Powered By Blogger

Translate

Jumat, 20 Juli 2012


MEMASUKI BULAN YANG PENUH BERKAH
TANPA MASALAH 

ditulis oleh:
Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Saddadahulloh
24 Sya’ban 1433–Darul
 Hadits Harosahalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ. وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. أمَّا بَعْدُ
Romadhon, adalah bulan yang dinanti-nanti segenap muslimin, salah satu syi’ar yang telah Alloh Ta’ala wajibkan bagi hamba-Nya, Alloh mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (QS Al-Baqoroh 183)
Semestinya bagi seorang muslim, memiliki bekal dan mencari pengetahuan terhadap ibadah yang bakal dikerjakannya. Tidak ada yang basi dalam membahas ilmu agama ini, terkadang seseorang memahami begini, kemudian berganti dengan semakin matangnya pemahamannya. Bisa saja dia mendapat dalil baru yang semakin memperkuat apa yang selama ini diyakininya. Atau mungkin sebaliknya, dalil itu malah membuat pendapatnya berubah. Hal itu wajar, demikianlah kadar yang Alloh Ta’ala berikan kepada hamba-Nya, dan ilmu semakin didalami akan semakin kelihatan dalamnya.
Maka bersyukurlah orang-orang yang telah Alloh Subhanahu wa Ta’ala bukakan pintu hatinya untuk bersungguh-sungguh menjalankan agamanya di atas ilmu dengan pemahaman yang benar, Al-Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman salaf. Sesungguhnya merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Diantara permasalahan ilmiyyah yang sering dibahas sebelum mendekati Romadhon adalah penentuan awal dan akhir puasa, apakah mesti sesuai dengan pemerintah suatu negara atau cukup mengikutiru’yah (pengamatan munculnya bulan baru) dari negara lain yang lebih duluan melihatnya.
Sebagaimana namanya, maka sesuatu pembahasan yang ilmiyyah adalah perkara yang memang dilandasi ilmu, dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dengan menerapkan kaidah-kaidah fiqh yang dibangun di atas dalil-dalil dan pemahaman salafus sholeh. Maka semestinya bagi seorang muslim pada permasalahan seperti ini, berusaha membangun pemahamannya di atas dalil, berlapang dada jika mendapatkan perbedaan dengan saudaranya yang sama-sama berusaha berpendapat dengan dalil.
Pada kesempatan ini kita akan mengupas sedikit tentang masalah ini, berdiskusi dengan metode yang diusahakan lebih sederhana, semoga Alloh Ta’ala memberikan kita taufik untuk mencocoki kebenaran dan membantu kita untuk itu serta menjadikannya sebagai amalan yang bermanfaat bagi kita semua.
JUMLAH HARI DALAM PENANGGALAN Qomariyah TIDAK BAKU
Tidak seperti penanggalan syamsiyah (berdasar peredaran matahari) yang memiliki bulan-bulan dengan jumlah hari yang tetap (kecuali Februari), penanggalan qomariyyah tidak diketahui jumlah hari dalam tiap-tiap bulannya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hanya memberitakan kepada umatnya bahwa bilangan hari dalam satu bulan berkisar antara dua puluh sembilan atau tiga puluh, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِى الثَّالِثَةِ – وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ.
Sesungguhnya kita adalah umat yang ummy, kita tidak menulis dan kita tidak berhitung. Bulan itu begini, begini dan begini –beliau menekuk jempolnya pada kali yang ketiga-.Dan bulan itu begini, begini dan begini. Maksudnya sempurna tiga puluh. (HR. Muslim dari Ibnu Umar Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sesuatu yang tidak baku tentunya tidak bisa ditetapkan dengan rumus tertentu, karena perumusan menghasilkan sesuatu yang baku.
