Powered By Blogger

Translate

Jumat, 20 Juli 2012


SEKILAS TENTANG KAPAN SESEORANG DIHUKUMI KELUAR DARI DAERAH AHLUS SUNNAH





DITULIS OLEH:

ABU SAIF MUFTI BIN CHOIRI



MENGIZINKAN DALAM PENYEBARANNYA:
ASY-SYAIKH YAHYA BIN ALI AL- HAJURY
-SEMOGA ALLOH AZZA WA JALLA MENJAGANYA -



DITERJEMAHKAN OLEH:
UMMU AMMAR FATHIMAH






MUQODDIMAH PENULIS

Saya bersyukur kepada Alloh Azza wa Jalla yang senantiasa memberikan nikmatNya kepada hamba-Nya yang faqir ini dengan tetap mengokohkannya di atas Al-Kitab dan As-Sunnah di atas pemahaman salafus sholih, semoga Alloh Azza wa Jalla mengekalkan nikmat ini sampai akhir hayat saya.

Saya juga merasa bersyukur kepada semua pihak yang telah membantu di dalam menyelesaikan terjemahan ini, baik dari keluarga seperti istri, ibu dan adik, semoga Alloh Azza wa Jalla memberikan hidayahNya bagi mereka, atau dari ikhwah.

Yang mendorong kita untuk menerjemahkan risalah yang singkat ini adalah banyaknya ikhwah yang meminta agar risalah ini diterjemahkan supaya manfaatnya bisa lebih meluas, maka saya dengan kemudahan yang diberikan oleh Alloh Azza wa Jalla menyambut permintaan tersebut.

Bagi penterjemah risalah ini, yaitu Ummu Ammar Fathimah semoga Alloh Azza wa Jalla menjadikannya istri yang sholihah di dunia dan di akhirat, dan semoga Alloh Azza wa Jalla memberikan taufiq kepadanya untuk senantiasa bersemangat dalam tholabul ilmi. Dan tentunya penterjemah menterjemahkan risalah ini dengan koreksi dari saya secara langsung, akan tetapi usaha manusia tetaplah ada kekurangannya, maka barangsiapa yang memberikan kritik kepada kami kita akan menerimanya dengan lapang dada.

Abu Saif Mufti bin Khoiri
Malam Sabtu, 26 Jumadil Akhir 1432H
atau bertepatan pada 27 Mei 2011, di kediaman Ceweng Jombang Jawa Timur.



SEKILAS TENTANG KAPAN SESEORANG DIHUKUMI KELUAR DARI
DAERAH AHLUS SUNNAH
1

Tulisan ini adalah ungkapan tentang jawaban dari pertanyaan saudara kita ad- da'i ilAlloh Azza wa Jalla Nurul Yaqin –semoga Alloh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada saya dan kepadanya-
2 karena sudah sepantasnya bagi seorang salafy itu untuk merasa peka terhadap keadaan saudaranya, dan hendaknya juga dia menjadikan bantuannya itu bagi agama ini dan juga bagi kaum muslimin. Dan sebelumnya saya meminta udzur padanya dikarenakan terlambatnya jawaban saya ini dari pertanyaannya, disebabkan banyaknya kesibukan atau hal-hal yang lainnya, yang itu semua membuat saya terlambat dalam menjawab pertanyaannya, wallohul musta'aan.

Dan ahlul ilmi telah menetapkan sebuah qoidah yang penting, bahwasannya “tidak boleh mengakhirkan sebuah penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Dan Imam As-Shon'any telah menukilkan ijma' (kesepakatan ulama') tentang hal itu, sebagaimana dalam kitabnya Subulus Salam. Maka kami memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar mengampuni kami dan kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin.

Adapun pertanyaanmu yang pertama: Apa perbedaan antara manhajnya Ja'far hadahulloh dengan manhajnya Syaikh Yahya hafidzhohulloh ta'ala dalam masalah tahdzir dan hajr?

Aku menjawab pertanyaan ini dengan meminta tolong kepada Alloh Azza wa Jalla:
Jangan pedulikan orang busuk ini, jangan engkau samakan dia dengan Syaikh Yahya hafidzhohullohu ta'ala dan yang terpenting dari semua itu adalah bahwa engkau memahami qoidah-qoidah dalam permasalahan tersebut.

Saya berikan sebuah faedah kepadamu tentang apa yang telah dikatakan oleh Imam Asy-Syathiby – rohimahullohu ta'ala–, beliau mengatakan: Barangsiapa terus-menerus melakukan penyelisihan terhadap perkara- perkara yang cabang setelah penegakan hujjah atasnya dan menghilangkan syubhat darinya, dan barangsiapa yang melakukan penyelisihan terhadap perkara- perkara ushul (inti) walaupun penyelisihan tersebut dilakukan satu kali dengan sengaja.

Maka perhatikanlah qoidah ini dengan seksama.
Dan berkata sebagian ulama' yang lainnya tentang ketentuan kapan seseorang menjadi mubtadi': barangsiapa yang membuat-buat perkara yang baru di dalam agama ini.

Imam Ahmad telah menulis sebuah kitab yang berjudul “Ushulus Sunnah” (Pokok- pokok Sunnah) dan ini adalah kitab yang sangat bagus untuk di rujuk dalam permasalahan ini, maka merujuklah engkau kepada kitab ini dan perhatikanlah qoidah- qoidah yang terdapat padanya. Walaupun penisbatan kitab ini kepada beliau terdapat celaan dari sisi sanadnya, akan tetapi kita terima penisbatan kitab ini kepada beliau karena itulah yang masyhur di sisi ahlul ilmi, sebagaimana berfatwa dengan yang demikian itu syaikhuna Yahya -hafidzhohullohu ta'ala- ketika saya bertanya permasalahan ini kepada beliau.
3

Dan bacalah perkataan Syaikh Yahya -hafidzhohullohu ta'ala- dalam pertanyaan yang diajukan oleh penduduk daerah Lahj, pada malam Ahad, bertepatan pada 23 Robiul Akhir 1430H. Seorang penanya berkata: Saya berdalil tentang kesalafiyahannya Abdurrohman Al- Adeny dengan bahwasannya dia belum pernah bergabung dengan jama'ah hizbiyah manapun yang ada di sekitar, maka apakah ucapan yang seperti ini bisa dibenarkan? Dan apa nasehat anda, wahai syaikh?

Beliau -hafidzhohullohu ta'ala- menjawab: Perkataan yang seperti ini tidak benar, kalau seandainya kita mengamati firqoh syi'ah terbagi menjadi berapa kelompok mereka?! Lebih dari dua puluh kelompok, demikian juga yang terjadi pada firqoh shufiyah, murji'ah, jahmiyah, mu'tazilah, dan firqoh-firqoh hizbiyin yang lainnya. Dan demikian juga permasalahan ini, maka perkataan bahwasannya seseorang tidak menjadi seorang hizbiy kecuali dia berada di bawah hizb (kelompok) yang lainnya, ini adalah pembuatan qoidah yang bathil, berapa banyak manusia yang tidak menginginkan di bawah hizb yang lainnya, bahkan dia menginginkan untuk mempunyai hizb tersendiri, dan dia yang menjadi pemimpin dalam kesesatan, dari sinilah terjadi perpecahan. Dahulu Imam Al- Hasan Al- Bashry mempunyai murid-murid diantara mereka Washil Al- Ghozaly kemudian Washil bin Atho' membuat qoidah- qoidah tersendiri yang menyelisihi qoidah- qoidah Ahlus Sunnah kemudian memisahkan diri dari Al- Hasan dan setelah itu dia termasuk dari para imam- imam kesesatan, demikian juga yang terjadi pada Amr bin Ubaid dan yang selain mereka, maka ini adalah pembuatan qoidah yang bathil, dan tidak dikatakan pula bahwasannya seseorang tidak menjadi hizbiy kecuali jika dia bergabung dalam pemilu, dan tidak menjadi hizbiy kecuali dia mempunyai pengaturan yang tersembunyi atau dia mempunyai jamiyat (yayasan), semua ini bukanlah sesuatu yang lazim. Al- hizbiyah adalah wala' (loyalitas/kecintaan) dan baro (perlepasan diri) yang sempit, dan ini terpenuhi pada Abdurrohman Al- Adeny dan hizb yang baru itu.

Dan saya berikan sebuah faedah kepadamu dengan perkataan Syaikh Yahya -hafidzhohullohu ta'ala- yang perkataan beliau ini lebih mencakup dan ringkas dari pada sebelumnya, beliau ditanya (pertanyaan ini diajukan pada malam Ahad bertepatan dengan tanggal 30 Romadlon 1427H) tentang: Siapakah itu hizby?

Maka beliau menjawab: Al-hizbiyah adalah wala' dan baro' yang sempit yang terbatas pada orang- orang yang bergabung bersama mereka tanpa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, dan hizbiyun adalah orang- orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah, maka setiap orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah tergantung banyak atau sedikitnya dia melakukan penyelisihan, padanya itu ada kebid'ahan dan kehizbiyan.

