Powered By Blogger

Translate

Jumat, 20 Juli 2012

Mengangkat Langkah – Mencari Hidayah


بسم الله الرحمن الرحيم
MENGANGKAT LANGKAH – MENCARI HIDAYAH 
Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Saddadahulloh
14 Sya’ban 1433 di 
Dammaj Harosahalloh
Segala puji hanya bagi Alloh ‘Azza wa Jalla. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh. Dialah yang memberikan taufik bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Alloh, utusan Alloh kepada seluruh umat, penutup para nabi. Barangsiapa yang telah Alloh beri petunjuk, tidak akan ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang Alloh sesatkan, tidak akan ada yang bisa menunjukinya. Sesungguhnya Alloh telah mempersiapkan surga-Nya bagi orang-orang yang berilmu dan beramal sholeh, serta mempersiapkan neraka-Nya bagi para pengikut hawa nafsu dan lari dari ketaatan.
Tak ada seorangpun yang mau dikatakan dirinya bodoh, maka hal ini saja cukup menjadi alasan tentang keutamaan ilmu, terlebih lagi jika ilmu tersebut terkait dengan perkara-perkara yang membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sekarang yang menjadi pertanyaan:
Apakah memungkinkan bagi seseorang berharap sesuatu tanpa melakukan sebab yang akan menyampaikannya pada harapannya itu? Jawabnya: Tidak, karena harapan mesti disertai dengan penjalanan sebab. Karena itu barangsiapa yang mengharapkan sesuatu tanpa melakukan sebab, sesungguhnya dia hanyalah seorang yang berangan-angan bukan seorang yang berharap. Seandainya seseorang berkata: “Wahai Alloh, berikanlah aku anak”, namun dia tidak menikah. Tentulah perbuatan ini terhitung sebagai sebuah ketololan, serta melampaui batas dalam berdo’a.” [lihat Syarh Manzhumati Ushulil Fiqh wa Qowa’idih 38 – Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh]
ILMU ITU PADA ULAMA
Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammengatakan:
من سلك طريقا يبتغي فيه علما سلك الله له طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواب إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Alloh akan  memudahkannya untuk menempuh jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menurunkan sayap-sayap mereka karena ridho kepada para penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim (orang berilmu) dimintai ampunan oleh penduduk langit dan bumi, sampai-sampai ikan yang berada di air. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang ‘abid (orang yang rajin ibadah tapi ilmunya kurang) adalah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang cukup”. (HR At-Tirmidzi, dishohihkan Imam Al-Albany)
Pada hadits Abu Darda’ ini terdapat faidah bahwasanya para ulama adalah pewaris para nabi. Seandainya engkau ditanya: “Siapakah yang menjadi pewaris para nabi? Apakah ‘Ubbad (orang-orang yang banyak ibadah) yang ruku’ dan sujud sepanjang malam dan siang?” Jawabnya: “Tidak”. “Apakah pewaris nabi adalah karib kerabatnya?” Jawabnya: “Tidak, tidak ada yang mewarisi para nabi kecuali ulama”. Yaa Alloh jadikanlah kami diantara mereka.
Para ulama, merekalah ahli waris para nabi. Mereka mewarisi ilmu dari para nabi, serta amalan sebagaimana para nabi mengamalkannya. Mereka juga mewarisi dakwah kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Mereka mewarisi hidayah makhluk dan menunjukkan mereka kepada syari’at Alloh. Ulamalah pewaris para nabi. [Syarh Riyadhish Sholihin 1/1588 karya Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh]
Karena itulah keberadaan ulama menjadi indikasi keberadaan ilmu. Sebagaimana ketiadaan seorang ulama menjadi alamat jauhnya suatu kaum dari ilmu. Dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu beliau mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Alloh tidak akan menarik ilmu dengan sekali renggutan yang bisa mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Dia menarik ilmu dengan menarik (mewafatkan) para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa seorang ulama pun, maka manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh (tentang ilmu agama). Mereka ditanya, maka mereka pun berfatwa. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR Muslim)
Maknanya, bahwasanya Alloh tidak memberikan ilmu kepada makhluknya kemudian menariknya setelah Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan ilmu tersebut. Maha tinggi Alloh dari meminta kembali lagi apa yang telah diberikannya bagi hamba-Nya, berupa ilmu yang bertujuan untu mengenal-Nya, beriman dengan-Nya dan rasul-Nya. Hanya saja penarikan ilmu terjadi dengan menyia-nyiakan menuntut ‘ilmu, sehingga tidak tersisa orang-orang yang menjadi pengganti orang-orang yang telah lewat. [Syarah Shohih Al-Bukhory 1/177 karya Ibnu Baththol Rahimahulloh]
Hal ini sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubahnya.” (QS Ar-Ro’d: 11)