CARA MENGETAHUI MASUKNYA DAN BERAKHIRNYA BULAN ROMADHON
Alloh Ta’ala mengatakan:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Bulan Romadhon adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta penjelasan antara hak dan bathil. Karena itu barangsiapa diantara kalian yang melihat bulan itu maka berpuasalah” (QS Al-Baqoroh 185)
Ayat tersebut diatas, dengan tegas menyatakan bahwa perintah puasa dikaitkan dengan syarat melihathilal Romadhon. Demikian juga dengan berakhirnya puasa Romadhon, waktunya ditentukan dengan melihat hilal Syawal atau penggenapan Romadhon menjadi tiga puluh sebagaimana dijelaskan selanjutnya.
SILANG PENDAPAT DALAM PENETAPAN RU’YAH YANG DIPAKAI
Pokok permasalahan ini adalah: Apabila suatu negeri muslimin telah melihat hilal, apakah mengharuskan seluruh kaum muslimin di penjuru dunia beramal dengan ru’yah tersebut?
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan sampai delapan madzhab [Ad-Daroril Mudiyyah 2/172] namun secara garis besar ada tiga pendapat yang masyhur dan kuat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Wajib bagi kaum muslimin untuk beramal dengan ru’yah tersebut
Ini adalah mazhab Malikiyyah dan Hanafiyyah, masyhur di mazhab Hanabilah, salah satu pendapat di kalangan Syafi’iyyah. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukany, Ibnu Baz dan Al-AlbanyRahimahumullohu Ta’ala
Pendapat kedua: Wajib memakai ru’yah jika mathla’nya sama. Yang mereka inginkan dengan mathla’adalah tempat terbitnya bulan, sehingga dalam waktu yang sama atau berdekatan mereka dapat melihat hilal. Negeri-negeri yang  berdekatan dalam waktu terbitnya bulan dikatakan satu mathla’. Ini adalah Mazhab Syafi’iyyah, salah satu pendapat di kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin, Muqbil  dan lainnyaRahimahumullohu Ta’ala
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dinukil dua pendapat dari beliau. Dalam Majmu’ul Fatawa dengan pendapat pertama dan dalam Al-Ikhtiyaarot dengan pendapat kedua, wallohu a’lam.
Pendapat ketiga: Keputusannya kembali ke Imam kaum muslimin. Ini adalah pendapatnya Ibnu Majisyun Rahimahulloh.
Sisi pandang pendapat ketiga ini keluar dari pokok perbedaan pengamalan ru’yah yang diperselisihkan, karena yang difokuskan adalah masalah lain yaitu ijtima’ul kalimah (kesatuan kata). Oleh sebab itulah dalam pembahasan ini, terlebih dahulu kita fokuskan kepada pendapat pertama dan kedua.
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MEMAHAMI DALIL
Silang pendapat ini muncul karena perbedaan pendapat pada kalangan ulama –sesuai indikasi-indikasi yang mereka kuatkan- dalam memahami ayat (surat Al-Baqoroh 185) di atas serta hadits-hadits yang berkaitan dengan pensyaratan ru’yah dalam penetapan awal bulan, seperti hadits dari Abu HurairohRodhiyallohu ‘Anhu, dimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَد
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal Romadhon/ bulan baru) dan berbukalah (selesai menunaikan puasa romadhon) kalian karena melihatnya (hilal Syawal). Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka genapkanlah tiga puluh hari” (HR Bukhory-Muslim)
Juga hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَه
“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (‘iedul fithr) sampai kalian melihat hilal. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka takdirkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Dalam riwayat lain:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Apabila kalian melihatnya maka berpuasalah kalian. Apabila kalian melihatnya maka berbukalah (‘iedul fithr) kalian. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka takdirkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Serta Atsar Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, termasuk dalil yang bersinggungan langsung dengan perbedaan masalah ini.