Syaikh Muqbil –rohimahullohu ta'ala– ditanya tentang: Bagaimana cara memperingatkan para pemuda dari hizbiyah yang tersembunyi?

Beliau menjawab: Diketahui dengan wala' yang sempit. Maka siapa saja yang bersama mereka, mereka akan memuliakannya, dan menyeru manusia untuk menghadiri muhadlorohnya dan untuk senantiasa mengambil faedah darinya, dan barangsiapa yang tidak bergabung bersama mereka maka dia adalah musuh mereka. [Tuhfatul Mujib/112].

Dan Syaikh Muqbil –rohimahullohu ta'ala– juga pernah ditanya tentang: Apakah
boleh mengitlaqkan kalimat “mubtadi'” terhadap seseorang dengan menunjuknya secara pribadi, dikarenakan dia bergabung dengan salah satu jama'ah hizbiyah yang ada di masa kita saat ini?

Maka beliau menjawab: Saya tidak mengetahui adanya halangan dari yang demikian itu, kecuali jama'atul haq maka tidak termasuk yang demikian itu dan jika dia bergabung dengan mereka dalam keadaan bodoh, maka hal itu adalah urusan dia dengan Alloh Azza wa Jalla. [Fadloih Wa Nashoih/118].

Penulis berkata: Dan yang demikian itu dikarenakan mereka ta'ashub (fanatik) terhadap kebatilan, maka mereka menjadi hizbiyun dikarenakan sebab tersebut. Dan kehizbiyahan adalah termasuk bid'ah.

Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Alloh Azza wa Jalla yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (dirodloi) Alloh Azza wa Jalla? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Alloh Azza wa Jalla) tentulah hukumannya di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh orang- orang yang dlolim itu akan mendapatkan adzab yang sangat pedih.”
(QS. Asy Syura: 21).

Dan Alloh Azza wa Jalla berfirman juga:
“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
(QS. Ar Rum: 32).

Dan di antara pokok- pokok Ahlus Sunnah adalah persatuan, dan ini telah mereka selisihi,
4 dan jika engkau menginginkan tambahan penjelasan maka merujuklah kepada kitab “Mukhtashor Bayan” dan yang selainnya dari artikel-artikel ilmiyah yang jelas. Dan saya ingin mengingatkan juga bahwasannya nampak dari pertanyaan-pertanyaanmu itu ada padamu syubhat dan keraguan, maka saya menasehatkan agar engkau bertaqwa kepada Alloh Azza wa Jalla dan ikhlas, dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam mencari kebenaran. Kita memohon kepada Alloh Azza wa Jalla untuk memberikan hidayah kebenaran bagi saya dan bagimu.



QOIDAH- QOIDAH DI DALAM MENGHAJR

Al-hajr secara bahasa: at- tark (meninggalkan), yang dimaksud di sini adalah meninggalkan ahlul bid'ah dan menjauh dari mereka, dan juga meninggalkan kecintaan terhadap mereka dan loyalitas terhadap mereka juga salam kepada mereka, termasuk juga menjenguk jika mereka sakit, dan yang lain sebagainya.

Berkata Imam Ahmad –rohimahullohu ta'ala–: Wajib menghajr orang- orang kafir
dan orang- orang fasiq dikarenakan bid'ah yang dia lakukan, atau orang-orang yang menyeru kepada bid
ah yang menyesatkan atau yang memfasiqkan, bagi seseorang yang tidak mampu atau lemah untuk membantah mereka atau ditakutkan akan terpedaya oleh mereka dan terganggu. [Al-Adab Syar'iyah].

Berkata Abu Dawud As-Sijistany –rohimahullohu ta'ala–: Saya bertanya kepada
Abu Abdillah Ahmad bin Hambal: Saya melihat seseorang dari Ahlus Sunnah bersama dengan seseorang dari ahlul bid'ah, apakah saya meninggalkan dari bercakap- cakap dengannya? Beliau menjawab: Jangan, apakah engkau telah memberitahukan padanya bahwa orang tersebut adalah ahlul bid'ah, maka jika dia meninggalkan dari bercakap-cakap dengannya maka bergaulah dengannya dan jika dia masih tetap saja maka ikutkanlah dia dengannya, berkata Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhu: Seseorang itu tergantung temannya.
(Diriwayatkan oleh Abu Ya'la di dalam Thobaqotul Hanabilah/1/160, dengan sanad yang shohih).

Berkata Imam As-Shon'any –rohimahullohu ta'ala–: Berkata Ibnu Abdil Bar:
Mereka (para ulama') telah bersepakat bahwasannya dibolehkan untuk menghajr seseorang lebih dari tiga hari, bagi orang yang jika berbicara dengannya memicu kepada kurangnya orang yang mengajak bicara, baik di dalam agamanya atau akan terjadinya kerusakan pada dirinya sendiri atau dunianya, maka terkadang hajr itu lebih baik dari pada pergaulan yang mengganggu. Dan telah tersebut di depan perkataan tentang hajr terhadap orang yang padanya itu ada sesuatu yang tercela secara syar'i, dan telah terjadi dari beberapa salaf saling menghajr baik dari para shohabat, tabi
in, dan orang- orang yang setelah mereka. Dan pensyarah menganggap beberapa orang dari salaf mengingkari hal ini berasal dari orang-orang semisal mereka, dan mereka mempunyai udzur atas yang dimikian itu.
(Subulus Salam/4/167).

Berkata Syaikhul Islam –rohimahullohu ta'ala–: Barangsiapa yang berbaik sangka
terhadap mereka (ahlul batil) dan mengaku bahwasannya dia tidak mengetahui keadaan mereka, diberitahukan kepadanya keadaan mereka maka jika dia tidak meninggalkan mereka dan menampakkan pengingkaran atas mereka, maka dia diikutkan bersama mereka dan menjadi bagian dari mereka. (Al- Fatawa/2/113).

Berkata Syaikhul Islam –rohimahullohu ta'ala–: Dan menghajr ahlul bid'ah baik
yang kafir dan yang fasiq atau yang menampak- nampakkan kemaksiatan,
maka meninggalkan salam terhadap mereka hukumnya adalah fardlu kifayah dan makruh hukumnya bagi seluruh manusia. Dan dikatakan pula: tidak boleh seseorang mengucapkan salam kepada orang fasiq yang terang-terangan dalam kefasiqannya dan ahlul bid'ah yang terang- terangan dalam kebid'ahannya. Dan tidak boleh menghajr seorang muslim yang belum diketahui secara jelas keadaannya lebih dari tiga hari. (Al- Adabus Syar
iyah).

Berkata Syaikhul Islam –rohimahullohu ta'ala–: Jika seseorang berjalan bersama
orang yang diketahui kejelekannya, diperingatkan darinya. (Al-Fatawa/13/414).

Berkata Syaikh Al-Utsaimin –rohimahullohu ta'ala-:
Menghajr ahlul bid'a hukumnya adalah wajib, Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh Azza wa Jalla dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang- orang yang menentang Alloh Azza wa Jalla dan rosulNya.”
(QS. Al Mujadilah: 22).

Dan Nabi shollallohu 'alaihi wasallam telah menghajr Ka'ab bin Malik
5 dan kedua temannya ketika mereka tidak hadir dalam perang tabuk. Akan tetapi jika dalam bergaul bersama mereka itu terdapat maslahat, seperti untuk menjelaskan kepada mereka al- haq dan untuk memperingatkan mereka dari kebid'ahan maka yang demikian ini tidak mengapa, bahkan bisa jadi hal yang seperti ini dibutuhkan. Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Serulah manusia kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(QS. An Nahl: 125).

Dan hal ini bisa dicapai dengan bertemu secara langsung atau dengan saling
mengirim surat atau dengan tulisan, dan barangsiapa yang menghajr ahlul
bida' hendaknya dia meninggalkan untuk mengamati atau membaca buku-buku mereka, karena ditakutkan atasnya dari fitnah, atau penjualan kitab-kitab mereka dikalangan manusia. Maka menjauh dari tempat-tempat kesesatan wajib hukumnya. Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang dajjal:

“Barangsiapa yang mendengar kabar tentangnya (dajjal) maka wajib bagi dia untuk menjauh darinya, maka demi Alloh Azza wa Jalla sungguh seseorang mendatanginya dan dia menyangka bahwasannya dirinya dalam keadaan beriman kemudian dia mengikuti pada apa-apa yang dia (dajjal) berikan dari syubhat.”
6

Akan tetapi, jika maksud dari meneliti kitab-kitab mereka adalah untuk mengetahui kebid'ahan mereka atau untuk membantah mereka, maka yang demikian ini tidak apa-apa, yang hal ini hanyalah bagi orang mempunyai aqidah yang benar yang aqidah tersebut bisa menjaganya dan dia mampu untuk membantah mereka, bahkan bisa jadi hal tersebut menjadi sesuatu yang wajib, karena membantah kebid'ahan adalah wajib hukumnya, dan apa-apa yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya maka hukum sesuatu tersebut juga wajib.
(Syarhul Lum
ah/159-160/Maktabatul Irsyad).

