan yang telah tersebut di atas, maka hendaknya kita saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan dengan cara yang baik dan bijaksana dalam rangka menegakkanamar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan salah satu pilar pokok agama ini dan kunci kejayaan umat Islam.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tidaklah aku bermaksud, kecuali mengadakan perbaikan selama masih sanggup melakukannya dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Alloh. Hanya kepada Alloh-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.
Sumber penulisan risalahAsy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-; Tadwinul Fa’idah Fii Tafsir Ayatil-Wudhu’ Min Surotil-Ma’idah, karyaSyaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy; Shifatu Wudhu’in-Nabiy -‘alaihis-sholatu was-salam-, oleh Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al-Iryaniy; Fathul ‘Allam Fii Dirosati Ahadits Bulughil-Marom; olehSyaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Ba’daniy -hafidzohumulloh-; Adzkarut-Thoharoh Was-Sholah, oleh Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr –waffaqohulloh

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)