Ummul Fadhl bintu Al-Harits mengutus Kuraib bin Abi Muslim Al-Hasyimi kepada Mu’awiyah di Syam.­ Kuraib –Rahimahulloh- mengatakan: “Aku sampai di Syam dan menunaikan keperluannya, hilal Romadhon terlihat ketika aku masih di Syam. Aku melihat hilal tersebut pada malam jum’at. Kemudian aku sampai ke Madinah di akhir bulan, maka ‘Abdulloh bin ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu bertanya kepadaku tentang hilal, di berkata: “Kapan kalian melihat hilal?”. Aku menjawab: “Kami melihatnya pada malam jum’at”. Dia berkata: “Engkau melihatnya?”. Aku menjawab: “Iya, dan orang-orang pun melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah berpuasa”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Namun kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa sampai kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihatnya (pada malam dua puluh sembilan –pent)”. Aku katakan: “Apakah kita tidak mencukupkan dengan ru’yahdan puasa Mu’awiyah?”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Tidak, beginilah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammemerintahkan kami”. (HR Muslim)
Pemilik pendapat pertama dalam memahami ayat tersebut (surat Al-Baqoroh 185) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan makna melihat di sini mencakup pengetahuan tentang masuknya bulan. Hal ini dijelaskan oleh sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada hadits Abu Hurairoh di atas. Barangsiapa yang melihat atau mendapatkan kabar yang bisa dipercaya, maka wajib baginya berpuasa, dan ini umum bagi kaum muslimin tidak terkhusus pada suatu negeri saja karena Rosululloh tidak ada memberikan perincian seperti itu.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan: “Masalah ini tidak khusus bagi penduduk salah satu penjuru dengan hukum tersendiri, melainkan yang diajak bicara (dalam hadits ini –pent) adalah seluruh kaum muslimin yang berhak (puasa). Pendalilan dengan hadits ini atas pengharusan penggunaan ru’yahsuatu negeri atas negeri yang lain, lebih nampak ketimbang pendalilan atas tidak adanya keharusan, karena apabila penduduk suatu negeri telah melihat, artinya kaum muslimin telah melihat, maka mengharuskan yang lain apa-apa yang diharuskan bagi  yang melihat” [Nailul Author 4/194]
Pemilik pendapat kedua dalam memahami ayat dan hadits tersebut berpendapat, bahwa dimaksud adalah melihat secara hakikat atau hukum. Makna melihat secara hukum adalah orang-orang yang berada dalam mathla’ yang sama. Adapun yang mathla’nya berbeda tidak dikatakan lagi melihat secara hukum.
Mereka berdalil dengan atsar Ibnu ‘Abbas di atas, dimana Ibnu ‘Abbas yang ketika itu di Madinah, tidak memakai ru’yah Mu’awiyah yang ketika itu berada di Syam.
MENYOROT PEMBAGIAN WAKTU BERDASARKAN MATHLA’
Kalau ditelusuri, maka ujung permasalahannya adalah perkara mathla’. Apakah mathla’ merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan penetapan masuknya bulan ataukah tidak?
Mathla’ adalah perkara yang nisbi yang tidak memiliki batasan tertentu sehingga manusia bisa memeriksanya. [Tamamul Minnah – karya Syaikh Al-Albany Rahimahulloh]
Sebagian ulama ada yang menjadikan perbedaan kawasan (yang sama sifat geografisnya) sebagai faktor pembeda, sebagian ada yang menjadikan acuan adalah perbedaan waktu, sebagian juga ada yang berpendapat dengan memakai standar jarak yang dikatakan sebagai safar (dan tentang standar inipun mereka berbeda pendapat).
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Jika kita perhitungkan batas tertentu (sebagai pembedamathla’) seperti jarak yang dikatakan safar atau kawasan-kawasan. Maka seseorang yang berada di akhir jarak (yang belum dianggap sebagai safar-pent) atau di akhir kawasan, diwajibkan baginya berpuasa, iedul fithr, iedul adha. Sementara orang yang lain yang jaraknya (dengan orang pertama tadi) sejauh lemparan panah (namun orang ini telah berada di luar batas yang ditetapkan –pent) tidak melakukan apa-apa. Ini bukanlah agama kaum muslimin.” [Majmu’ul Fatwa 25/105] Terus, bagaimana dengan Lailatul Qodar??