Berkata Syaikh Al-Utsaimin –rohimahullohu ta'ala– ketika menyebutkan syarat-
syarat walimatul urs yang wajib dihadiri: Dan syarat yang ketiga, boleh menghadiri walimah orang yang haram atasnya untuk dihajr, maka jika termasuk orang yang tidak haram atasnya untuk dihajr, maka tidak apa- apa untuk tidak hadir pada walimah tersebut, dikarenakan tidak hadirnya dalam walimah tersebut adalah termasuk hajr, akan tetapi wajib untuk kita mengetahuinya bahwasannya hajr adalah obat jika memberikan manfaat maka dipergunakan dan jika tidak bermanfaat maka diharomkan, karena Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Tidak halal bagi seseorang untuk menghajr saudaranya lebih dari tiga hari, yang keduanyan jika bertemu saling berpaling, dan sebaik- baik dari keduanya adalah yang pertama kali memulai salam.”
7

Akan tetapi jika kita mengetahui bahwa hajr itu bermanfaat, maka kita lakukan dan adapun jika kita mengetahui bahwasannya dengan menghajr itu tidak menambah permasalahan kecuali semakin runyam, maka kita tidak menghajrnya.
(At- Ta
liqot Alal Qowaidi Wal Ushulul Jamiati/282/Maktabatus Sunnah).

Berkata Syaikh Sholih Fauzan Al-Fauzan -rohimahullohu ta'ala-:
Hukum asal bagi seorang muslim adalah kebaikan dan berbaik sangka padanya, selama tidak tampak darinya penyelisihan, ini adalah sebuah qoidah. Maka penulis
berkata: Selama seorang muslim itu menampakkan kebaikannya maka kita hukumi dia dengan kebaikan pula, sampai- sampai kalau dia adalah orang munafiq. Dan Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam telah menghukumi dlohir orang-orang munafiq, adapun sesuatu yang tersembunyi pada hati- hati mereka maka hukumnya
kepada Alloh Azza wa Jalla. Selama belum terlihat darinya sesuatu, maka engkau harus berbaik sangka padanya, akan tetapi jika dia menampakkan kebencian terhadap sunnah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya, maka pada saat itu waspadalah darinya. (Ithaful Qory/2/241/Maktabatur Rusyd).

Syaikhuna Yahya -hafidzhohullohu ta'ala-
ditanya tentang: Seseorang yang di daerahnya ada seorang hizby, apakah disyari'atkan untuk menghajrnya?

Beliau menjawab: Jika di daerahmu itu banyak orang yang awam sedangkan engkau seorang diri, bahkan bisa jadi hizby itu telah memperdaya mereka dengan kata-katanya, jika engkau menghajrnya niscaya hizby tadi akan mengatakan kepada orang awam: Orang ini tidak mau menjawab salamku, tidak mau berjabat tangan denganku, dan selain itu dari perkataannya yang akan menjelekkanmu dihadapan orang-orang awam, maka janganlah engkau menghajrnya, akan tetapi jelaskan kesalahan-kesalahannya kepada mereka, walaupun tidak mengharuskan engkau
menghajrnya. Dan jika sunnah di daerahmu kuat dan engkaupun kuat di dalam dakwahmu bersama dengan saudara- saudaramu, kemudian engkau melihat seseorang berpaling dari al- haq, maka hajrlah dia, karena sesungguhnya hajr pada kondisi yang seperti ini bermanfaat, dan tidak disyari'atkan hajr kecuali untuk tujuan tersebut. Adapun perkataan sebagian ahlul ilmi bahwasannya menghajrnya secara mutlaq,
8 maka pendapat tersebut perlu diteliti kembali.9
(Pertanyaan ini diajukan pada malam jum'at, 6 Robi'ul Awal 1430H).

Dan berkata Syaikhuna -hafidzhohullohu ta'ala- dalam kitab yang bermanfaat “Ats-Tsawabit Al-Manhajiyah” (hal. 23) ketika beliau ditanya tentang: Kapan seorang yang awam itu menjadi seorang mubtadi'?

Maka beliau menjawab: Orang-orang awam itu adalah penolong bagi yang telah mendahului mereka, kebanyakan mereka mudah tertipu dengan banyaknya harta dan kedudukan, maka kita harus banyak bersabar terhadap mereka dan memberikan nasehat pada mereka, lebih- lebih banyak dari mereka yang tidak memahami hujjah yang disampaikan kepada mereka, dan tidak mengetahui maknanya. Dan jika telah jelas bagi mereka hujjah juga telah jelas tentang perkaranya, kemudian mereka memahaminya lalu menentangnya dan terus-menerus pada yang demikian itu, maka ketika itu mereka diikutkan dengan orang yang membela kebatilan.

Dan berkata -hafidzhohullohu ta'ala- dalam kitab yang terdahulu (hal. 28-29):
Hukum asal adalah tidak memberikan salam terhadap ahlul bida'.
10 Akan
tetapi jika dakwah terbedakan dan kuat, dan kebid'ahan tidak memudlorotkan kaum muslimin dan hanya saja madlorot dari bid'ah tersebut terbatas pada oknum yang melakukannya, maka yang seperti ini adalah perkara ijtihady. Adapun yang berkaitan dengan kedua orang tua maka wajib berbuat baik kepada keduanya, begitu juga dengan wanita terhadap suaminya, tidak boleh saling menghajr di antara keduanya, karena hal seperti itu akan menimbulkan perceraian dan hal tersebut dianggap sebagai tidak berbaktinya istri terhadap suami.
11

Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- di tanya: Jika ada seorang mubtadi' yang
mengucapkan salam kepadamu, maka apa yang engkau lakukan?

Maka beliau menjawab: Barangsiapa yang menjawab salamnya tidak
diingkari yang demikian itu atasnya, berdalilkan firman Alloh Azza wa Jalla:

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa, sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla memperhitungkan segala sesuatu.”
(QS. An Nisaa': 86).

Dan barangsiapa yang tidak menjawab salamnya, maka yang demikian itu juga tidak diingkari atasnya, berdalilkan hadits:
“Al- qodqriyah adalah majusy bagi ummat ini.” (Al- hadits).

Dan yang demikian itu telah dilakukan oleh sebagian dari salaf, akan tetapi yang sepantasnya adalah tidak memulai salam, karena hal tersebut akan memberikan madlorot bagi kaum muslimin. Dan berkata Imam Malik –rohimahullohu ta'ala-:
Sejelek- jelek kaum adalah mubtadi', janganlah engkau mengucapkan salam padanya.

Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Iparku termasuk pemuka ikhwanul muslimin dan dia sering mengunjungi kita, apakah aku menjamunya dan berbicara dengannya?

Maka beliau menjawab: Iparmu itu berpenyakit, dan tidak aman untuk duduk bersama dengan orang yang semacam itu. Adapun istrimu maka dia mempunyai hubungan silaturahmi dan tidak boleh bagimu untuk memutuskannya walaupun dengan seorang yang kafir, terlebih lagi dia seorang muslim, maka orang seperti itu dijamu dengan kehati-hatian, dan tidak berdalam-dalam pada pembicaraan yang mendorong dia untuk memberikan syubhatnya, jika terjadi hal yang seperti itu maka diamlah. Dan jika dia termasuk ulama' mereka, maka berhati- hatilah engkau darinya, agama adalah nasehat.
(Pertanyaan ini diajukan pada malam Rabu, 23 Robi
ul Akhir 1429H).

Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Saudaraku adalah orang yang meninggalkan sholat, apakah boleh bagiku untuk mengucapakan salam kepadanya dan berbuat ramah padanya?

Maka beliau menjawab: Jika engkau masih mengharap darinya untuk bertaubat, maka ini termasuk dari cara dalam melembutkan hatinya,dan hal ini dibolehkan, adapun jika taubatnya tidak bisa diharapkan lagi maka janganlah engkau lakukan yang demikian itu, bermuamalahlah dengannya sebagaimana engkau bermuamalah dengan orang kafir secara umum di dalam tidak memulai ucapan salam pada mereka.
(Pertanyaan ini diajukan pada malam Rabu, 26 Sya
ban 1429H).

Dan Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Saudaraku adalah seorang hizby quthby yang fanatik dan dia mempengaruhi bapak dan ibuku serta saudara-saudaraku bahwasannya dakwah salafiyah tidak diatas jalan yang benar, dan
jika aku bergaul dengannya maka dia bisa mempengaruhiku?

Beliau menjawab: Ini dia permasalahannya, adapun setiap da'i yang berdakwah kepada Alloh Azza wa Jalla maka harus menimpanya gangguan, akan tetapi jika bisa terpengaruh olehnya, maka lambat laun dia akan ikut bersamanya atau paling tidak dakwahnya akan melemah. Jika engkau mampu mendakwahinya dengan dakwah yang bermanfaat baginya, maka lakukanlah dan jika tidak mampu maka jauhilah dia.
(Pertanyaan ini diajukan pada malam Rabu, 5 Sya'ban 1430H).

Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Seseorang belajar bersama ikhwanul muslimin selama tiga tahun, dan dia telah dinasehati untuk meninggalkan mereka dan untuk tidak membela mereka, tapi dia enggan. Apakah diperbolehkan untuk menghajrnya?

Beliau menjawab: Iya, boleh, karena dia telah menjadi bagian dari mereka. (Pertanyaan ini diajukan pada malam Rabu, 25 Syawal 1430, dari pertanyaanya ahli Hadlro Maut).

Syaikh Jamil As- Sulwy -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Apakah boleh
mengucapkan salam pada ahlul bida'?

Beliau menjawab: Jangan engkau memulai salam kepada ahlul bida', lebih-lebih kepada dai'-dai' mereka, adapun orang- orang bodoh yang terpengaruh dakwah mereka, maka mereka diberi nasehat untuk tidak bergaul dengan mereka, jika mereka enggan maka berpalinglah dari mereka, karena bergaul dengan ahlul bida' akan menyebabkan penyakit hati, dan mengucapkan salam kepada mereka adalah sebab kecintaan kepada mereka, maka jangan mengucapkan salam kepada mereka. (Hari Ahad, 12 Dzul Qo
dah 1428, pada hari beliau menggantikan pelajaran Syaikh
Yahya -hafidzhohullohu ta'ala- ketika keluar untuk berdakwah).

Berkata Ibnu Muflih –rohimahullohu ta'ala–: Berkata Al- Qodli Abul Husain di dalam kitabnya “At- Tamam”: Tidak ada perselisihan riwayat dalam wajibnya menghajr ahlul bida' dan orang- orang yang kefasikannya mengeluarkan mereka dari agama, secara mutlak sebagaimana engkau amati, dan yang nampak bahwasannya tidak ada perbedaan di antara orang yang menghajr mubtadi' dan fasiq dan yang selainnya. Berkata: Dan tidak ada perbedaan di antara orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dan orang lain, jika bersangkutan dengan haq Alloh Azza wa Jalla, adapun jika bersangkutan dengan haq sesama bani Adam seperti tuduhan, celaan, gunjingan, pengambilan milik orang lain tanpa izin dan yang selainnya, maka engkau perlu melihat lagi: Jika orang yang melakukan hal yang demikian itu dari kerabatnya, maka tidak boleh menghajrnya, dan jika yang selainnya apakah
boleh menghajrnya ataukah tidak? Ada dua riwayat: Ini adalah pendapat bapaknya (Imam Ahmad) di dalam amr bil ma'ruf atau yang semakna dengannya, hanya saja beliau berkata: Jika hak itu selain haknya Alloh Azza wa Jalla apakah diperbolehkan hajr? Ada dua riwayat. Dan berkata: Telah berkata Ahmad atas makna yang terinci, berkata Ahmad di dalam riwayatnya Fadl bin Ziyad: Bertanya seseorang kepada Ahmad tentang anak perempuan pamannya yang berbuat dlolim kepadanya, mencelanya dan menuduhnya.

Maka beliau menjawab: Ucapkanlah salam jika engkau bertemu dengannya,
hentikanlah saling menghajr, karena hajr itu keras. Dan ini menunjukkan
bahwasannya dilarang menghajr seseorang yang masih kerabat pada hak
yang bersangkutan dengan pribadinya. (Al- Adabus Syar
iyah/1/257-258).

Dan betapa hebatnya Syaikh yahya-hafidzhohullohu ta'ala- ketika beliau berkata:
Ya Ikhwan, aku tidak membela kehormatanku, akan tetapi aku membela
manhaj salafy, adapun kehormatanku itu perkara yang mudah.
12
(Pada malam Rabu, 27 Robi
ul Awal 1429).

Berkata Abu Abdillah Ubaidillah bin Bathoh Al-'Akbary –rohimahullohu ta'ala–:
Alloh Azza wa Jalla, wahai sekalian kaum muslimin, janganlah sekali-kali baik sangka seseorang terhadap dirinya dan pengetahuan dia terhadap kebenaran madzhabnya untuk membahayakan agamanya, dalam bergaul dengan sebagian dari ahlul ahwa
, kemudian dia mengatakan: Aku akan menemuinya untuk mendebatnya, atau aku akan keluarkan dia dari madzhabnya, karena sesungguhnya mereka lebih keras fitnahnya dari pada dajjal, dan ucapan mereka lebih menular dari pada kudis, dan lebih memanaskan hati dari pada api yang membara. Dan aku telah melihat
sekelompok dari manusia yang mereka dahulu melaknat dan mencela mereka (ahlul ahwa'), kemudian mereka bergaul bersama mereka dengan alasan untuk mengingkari mereka, dan senantiasa mereka berbaik muka dengan ahlul ahwa', dan makar mereka sangat tersembunyi sampai- sampai mereka condong kepada ahlul ahwa'. (Al- Ibanah/2/470).


APAKAH BOLEH SALING MENGHAJR DI ANTARA AHLUS SUNNAH?

Syaikh Yahya -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya tentang: Apakah ketentuan-ketentuan hajr yang syar'i?

Beliau menjawab: Kita telah sering membicarakan permasalahan ini, dan seburuk- buruk hajr adalah yang dilakukan di antara Ahlus Sunnah. Tujuan hajr adalah untuk memperingatkan dari kejelekan yang ada pada seseorang atau yang selainnya, adapun hajr di antara sesama Ahlus Sunnah apa yang engkau inginkan darinya?! Maka hendaknya seseorang bertaqwa kepada Alloh Azza wa Jalla dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
13
(Pertanyaan ini diajukan pada malam Sabtu, 2 Rojab 1429).


PENGARAHAN TERHADAP PERKATAAN SYAIKH AL-ALBANY –rohimahullohu ta'ala–: TIDAK ADA HAJR PADA ZAMAN INI

Syaikh Salim -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Kami mengharapkan penjelasan dari
anda tentang makna perkataan Al-Albany: “Tidak ada hajr pada zaman ini”?

Maka beliau -hafidzhohullohu ta'ala- menjawab: Beliau menginginkan dari perkataannya ini agar tidak menjadikan hajr sebagai perantara untuk melaksanakan hawa nafsunya dan melaksanakan kedengkiannya, karena sesungguhnya hajr itu harus sesuai dengan syari'at agar diterima disisi Alloh Azza wa Jalla. Adapun ucapan beliau “tidak ada hajr” yaitu karena kebanyakan orang yang menghajr, hajrnya tidak sesuai dengan syari'at, hal ini kami amati dari kebiasaan beliau, beliau telah menghajr sebagian ahlul ilmi dan menghajr sebagian da'i dan selain mereka, misalnya: Beliau telah menghajr Syaikh Muhammad Nashib Ar-Rifa'i tentang masalah yang masyhur yang terjadi di halab, yaitu: Apakah para istri Rosul shollallahu 'alaihi wasallam itu ma'shumat (bersih dari dosa) atau terjaga? Syaikh Muhammad Nashib Ar-Rifa'i berpendapat bahwasannya mereka
ma'shumat, adapun Syaikh Al- Albany berpendapat bahwasannya mereka terjaga, apakah Alloh Azza wa Jalla yang menjaga mereka dari perbuatan keji ataukah
mereka ma'shumat. Maka ini tidak ada dalam firman Alloh Azza wa Jalla dan tidak
juga dalam sabda Rosululloh shollallahu 'alaihi wasallam, kemudian terjadilah hajr diantara keduanya sampai ajal menjemput mereka. Dan Syaikh Al-Albany juga telah menghajr Zuhair Asy-Syawisy, karena dia telah lancang terhadap kitab-kitab beliau, bahkan dia menta'liqnya (catatan kaki) dan merusak apa yang ada di dalamnya.
(Majlis bersama Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali, hari Selasa, 23 Jumadil Akhir 1430).


KETENTUAN TENTANG PENEGAKAN HUJJAH DI DALAM MENGKAFIRKAN DAN MEMFASIQKAN DAN MEMBID’AHKAN

Berkata Syaikh Yahya -hafidzhohullohu ta'ala- di dalam kitabnya “Ats- Tsawabitul
Manhajiyah” (hal.22-23): Ketentuan penegakan hujjah pada seseorang harus
difahami hujjah tersebut. Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang- orang yang dlolim diantara mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 150).

Kemudian diterangkan ayat ini dengan firman Alloh Azza wa Jalla:
“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mu’min, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan dia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk- buruk tempat kembali.”
(QS. An Nisaa': 115).

Maka yang seharusnya hujjah itu difahami, jika tidak difahami, maka belum jelas baginya petunjuk. Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Kami tidak mengutus seorang Rosulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.”
(QS. Ibrohim: 4).

Dan yang selainnya dari dalil-dalil. Dalil ini menunjukkan bahwasannya Al-Qur'an itu adalah jelas, dan Rosul itu menjelaskan dan menegakkan hujjah, dan kalau seandainya mereka tidak memahami hujjah itu, maka hujjah belum tegak atas mereka.
14


PENGHALANG- PENGHALANG PEMBID’AHAN, PEMFASIQKAN DAN PENGKAFIRAN

Hukum mengkafirkan dan memfasiqkan seseorang bukanlah hak kita, bahkan itu haknya Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya shollallahu 'alaihi wasallam, maka perkara ini adalah termasuk hukum syar'i yang kembalinya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka wajib berhati-hati dan teliti, maka tidak boleh mengkafirkan dan memfasiqkan seseorang kecuali Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan tentang kekafiran atau kefasiqkannya.
15

Hukum asal bagi seorang yang dlohirnya muslim adalah keadilan pada dirinya, bahkan orang yang belum atau tidak diketahui keadaan dirinya adalah tetapnya keislaman dia dan tetapnya keadilannya, sampai benar-benar terbukti hilangnya keislaman dia dengan dalil- dalil yang syar
i. Dan tidak boleh bermudah- mudahan mengkafirkan atau memfasiqkan seseorang, walaupun keadaannya belum atau tidak diketahui, karena pada yang demikian itu ada dua bahaya yang besar:

1. Membuat- buat kedustaan atas Alloh Azza wa Jalla di dalam hukum-Nya, dan atas
orang yang terhukumi pada sifat yang telah dituduhkan padanya.
2. Terjatuh pada apa-apa yang telah dia tuduhkan kepada saudaranya, kalau saudaranya itu selamat dari apa yang dia tuduhkan. Maka di dalam As-Shohihaini dari Abdillah bin Umar rodhiyallohu 'anhu secara marfu':
“Jika seseorang mengkafirkan saudaranya, maka tuduhan itu kembali
kepada salah satu dari keduanya.”

Dan dalam riwayat yang lainnya:
“Jika tuduhan itu seperti apa yang dia katakan dan kalau tidak maka akan kembali kepada dirinya sendiri.”

Dan dari Abu Dzar rodhiyallohu 'anhu secara marfu':
“Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau dia berkata: Wahai musuh Alloh Azza wa Jalla, dan tidak seperti yang dia katakan, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. Muslim).

Dan diantara penghalang- penghalang sesuatu ysng mengharuskan seseorang menjadi kafir atau fasiq dengan tanpa keinginan darinya, adalah:

Termasuk penghalang tersebut, dipaksa yaitu: bahwasannya dipaksa untuk melakukan sebuah perbuatan kufur, kemudian dia melakukannya dengan terpaksa dan merasa tenang dengan keimanannya, maka dia tidak menjadi kafir, Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Barangsiapa yang kafir kepada Alloh Azza wa Jalla sesudah dia beriman (dia mendapatkan kemurkaan Alloh Azza wa Jalla), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh Azza wa Jalla menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS. An Nahl: 106).

Dan penghalang yang lainnya, tertutup pikirannya, dan dia tidak mengetahui apa yang dia ucapkan dikarenakan oleh kegembiraan, kesedihan, atau ketakutan yang sangat. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu secara marfu':

“Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla sangat senang dengan taubat hambanya, ketika dia bertaubat kepadaNya, melebihi salah seorang diantara kalian yang mengendarai ontanya di padang pasir yang luas, kemudian ontanya pergi darinya dan onta tersebut membawa makanan dan minumannya, kemudian dia merasa putus asa dari ontanya, dan mendatangi sebuah pohon kemudian dia merebahkan badannya di bawah naungannya dalam keadaan putus asa dari ontanya, maka tatkala dia dalam keadaan seperti itu, tiba- tiba ontanya datang berdiri disisinya, maka sesegera dia mengambil tali kekang ontanya, lalu berkata dengan kegembiraan yang sangat: Ya Alloh Azza wa Jalla sesunggunhya Engkau adalah hambku, dan aku adalah rabb-Mu. Salah dalam berucap dikarenakan kegembiraan yang sangat.”

Dan penghalang yang lainnya adalah: kebodohan, telah datang di Shohihain tentang seseorang yang berkata: Jika aku mati, maka bakarlah aku sampai menjadi abu, kemudian tebarkan abu itu ke dalam lautan, maka demi Alloh Azza wa Jalla jika seandainya Alloh Azza wa Jalla mentaqdirkan bagiku sungguh Dia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun dari hamba- hambaNya. Maka mereka melakukan wasiatnya tersebut, kemudian Alloh Azza wa Jalla berkata kepadanya: Apa alasanmu berbuat seperti itu? Dia menjawab: Karena aku takut kepadaMu. Maka Alloh Azza wa Jalla mengampuninya.
Orang tersebut ragu terhadap kemampuan Alloh Azza wa Jalla dalam mengembalikannya jika dia dibakar hingga menjadi abu, bahkan dia meyakini dia tidak akan dibangkitkan kembali, dan keyakinan ini adalah kekufuran menurut kesepakatan para ulama
, akan tetapi orang tersebut bodoh dan tidak mengetahui yang demikian itu, yang sebenarnya dia adalah oarng yang beriman takut kepada adzab Alloh Azza wa Jalla, kemudian Alloh Azza wa Jalla mengampuninya dengan sebab itu.

Penghalang yang terakhir adalah: At- ta'wilus sa'igh (penyelewengan makna yang padanya masih ada sisi pembenaran dari akal atau bahasa atau segi yang lainnya). Penta'wil adalah termasuk ahlul ijtihad yang bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam. Berkata Syaikhul Islam –rohimahullohu ta'ala–: Adapun pengkafiran maka yang benar adalah barangsiapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berijtihad dari ummat Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam, dan dia menginginkan kebenaran kemudian dia bersalah, maka dia tidak dikafirkan bahkan diampuni kesalahannya. Dan barangsiapa yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak bersungguh- sungguh dalam
mencari kebenaran dan berbicara tanpa ilmu, maka dia telah bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, kemudian terkadang bisa terjerumus ke dalam kefasiqkan, atau memiliki kebaikan yang lebih besar dari pada kejelekkannya. (Majmu
ul Fatawa/12/180).

Ringkasan dari Al- Qowaidul Mutsla (hal.66-69) dengan sedikit
perubahan dan penambahan.

Syaikhuna -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Sebagian rijal (perowi hadits) yang
disebutkan oleh Al- Hafidz dalam “Lisanul Mizan”, misalnya: Fulan dalam
tulisan-tulisannya terdapat perkataan yang bersesuaian dengan pendapat
mu'tazilah dan khowarij, mengapa dia tidak diikutkan dengan mereka?
Kami mohon penjelasannya!

Maka beliau menjawab: Barangsiapa yang tergelincir di dalam perkataannya atau tulisannya, dan dia menginginkan darinya itu kebenaran dan kebaikan, ini dianggap sebagai kesalahan darinya, adapun setelah ditegakkannya hujjah dan dia masih terus- menerus dalam kebatilannya, maka dia diikutkan dengan mereka.
(Pertanyaan sebagian pengunjung, pada malam Selasa, 4 Sya'ban 1430H).


SEBAB- SEBAB BANYAKNYA PENGKAFIRAN, PEMFASIQKAN,
DAN PEMBID’AHAN DENGAN TANPA ALASAN YANG BENAR
PADA UMMAT INI

Saya mengambil sebagian faedah tentang pembahasan ini dari kitab
“At- Takfir Wa Dlowabituhu” yang ditulis oleh Syaikh Ibrohim bin Amir Ar-Ruhaily -rohimahullohu ta'ala-.
16 Dan diantara sebab- sebab tersebut:

1. Kebodohan tentang agama ini.
2. Mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari dalil syar'i.
3. Penta'wilan yang rusak.
Berkata Ibnul Qoyyim –rohimahullohu ta'ala–: Secara garis besar perpecahan yang terjadi diantara ahlul kitab (yahudi dan nashroni) dan perpecahan dalam ummat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan hanya saja disebabkan oleh ta'wil. Dan masuknya musuh- musuh Islam dari kalangan ahli filsafat, qoromithoh, bathiniyah, isma'iliyah, dan nashiriyah dari sisi ta'wil, maka tidaklah Islam itu diuji sama sekali
kecuali penyebabnya adalah ta'wil. (I'lamul Muwaqi'in/4/251).
4. Tipu daya syaithon. (hal. 45-50/Darul Imam Ahmad).


SIAPAKAH YANG MEMPUNYAI HAK UNTUK MEMGHUKUMI SESEORANG ITU KAFIR, FASIQ, DAN MUBTADI’

Telah terdahulu pembahasan bahwasannya pengkafiran, pemfasiqkan, dan pembid
ahan termasuk hukuum syar'i yang tauqify; tidak ada hak bagi akal untuk berpendapat. Dan jika telah diketahui hal yang seperti ini, maka jelaslah bahwasannya permasalahan ini adalah hanya bagi ahlul ilmi yang mampu untuk beristimbath (mengambil hukum dari dalil- dalil) dari hukum-hukum syar'i di dalam permasalahan ini.