Tidak ada bedanya contoh yang disebutkan Syaikhul Islam disini dengan batasan teritorial (suatu negara) yang ditetapkan orang belakangan. Hal itu disebabkan memang tidak didapatkan adanya dalil dalam masalah ini, bahkan hal ini keluar dari keumuman penggunaan berita dari seseorang yang terpercaya (khobar tsiqoh) yang berlaku dalam setiap perkara syari’at.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan: “Tidak ada keraguan bagi seorang alim, bahwasanya dalil-dalil yang ada memutuskan bahwa penduduk dari berbagai penjuru, sebagian mereka beramal dengan berita dan persaksian sebagian yang lain di seluruh hukum-hukum syari’at, sementara masalahru’yah termasuk ke dalam perkara syari’at, baik itu antara dua negeri yang berjauhan yang memungkinkan terjadinya perbedaan mathla’, ataupun tidak. Pengkhususan tidak diterima kecuali dengan dalil” [Nailul Author 4/231]
Dengan alasan tersebut dan juga lainnya pendapat pertama lebih kuat, wallohu a’lam.
Adapun pendalilan mereka dengan mengkiaskan perkara ini dengan perbedaan waktu sholat maka ini adalah pengkiasan dua perkara yang berbeda.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Berbedanya Ru’yah hilal tergantung dari berbedanya posisi, di barat atau timur. Apabila hilal telah terlihat di timur maka wajib bagi yang di barat akan melihatnya, namun tidak sebaliknya (adapun matahari malah sebaliknya–pent), karena tenggelamnya matahari di bagian barat lebih telat dari pada di daerah timur. Apabila hilal (di bagian timur) telah terlihat, maka di bagian barat cahaya hilal akan semakin bertambah, demikian juga jaraknya akan semakin bertambah dari matahari dan dari sinarnya di kala tenggelamnya matahari. Dengan demikian hilal akan lebih bisa lagi untuk dilihat.
Tidak demikian halnya jika bulan terlihat di bagian barat (sementara orang timur tidak melihatnya –pent), karena bisa saja sebab terlihatnya hilal di barat karena tenggelamnya matahari di tempat mereka lebih belakangan, sehingga jarak (hilal dari matahari –pent) dan cahaya hilal bertambah. Sementara ketika matahari tenggelam di timur, hilal masih dekat dengan matahari (sehingga cahaya kalah –pent). Tambah lagi ketika hilal terlihat di barat, ia telah tenggelam di timur, ini adalah (kenyataan) yang bisa ditangkap panca indra dalam masalah tenggelamnya matahari, hilal dan seluruh bintang. Karena itu jika masuk waktu maghrib di barat otomatis di timur juga telah masuk, namun tidak sebaliknya. Demikian juga jika telah terbit matahari di barat otomatis di timur juga telah terbit, namun tidak sebaliknya. Terbitnya dan tenggelamnya (matahari) dan bintang-bintang di bagian timur lebih dahulu. Adapun hilal maka muncul dan terlihatnya dia di bagian barat, lebih dahulu, karena dia terbit di bagian barat dan tidak ada di langit yang terbit di bagian barat selainnya. Sebab terlihatnya hilal adalah jauhnya dia dari matahari. Semakin telat matahari tenggelam maka (artinya) semakin jauh hilal darinya. Maka barangsiapa yang memperhitungkan perbedaan jarak tempat-tempat (tinggal) saja, maka dia tidak berpegang dengan pokok syari’at demikian juga tidak dengan (kenyataan) yang bisa ditangkap panca indra” [Ma’mu’ul Fatawa 25/ 104]
Dapat dipetik dari penjelasan di atas -wallahu a’lam- tenggelamnya matahari menunjukkan penambahan waktu, artinya daerah yang lebih duluan tenggelam maka waktunya lebih duluan, harinya lebih duluan. Sementara terbitnya hilal tidak seiring dengan pertambahan waktu. Sehingga tidak bisa dikatakan pada suatu daerah sudah tanggal bulan dua tapi masih selasa, sementara di timurnya masih bulan satu tapi sudah rabu. Karena kenyataannya pertambahan bulan seiring pertambahan hari.