Saya bertanya kepada Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- setelah dars antara Maghrib
dan Isya', saya berkata: Apakah diperbolehkan bagi seorang tholibul ilmi untuk membid'ahkan, memfasiqkan, dan mengkafirkan seseorang jika dia telah mengetahui ketentuan- ketentuan permasalahan tersebut dan setelah terpenuhinya syarat-syaratnya serta tertolak penghalang-penghalangnya, tanpa meruju' kepada ahlu ilmi?

Maka beliau menjawab: Tholibul ilmi terkadang menguasai satu permasalahan dan kurang atau tidak menguasai permasalahan yang lainnya, maka yang lebih baik bagi seorang tholibul ilmi untuk menempuh jalannya ahlul ilmi.
(Malam Selasa, 1 Dzul Qo'dah 1430).

Syaikh -rohimahullohu ta'ala- ditanya: Seseorang mencela ahlul ilmi, apakah
boleh bagiku untuk membid'ahkannya?

Beliau menjawab: Perkara pengkafiran, pemfasiqkan, dan pembid'ahan adalah perkara yang berbahaya, wajib untuk berhati-hati darinya dan wajib baginya untuk menyandarkan perkaranya kepada ahlinya, Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Maka bertanyalah kepada ahludzikri jika kalian tidak mengetahui.”
(QS. An Nahl: 43).

Dan firman-Nya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rosul dan ulil amri diantara mereka tentulah
orang- orang yang ingin mengetahui kebenarannya mengetahuinya dari
 kepada kalian,
Umereka, kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Alloh
tentulah kalian mengikuti syaithon kecuali sebagian kecil saja diantara
kalian.” (QS. An Nisaa': 83).

Maka orang yang tidak memiliki keahlian di bidang ini agar dia
mengambil faedah dari ahlul ilmi dalam permasalahan ini dan juga di dalam
permasalahan yang lainnya. (Malam Sabtu, 5 Dzul Qo'dah 1430H).


KETENTUAN- KETENTUAN BID’AH

1. Pengertian bid’ah secara bahasa
Bid'ah secara bahasa ada dua makna:
a. Yaitu sesuatu yang diada-adakan tanpa adanya contoh yang terdahulu, Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Katakanlah: aku bukanlah rosul yang pertama diantara rosul-rosul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”
(QS. Al Ahqaaf: 9).

Dan datang secara makna dari ucapan Umar rodhiyallohu 'anhu: “Sebaik-baik
bid'ah.” Dikeluarkan oleh Bukhory.

b. Yaitu payah dan letih, dikatakan: Onta itu letih atau payah ketika dia menderum di tengah jalan, karena kurus, penyakit, atau letih. Diantaranya perkataan seseorang yang datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam:

“Sesungguhnya aku lelah, maka bawalah aku bersamamu!
Maka beliau berkata:Aku tidak memiliki (kendaraan).” Diriwayatkan
oleh Muslim.

Dan makna ini kembali kepada makna yang pertama, karena
maknanya abda’atil ibilu adalah: Nampak padanya keletihan setelah
sebelumnya tidak merasakannya.

2. Bid’ah secara istilah
Apa-apa yang diada- adakan dalam agama Alloh Azza wa Jalla dan tidak mempunyai asal dari syari
at baik secara umum atau secara khusus yang menunjukkan atas yang demikian itu. Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas: Apa- apa yang diada- adakan di dalam agama tanpa adanya dalil.

3. Bid’ah terjadi bila ada salah satu dari tiga pokok
a. Pendekatan diri kepada Alloh Azza wa Jalla dengan apa-apa yang tidak disyari'atkan, seperti mengada-adakan ibadah yang ibadah tersebut disandarkan kepada akal pikiran semata dan hawa nafsu atau dia meninggalkan perbuatan yang telah dicontohkan oleh salaf, atau dia mendekatkan diri kepada Alloh Azza wa Jalla dengan apa- apa yang Alloh Azza wa Jalla larang, seperti musik.
b. Keluar dari aturan agama, yang tidak datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan juga tidak ada atsarnya dari shohabat dan tabi'in atau yang menyelisihi mereka.
c. Pintu gerbang yang mengantarkan kepada kebid'ahan, seperti menampakkan amalan, lebih- lebih jika yang melakukannya adalah orang yang dianggap sebagai panutan, dan membuat amalan tersebut masyhur di tempat- tempat berkumpulnya manusia, seperti penegakan sholat sunnah dengan berjama'ah di masjid.
(Ringkasan dari kitab “Qowa
id Marifatil Bida” karangan Muhammad bin
Husain Al- Jaizany
17/Darul Ibnul Jauzy).

Berkata Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala-:
Pokok- pokok bid'ah:
1. Jeleknya pemahaman.
2. Jeleknya tujuan, dan ini berasal dari ahlul ahwa', Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Adapun orang- orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat mutasybihat untuk
menimbulkan fitnah.” (QS. Ali Imron: 7).

3. Sedikitnya ilmu, dia menginginkan kebaikan akan tetapi jutru berbuat
kesalahan. (Hari Ahad, 11 Rojab 1427H).



Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala- ditanya: Apa perbedaan antara bid'ah dan maksiat?

Maka beliau menjawab: Bid'ah itu ada bid'ah kubro (besar) dan ada bid'ah shughro (kecil), begitu juga dengan maksiat, akan tetapi diantara keduanya ada perbedaan.

Pembagian bid'ah:
1. Bid'ah kubro: kebid'ahan ini mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, contohnya: Bid'ahnya rowafidh (salah satu pecahan dari syi'ah yang mempunyai ghuluw terhadap Ali rodhiyallohu 'anhu) bahwasannya Al-Qur'an yang ada sekarang masih kurang, dan tuduhan mereka terhadap Ummul Mukminin, dan pengkafiran mereka terhadap para shohabat.
Bid'ahnya jahmiyah, yang sebagian ulama' telah mengkafirkan mereka, bid'ahnya bathiniyah yang mereka ini lebih kafir dari pada yahudi dan nashrony, bid'ahnya hululiyah dan itihadiyah, dan contoh-contoh ini bukan sebagai pembatasan, masih banyak di sana kebid'ahan lainnya yang menjerumuskan pelakunya kepada kekafiran.
2. Bid'ah shugro (mufassaqoh): Bid'ah ini tidak mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam, yaitu di bawah kehendak Alloh Azza wa Jalla,

Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik bagi siapa yang dikehendakiNya.”
(QS. An Nisaa': 48).

Dan makna hadits:
”Sesungguhya Alloh Azza wa Jalla tidak menerima taubat dari pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan kebid’ahannya.” Maksudnya adalah Alloh Azza wa Jalla tidak memberikan taufiq kepadanya untuk bertaubat.

Dan hadits:
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka dia tertolak.” Maksudnya adalah tidak diterima di sisi Alloh Azza wa Jalla.

Pembagian maksiat:
1. Maksiat kubro, padanya itu ada dua pembagian:
a) Mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, seperti: kesyirikan.
b) Tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, seperti: zina, membunuh jiwa yang diharomkan, dan meminum khomr.
2. Maksiat shughro, seperti: mencium, dan memandang sesuatu yang
diharomkan. (Hari Rabu, 7 Dzul Hijjah 1427).


PERBEDAAN ANTARA MAKSIAT DENGAN BID’AH

Berkata Ibnul Qoyyim –rohimahullohu ta'ala–: Maka ketika kebid'ahan yang menyesatkan itu adalah kebodohan tentang sifat- sifat Alloh Azza wa Jalla dan
pendustaan terhadap apa- apa yang Alloh Azza wa Jalla kabarkan tentang diriNya dan yang Alloh Azza wa Jalla kabarkan melalui Rosul-Nya shollallohu 'alaihi wasallam adalah penentangan dan kebodohan, maka yang demikian itu termasuk sebesar- besar dosa besar, walaupun tidak sampai kepada kekufuran dan hal itu lebih dicintai oleh iblis dari pada dosa besar, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf:

Kebid'ahan itu lebih dicintai oleh iblis dari pada kemaksiatan, karena kemaksiatan masih bisa diharapkan taubatnya sedangkan kebid'ahan tidak.
18
Berkata iblis: Aku binasakan bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan dengan La ilaha illallah, maka tatkala aku melihat yang demikian itu aku sebarkan di antara mereka hawa nafsu, maka mereka berbuat dosa dan mereka tidak bertaubat darinya karena mereka menyangka bahwasannya mereka beramal dengan sebaik- baik amalan. Dan sesuatu yang sudah maklum bahwasannya orang yang berbuat dosa kerusakannya terbatas pada dirinya, adapun orang yang berbuat bid'ah maka kerusakannya bukan hanya pada dirinya. Dan fitnahnya orang yang berbuat bid'ah pada perkara yang pokok dalam agama, adapun fitnahnya orang yang berbuat dosa pada syahwat saja. Dan mubtadi' menghalang- halangi manusia dari shirothol mustaqim, dan orang yang berdosa tidak demikian. Dan mubtadi' mencela sifat- sifat Alloh Azza wa Jalla dan kesempurnaan-Nya, adapun yang berbuat dosa tidak demikian. Dan mubtadi' meruntuhkan apa- apa yang datang dengannya Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam, adapun orang yang berbuat maksiat tidak demikian. Dan mubtadi' memutuskan jalan manusia dari akhirot, adapun oarang yang berbuat maksiat pelan perjalanannya menuju akhirot disebabkan oleh dosa- dosanya.
(Ad- daau Wad Dawa
/205-206/Darul Ibnul Jauzy).