Adapun pendalilan atas perbedaan mathla’ dengan atsar Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu maka perkataan Ibnu ‘Abbas yang mengatakan “Beginilah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammemerintahkan kami”. Perkataan ini memiliki beberapa kemungkinan karena Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu sendiri tidak menyebutkan dengan gamblang bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammemerintahkan mereka untuk tidak mengamalkan ru’yah selain mereka [Ad-Daroril Mudhiyyah 2/172]
Kemungkinan lebih dekat adalah yang dibawakan sebagian ulama bahwasanya maknanya disesuaikan dengan kondisi Ibnu ‘Abbas dan kondisi penduduk Madinah ketika itu, dimana sikap Ibnu ‘Abbas yang tidak memakai ru’yah Mu’awiyyah adalah karena beritanya sampai di pertengahan puasa sehingga otomatis mereka tidak melakukan puasa pada hari pertama yang dilakukan Mu’awiyah. Adapun jika dikatakan sebagai dalil atas perbedaan mathla’, maka pendapat ini terbantah sendiri -oleh sebagian mereka-, karena mathla’ Syam dan Madinah adalah satu, sebab dekatnya perbedaan waktu mereka. Inilah pendapat yang dikuatkan Syaikhuna Muhammad bin Hizam Hafizhohulloh.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Seandainya dikatakan: “Apabila berita tersebut datang kepada mereka pada ditengah-tengah puasa (telah lewat hari pertama –pent) maka mereka tidak membangun pusa mereka kecuali atas ru’yah mereka sendiri, berbeda halnya jika berita itu sampai pada hari pertama”, tentunya kemungkinan ini memiliki sisi (pembenaran)” [Majmu’ul Fatawa 25/109]
Imam Ath-Thohawy Rahimahulloh mengatakan: “Isi hadits Kuraib adalah pengkabarannya kepada ibnu ‘Abbas tentang ru’yah bulan Romadhon, pada waktu yang telah telat pengamalan puasa dengan ru’yahtersebut. [Syarh Musykilil Atsar 1/425]
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh mengatakan: “Sepertinya pendapat yang terkuat adalah perkataan: “Sesungguhnya hadits Ibnu ‘Abbas berlaku pada orang-orang yang berpuasa dengan ru’yah negerinya, kemudian di tengah-tengah romadhon datang kabar bahwasanya penduduk negeri lain telah melihat hilal sehari sebelum mereka. Maka dalam kondisi ini, seseorang terus berpuasa dengan penduduk negerinya sampai mereka menyempurnakan tiga puluh atau mereka melihat hilal (syawwal). Dengan demikian hilanglah problema, dan hadits Abu Hurairoh serta yang lainnya tetap berada dalam keumuman yang mencakup setiap orang yang sampai berita ru’yah kepadanya dari negeri dan kawasan manapun, yang memang pada asalnya tidak ada batasan jarak” [Tamamul Minnah 398]
PUASA BERSAMA PEMIMPIN MUSLIMIN
Sebagaimana kita singgung sebelumnya, bahwa sisi pandang pendapat ketiga ini keluar dari pokok perbedaan pengamalan ru’yah yang diperselisihkan, karena itu bisa saja pendapat ini mencocoki pendapat yang pertama ataupun yang kedua, yang secara garis besar bisa kita lihat dalam dua kondisi.
Kondisi pertama yaitu apabila kawasan Islam berada dalam satu kepemimpinan, tentunya pendapat ini akan menjurus ke pendapat yang pertama, karena semua kaum muslimin berpuasa dengan saturu’yah yaitu yang ditetapkan pemimpin.
Kondisi kedua yang banyak dipraktekkan namun dalam skala yang lebih kecil yaitu negara. Hal ini dikarenakan kondisi kaum muslimin yang terpisah dalam bentuk negara-negara yang berdiri sendiri.Pada hakikatnya kondisi ini bakal kembali kepada kedua pendapat yang telah disebutkan, dalam artian: yang berpendapat dengan pendapat ketiga, mereka mengikuti mazhab yang ditetapkan pemimpin. Baik pemimpin tersebut berpendapat dengan pendapat pertama atau berpendapat dengan pendapat kedua. Namun secara umum, pendapat ini mengisyaratkan penyelisihan terhadap pendapat yang pertama karena adanya kemungkinan bagi pemimpin setiap negara untuk menetapkan jadwal puasa, menunjukkan tidak adanya keharusan untuk saling mengikuti satu sama lain. Adapun sisi perbedaannya dengan pendapat kedua adalah bahwa pendapat ketiga menjadikan batas teritorial sebagai acuan perbedaan waktu.