Dan pertanyaanmu yang kedua: Apakah penghajran salafy ja'fary
dengan musyawaroh para masyayikh Yaman dari segi penerapan manhaj?

Maka saya menjawab: Kami tidak mengetahui yang demikian itu, kecuali tahdzir terhadap ja'far setelah saya berada ditempat ini sekitar enam tahun, kami tidak mengetahui sesuatu yang terjadi diantara kalian dari tahdziran-tahdziran dan yang lainnya dari permasalahan, kalau seandainya kami mengetahuinya sesuatu dari permasalahan tersebut, maka akan kami tanyakan kepada Syaikh -hafidzhohullohu ta'ala-. Dan saya ingin memberitahukan juga bahwasannya ja'far itu lebih rendah dari pada dakwah salafiyah yang murni ini harus dinisbatkan kepadanya, bukanlah dia itu kecuali orang yang rendah keilmuannya, kalau seandainya dia bertaubat dari
dosa-dosanya, maka dia harus menuntut ilmu dan tidak pantas untuk menjadi seorang da'i lebih–lebih lagi kalau dia memimpin para da'i. Dan sikap saya terhadap kalian, yang menampakkan kebaikan maka saya akan bersikap baik pula kepadanya, dan siapa yang menampakkan kejelekan, maka saya akan bersikap dengan kejelekan juga. Saya meminta kepada Alloh Azza wa Jalla yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan untuk memberikan taufiq kepada saya agar senantiasa di atas al- haq.

Dan nasehat saya bagimu dan bagi ikhwah untuk bertaqwa kepada
Alloh Azza wa Jalla dan untuk senantisa menuntut ilmu, termasuk dalam menuntut ilmu adalah memberikan perhatian terhadap pendasaran dan penghasilan ilmu, dikarenakan dengan keduanya engkau akan merasakan keledzatan ilmu tentunya setelah taufiq dari Alloh Azza wa Jalla. Dan saya menasehatkan kepada kalian untuk perhatian terhadap kitab-kitab bantahan, karena kebanyakan kitab-kitabnya para salaf adalah berisi bantahan terhadap ahlul ahwa'. Dan wajib bagi kalian untuk membantah apa yang telah dituduhkan kepada kalian dari tuduhan-tuduhan dan isu-isu, baik yang berkaitan dengan jam'iyyah ihya'ut turots dan yang lainnya dari isu- isu baik yang disampaikan dengan muhadlorot, atau tulisan-tulisan sampai hilang keraguan pada diri kalian.
19
Alloh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk menolak dan berlepas diri dari
kebathilan dan dari pelaku kebathilan, diantaranya firman Alloh Azza wa Jalla:

“Maka tatkala jelas baginya bahwa dia itu adalah musuh Alloh Azza wa Jalla, maka dia berlepas diri darinya.” (QS. At Taubah: 114).

Dan firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Ibrohim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian ibadahi.”
(QS. Az Zukhruf: 26).

Dan firman-Nya:
“Dan jika mereka mendustakanmu, maka katakanlah: Bagiku amalanku dan bagi kalian amalan kalian, kalian berlepas diri dari apa yang aku amalkan dan akupun berlepas diri dari apa yang kalian amalkan.”
(QS. Yunus: 41)

Dan firman-Nya:
“Bahkan mereka (kaum Nuh) berkata: Dustakanlah dia, katakanlah:
Jika aku membuat-buat kedustaan itu, maka hanya akulah yang memikul dosaku dan aku berlepas diri dari dosa yang kalian perbuat.”
(QS. Hud: 35)

Dan firman-Nya:
“Jika mereka bermaksiat kepadamu, maka katakanlah: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian amalkan.”
(QS. Asy-Syu'ara': 216).

Dan apa yang datang dalam Shohih Bukhory dari haditsnya Salim dari bapaknya, berkata: Nabi shollallohu 'alaihi wasallam mengutus Kholid bin Walid ke Bani Judzaimah, maka dia menyeru mereka kepada Islam, akan tetapi mereka tidak bisa mengatakan: Aslamna (kami masuk Islam), maka mereka mengatakan:
Shoba'na (kami keluar dari agama nenek moyang kami, yaitu maknanya mereka ingin masuk Islam), kemudian Kholid membunuh sebagian dari mereka dan menawan yang lainnya, kemudian memberikan kepada setiap orang dari kita tawanan tersebut, sampai pada suatu hari Kholid memerintahkan kita untuk membunuh para tawanan, maka aku berkata:
Demi Alloh Azza wa Jalla, aku tidak akan membunuh tawananku. Dan tidak seorangpun dari shohabatku membunuh tawanannya sampai kami datang kepada
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam di Madinah, kemudian kami menceritakan tentang kejadian tersebut, maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
“Ya Alloh Azza wa Jalla, sesungguhnya aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang telah dilakukan oleh Kholid.” Beliau mengucapkannya dua kali. Maka Nabi shollallohu 'alaihi wasallam berlepas diri dari apa- apa yang dinisbatkan kepadanya dari kebathilan, dan dalil-dalil tentang hal itu banyak sekali.


Ditulis oleh Abu Saif Mufti bin Khoiri Al-Jawy

Selesai penulisan risalah ini pada malam 
Jum'at, 19 Jumadil Akhir 1430H

Di Darul Hadits
Dammaj


Penjelasan Foot Note:
1
Bukanlah maksud penulisan saya mengumpulkan semua materi dalam permasalahan ini, akan tetapi hanya sekedar mengumpulkan faedah- faedah yang terkumpul dari pembacaan saya terhadap kitab- kitab para ulama
dan dari pelajaran umum yang diberikan oleh Syaikh Yahya hafidzhohulloh ta'ala dan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan kepada beliau.

2

Dan juga sebagai jawaban dari pertanyaan saudara kita Utsman Al- Madiuny –semoga Alloh Azza wa Jalla memberikan taufiq kepadanya- yang sebelumnya saya telah menjawabnya melalui sms.

3
Pertanyaan saya ini bertepatan pada hari Ahad, 11 Dzul Qo
dah 1429, setelah pelajaran Subulus Salam.

4
Berkata Syaikhul Islam –rohimahulloh ta'ala–: Dan sebagaimana kalian ketahui bahwasannya termasuk di dalam qoidah yang agung yang qoidah tersebut termasuk dari pokok agama adalah perkumpulan dan persatuan kalimat dan perbaikan hubungan, maka sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Maka bertaqwalah kalian kepada Alloh Azza wa Jalla dan perbaikilah hubungan di antara kalian.”
(QS. Al Anfal: 1).

Dan beliau menyebutkan ayat yang lainnya sampai pada perkataan beliau: Dan orang- orang yang paling berhak atas keutamaan ini adalah ahlul jama'ah sebagaimana orang yang keluar dari keutamaan ini adalah ahlul firqoh.
(Al- Fatawa/28/51).

5
Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhory (4418) dan Muslim (2769).

6
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (4319) dan yang selainnya dari haditsnya Imron bin hushoin dan ini adalah hadits yang shohih dishohihkan oleh Al- Albany dalam
Shohihul Jami
(6301) dan oleh Syaikh Muqbil dalam Shohihul Musnad (2/94/1019).

7
Diriwayatkan oleh Bukhory (6077) dan Muslim (2560), dari haditsnya Abu Ayub.

8
Ini dlohir dari perkataan Imam Ahmad dan memastikan yang demikian itu Ibnu Aqil di dalam kitabnya, beliau berkata: Agar yang demikian itu sebagai pematah baginya dan perbaikan, kemudian beliau berdalil untuk pendapatnya ini.
(Al- Adabus Syar
iyah/1/207/Darul Imam Ahmad). (Penulis berkata: ini adalah
perkataan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya).

9
Hajr tidak ditujukan kepada seorang muslim kecuali jika diketahui darinya bid'ah berdalilkan dengan hadits:

“Qodariyah adalah majusi bagi ummat ini, jika mereka sakit maka janganlah kalian menjenguknya, dan jika mereka mati maka janganlah kalian mengiringi jenazah mereka.”
Atau ditakutkan sesuatu terjadi pada agamanya yang diragukan, dengan dalil haditsnya Ka'ab bin Malik dan teman-temannya, karena ditakutkan atas mereka kenifakan.