Dengan kondisi ini bisa saja seorang Indonesia yang tinggal di kampung perbatasan menunaikan puasa, sementara saudaranya seorang Malaysia yang tinggal di kampung sebelah masih menunggu ru’yahpemimpinnya. Rasanya, penjelasan Syaikhul Islam –yang telah dinukilkan terdahulu mengenai batasanmathla’- cukup menjadi jawaban yang menunjukkan lemahnya pendapat ini.
HINDARI FITNAH DI KALANGAN MUSLIMIN !!
Inilah yang menjadi alasan kenapa pendapat ketiga ini termasuk yang dikuatkan, dan karena ini jugabeberapa ulama yang menguatkan pendapat pertama mengarahkan kaum muslimin ke pendapat ketiga ini seperti Syaikh Al-Albany Rahimahulloh [Tamamul Minnah 398] demikian juga isyarat Syaikh Ibnu Baz Rahimahulloh [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 115/94].
Telah lewat penjelasan di awal pembahasan bahwa munculnya perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini di latar-belakangi perbedaan pemahaman dalam memahami makna hadits, dan masing-masingnya memiliki alasan-alasan yang memperkuat pemahaman mereka.
Maka dalam perkara-perkara yang seperti ini tidak semestinya menjadi bahan pertikaian dan perdebatan sesama muslim, toh para imam-imam terdahulu juga berbeda pendapat dalam masalah ini tapi mereka tidak ribut. Masing-masing mengamalkan dan menjelaskan apa yang diyakininya dan bisa mendekatkan dirinya kepada Alloh, serta masing-masing berlapang dada dalam menerima pendapat saudaranya.Berbeda dengan penetapan Romadhon bersandar kepada perhitungan, maka hal ini adalah perkara yang melanggar ijma’ (kesepakatan ulama muslimin) sebagaimana dinukilkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh [Majmu’ul Fatawa 25/132-133] dan Al-Baji Rahimahulloh (dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar) [Fathul Bari 4/127], maka perkara seperti ini perlu dijelaskan tentang kebatilan pendapatnya.
Jangan juga pendapat sebagian ulama yang menganjurkan pendapat ketiga ini dijadikan dalil bahwa orang yang berpuasa dengan ru’yah negara lain -yang lebih dahulu-, merupakan tindak murni penyelisihan terhadap pemerintah –apalagi sampai dicap berpemikiran khawarij- karena mereka berbuat demikian dalam rangka ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya, sebagaimana tidak adanya kemestian antara meninggalkan syari’at dengan persatuan muslimin, demikian juga tidak ada kemestian antara menjalankan syari’at dengan perpecahan muslimin.
Hanya saja terkadang perpecahan muncul karena sikap serampangan walaupun dibangun di atas pendapat yang benar. Maka semestinya seorang muslim lebih cerdas melihat sebuah permasalahan dan memikirkan dampaknya. Terkadang penyelisihan terhadap kaum yang berbeda pendapat perlu dinampakkan dan terkadang tidak, sebagaimana pembahasan kita ini. Karena itu disarankan bagi kaum muslimin yang pendapatnya cenderung ke pendapat pertama dan ternyata berbeda dengan pemerintah untuk bersikap santai –terlebih lagi jika dikhawatirkan menimbulkan pertikaian- toh orang yang berpuasa (ketika orang lain tidak berpuasa) tidak bakal menimbulkan perbedaan yang mencolok secara lahiriyyah, apalagi sampai menimbulkan perpecahan karena orang yang berpuasa -apalagi Romadhon- tentunya lebih berupaya menjaga amalan dan perkataannya, menjauh dari perdebatan dan perkara yang tak berguna. Semoga Alloh memperkuat dan menyatukan kaum muslimin di atas agama-Nya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)