10
Berkata Ibnu Muflih –rohimahullohu ta'ala–: disunnahkan untuk menghajr bagi seseorang yang terang- terangan di dalam berbuat maksiat baik meksiat itu terlihat pada perbuatannya atau perkataannya atau keyakinannya.
[Al- Adabus Syar
iyah/1/248/Darul Imam Ahmad).

11
Dan Syaikh Muqbil –rohimahullohu ta'ala– telah membuat sebuah bab di dalam kitabnya “Al-Jamius Shohih” dalam Kitabul Kabair: Bab dibolehkan bagi seseorang untuk menghajr istrinya di dalam rumah dan tidak boleh melebihi empat bulan. Dengan berdalilkan firman Alloh Azza wa Jalla:

“Kepada orang- orang yang meng-ila’ istrinya di beri tangguh empat bulan. Kemudian jika mereka kembali maka sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Ghofur (Maha Pengampun) lagi Rhohim (Maha Penyayang). Dan jika mereka berazzam untuk tholaq, maka sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla Sami’ (Maha Mendengar) lagi Alim (Maha mengetahui).”

Ini mengisyaratkan bahwa siapa yang menghajr istrinya lebih dari empat bulan, maka termasuk di dalam dosa besar.

12
Berkata Syaikh Muqbil –rohimahullohu ta'ala– dalam kitabnya “Al- Mushoro
ah” (hal.88): Maka kami Alhamdulillah, tidak menjarh musuh-musuh kita dikarenakan diri kita pribadi, kecuali jika mereka berpaling dari sunnah Rosululloh shollallahu 'alaihi wasallam. Dan berkata dalam kitabnya “Ghorotul Fashli” (hal.7): Dan kalau
seandainya permasalahan itu bersangkutan dengan pribadiku, maka aku tidak akan membantahnya. Siapa diriku, sampai- sampai aku membuang-buang waktu untuk membela diriku. Dan berkata dalam “Riyadlul Jannah” (hal.6): Dan ketika aku membacanya aku bersumpah dengan nama Alloh Azza wa Jalla, aku tidak akan membantah terhadap mereka, karena yang mereka katakan hanya bersangkutan dengan pribadiku, adapun aku alhamdulillah tidak membela kecuali sunnah Rosululloh shollallahu 'alaihi wasallam.

13
Bab hajr itu bab yang sempit dan tidak luas, dan hajr yang diperbolehakan antara sesama saudara tidak boleh lebih dari tiga hari untuk memberikan pelajaran kepadanya, berdalilkan hadits:
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr saudaranya melebihi tiga hari, maka barangsiapa yang menghajr saudaranya lebih dari tiga hari, kemudian dia meninggal niscaya akan masuk neraka.”
(HR. Abu Dawud dari haditsnya Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu dan hadits ini ada di dalam As- Shohihul Musnad, dan dalil-dalil tentang hal ini cukup banyak).

14
Para ulama' telah berselisih pendapat tentang hal itu, menjadi dua pendapat yang paling masyhur:
Pertama, bahwasannya hujjah itu ditegakkan pada seseorang setelah hujjah itu sampai padanya, dan pemahaman dia tentang maksud hujjah tersebut, ini adalah pendapat kebanyakan para ulama' diantaranya, Ibnul Araby, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qoyyim, dan yang selain mereka.
Kedua, sesungguhnya hujjah itu ditegakkan pada seseorang setelah sampai padanya hujjah tersebut, walaupun dia tidak memahaminya. Maka bukan termasuk syarat tegaknya hujjah pada seseorang pemahaman terhadap hujjah tersebut, dan ini adalah pendapat sebagaian ulama
dari cucu- cucunya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang selain mereka. Adapun penisbahan pendapat ini kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka ini perlu dilihat lagi. Ayat dan hadits menunjukkan bahwasannya Alloh Azza wa Jalla memberikan udzur kepada ummatnya dari kelemahan untuk memahami dari beberapa segi: Yang pertama,
Alloh Azza wa Jalla mengabarkan bahwasannya Alloh Azza wa Jalla tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya, dan ketidakfahaman seseorang bukan termasuk kemampuannya, jika tidak diikuti dengan pemalingan diri. Yang kedua, bahwasannya Alloh Azza wa Jalla telah mengabulkan bagi kaum mu
minin dalam tidak adanya perhitungan terhadap kelupaan, yang hal ini berasal dari kekurangan dari hamba yang disebabkan karena kelemahan dia, atau lambatnya pemikirannya, sesungguhnya hal ini sama sekali bukan termasuk ma'siyat dan tidak dihitung oleh Alloh Azza wa Jalla. Yang ketiga, bahwasannya Alloh Azza wa Jalla telah mengabulkan bagi ummat ini dalam tidak adanya perhitungan dari kesalahan yang tidak dia sengaja atau tidak dia inginkan.
(At- Takfir Wa Dlowabituhu/265 sampai halaman yang setelahnya).

15
Berkata Syaikhul Islam –rohimahullohu ta'ala–: Sesungguhnya kekafiran dan kefasiqkan adalah hukum syar'i, bukan hukum yang akal itu memberi hukum sendiri, maka orang yang kafir adalah orang yang Alloh dan RosulNya kafirkan, dan orang yang fasiq adalah orang yang Alloh dan RosulNya fasiqkan, sebagaimana orang yang beriman dan orang yang muslim adalah orang yang Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya menjadikan dia beriman dan islam. [Minhajus Sunnah/5/920].

Dan berkata –rohimahullohu ta'ala–: Dan kekufuran adalah termasuk hukum syar'i, dan tidaklah setiap orang yang melakukan penyelisihan, kemudian dia dihukumi dengan menurut akal saja menjadi orang yang kafir, dan kalau seandainya dia melakukan penentangan terhadap sebagian ilmu yang akal itu mengetahuinya dengan sangat jelas, maka dia tidak terhukumi sebagai oarng yang kafir, sampai ucapannya itu menjadikan dia kafir menurut syari'ah. (Al- Fatawa/12/525).

16
Saya bertanya kepada Syaikh hafidzhohullohu ta'ala- tentang keadaan penulis kitab ini, maka beliau menjawab:
Apa-apa yang benar ambil darinya dan apa- apa yang bathil maka ingkarilah.
(Hari Ahad, 29 Syawal 1430H setelah dars Ashr).

17
Dia adalah seorang hizbiy, akan tetapi kitab- kitabnya bisa diambil faedah darinya sebagaimana yang dikatakan olaeh Syaikh Yahya -hafidzhohullohu ta'ala-

18
Yang mengatakan perkataan ini adalah Sufyan Ats- Tsaury, dikeluarkan oleh Ibnul Ja
d dalam Musnadnya (1885), dengan sanad yang hasan. Dan dikeluarkan juga oleh Abu nu'aim dalam Al- Hilyah (7/26).

19
Saya sebutkan hal ini berkaitan dengan perkataannya Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly -hafidzhohullohu ta'ala-, dalam kunjungannya ke Darul Hadits di Dammaj (Hari Senin sampai hari Rabu, 22-24 Jumadil Akhir 1430H), bertanya seorang penanya: Kami mendengar bahwasannya anda datang ke Indonesia untuk memenuhi permintaan sebagian jam'iyyat hizbiyah, seperti muassasah Al- Haromain dan Al-Bir semisal Abdul Hakim Abdat dan Yazid Abdul Qodir Jawaz, apakah hal ini benar, dengan mengetahui bahwa perbuatan ini memperkuat orang-orang tersebut atas apa yang mereka berada padanya dari kebathilan?

Maka beliau menjawab: Aku katakan-, sesungguhnya kami datang ke Indonesia karena permintaan dari sebagian saudara-saudara kami dan para thulabul ilmi yang mereka tidak memilki keterkaitan dengan jam'iyah manapun, dan hanya saja (perkataan tidak jelas)...syar'i dan sungguh kami telah menyampaikan muhadlorot di Jakarta, kemudian kami mengetahui bahwasannya yang mengatur semua ini adalah saudara kami Abdul Hakim Abdat dan Yazid Jawas, dan kami tidak mengetahui kalau mereka ini mempunyai jam'iyyah, dan hanya saja kami datang ke Indonesia melalui perantara sebagian saudara kami, para thulabul ilmi yang mereka itu tidak memiliki keterkaitan baik dengan jam'iyatul irsyad atau dengan Al- Haromain atau dengan yang lainnya dari jam'iyyah-jam'iyyyah yang ada.
Maka kami minta kepada kalian untuk memberikan penjelasan yang rinci (dalam bahasa Arob) tentang mereka dan jam'iyyat-jam'iyyat tersebut, dikarenakan kalian adalah orang yang paling tahu tentang keadaan mereka dari pada kami, dalam rangka memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan saling tolong-menolonglah diantara kalian di dalam penulisannya, wallohul muwafiq.

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)