Abu Muhammad Al-‘Aini Rahimahulloh dalam ‘Umdatul Qory Syarh Shohih Al-Bukhory (3/90) dalam pembahasan hadits Ibnu ‘Amr diatas mengatakan: “Imam Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: “Kondisi yang dikhabarkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tersebut telah didapatkan di zaman kita”. Syaikh Quthbuddin menanggapi: “Saya katakan: “Perkataan beliau (Al-Qodhi ‘Iyadh) ketika banyaknya ulama di zamannya, maka bagaimana di zaman kita?” Seorang hamba yang lemah (Al-‘Aini) mengatakan: “Perkataan beliau (Quthbuddin) ketika banyaknya ulama empat mazhab seta para muhaddits (ulama ahli hadits) senior di zamannya, maka bagaimana di zaman kita yang negeri-negeri telah kosong dari keberadaan mereka dan orang-orang bodoh menonjolkan diri untuk berfatwa dan menampakkan diri di majelis-majelis, mengajar di tempat-tempat pengajaran. Kita meminta (kepada Alloh) keselamatan dan ampunan.” Selesai
Imam Al-Qodhi ‘Iyadh meninggal tahun 544 H, sementara Abu Muhammad Al-‘AinyRahimahulloh meninggal tahun 855 H (hampir enam ratus tahun yang lalu). Apa kira-kira yang bisa mereka katakan melihat kondisi kita sekarang ini? Wallohul Musta’an wa ilaihi musytaka.
MENGAMBIL ILMU LANGSUNG DARI SUMBERNYA ADALAH SUNNAH PARA NABI DAN SALAFUS SHOLIH
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Seandainya aku mengetahui seseorang yang lebih berilmu dariku tentang Kitabulloh. Orang tersebut bisa didatangi dengan onta, maka aku akan menungganginya untuk datang kepadanya” (HR Muslim)
Sa’id bin Jubair Rahimahulloh mengatakan: “ Orang-orang Kufah (Irak) berselisih tentang ayat:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ
Maka aku melakukan perjalanan ke Ibnu ‘Abbas (di Madinah –pent) untuk menanyakannya” (HR Bukhory- Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan -dalam hadist yang panjang-:
بينما موسى في ملأ من بني إسرائيل جاءه رجل فقال هل تعلم أحد أعلم منك ؟ قال موسى لا فأوحى الله إلى موسى بلى عبدنا خضر فسأل موسى السبيل إليه
“Ketika Musa berada diantara sekelompok Bani Isro’il, seseorang mendatanginya dan berkata: “Apakah engkau mengetahui seseorang yang lebih berilmu darimu?” Musa menjawab: “Tidak”. Maka Alloh mewahyukan kepada Musa: “Ada, hamba kami Khidhr”. Maka Musa meminta ditunjukkan jalan kepadanya”. (HR. Bukhory)
Nabi Musa pun menempuh perjalanan bersama nabi Yusya’ bin Nun, sampai mereka bertemu dengan nabi Khidhr.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا ¯ قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Maka keduanya menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan Kami ajarkan ilmu kepadanya. Kemudian Musa berkata kepadanya: “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajariku petunjuk yang engkau ketahui?” (Al-Kahfi: 65-66)
Kisah mereka sebagaimana Alloh sebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 60 sampai 82.
Ambillah pelajaran dari kisah perjalanan panjang Salman Al-Farisy Rodhiyallohu ‘Anhu yang langsung mendatangi ‘alim untuk mencari kebenaran. Sampai-sampai Rosululloh mengatakan ketika meletakkan tangannya kepada Salman:
لو كان الإيمان عند الثريا لناله رجال أو رجل من هؤلاء
“Sekiranya iman itu berada di Tsaroya (salah satu gugusan bintang) tentulah para lelaki -atau salah seorang lelaki- dari mereka akan mendatangi dan mengambilnya.” Ini adalah lafazh Bukhory dan di Muslim dengan makna yang berdekatan.
Imam Adz-Dzahaby Rahimahulloh dalam Siyar A’lam An-Nubala’ banyak menukilkan masalah ini, diantaranya:
Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Kalau seandainya saya dilupakan satu ayat saja dan tidak ada yang bisa mengingatkanku kecuali seseorang di Barkul Gimad, maka saya akan pergi kepadanya”. Selesai
Muhammad bin Sholih bin Hani’ Rahimahulloh mengatakan: “Muhammad bin An-Nadhr Al-Jarudy mengatakan: “Saya mendapat kabar bahwasanya Muhammad bin Yahya (Adz-Dzuhly) dulunya menulis hadits di majelis Yahya bin Yahya, maka ketika ‘Ali bin Salamah Al-Labqy melihat bagusnya tulisan dan catatannya, dia berkata kepada Adz-Dzuhly: “Wahai anakku, maukah engkau aku nasehati? Sesungguhnya Abu Zakariya (Yahya bin Yahya) menyampaikan hadits dari Sufyan bin ‘Uyainah sementara Sufyan masih hidup, dari Waki’ sementara Waki’ juga masih hidup di Kufah, (Yahya bin Yahya meriwayatkan) juga dari Yahya bin Sa’id dan sekelompok orang yang masih hidup di Bashroh, juga dari ‘Abdur Rohman bin Mahdy dan dia masih hidup di Ashfahan. Keluarlah engkau menuntut ilmu, jangan engkau sia-siakan harimu”. Adz-Dzuhly pun mengamalkan nasehat tersebut. Maka dia keluar ke Ashfahan, mendengarkan hadist dari ‘Abdur Rohman bin Mahdy dan Al-Husain bin Hafsh. Kemudian dia ke Bashroh, ternyata Yahya (bin Sa’id) sudah meninggal. Maka dia menulis hadits dari Abu Daud dan teman-teman sejawatnya, dan tinggal di sana dalam waktu yang lama sampai Sufyan bin Al-‘Uyainah meninggal”.
Imam Dzahaby Rahimahulloh berkata: “Dia (Adz-Dzuhly) tidak mungkin bertemu dengan Sufyan bin ‘Uyainah karena beliau meninggal di pertengahan tahun, sementara Adz-Dzuhly hanya bisa ke Makkah bersama rombongan. Adapun Waki’, beliau telah meninggal sebelum Adz-Dzuhly beranjak dari negerinya”. Selesai
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh mengatakan: “Orang yang di bawah bimbingan para syaikh, mengambil ilmu dari mereka dan senantiasa bersama mereka, maka dia adalah orang yang pantas untuk memiliki sifat sebagaimana sifat-sifat mereka. Seperti inilah kondisi Salafush Sholih. Awalnya adalah para shohabat, mereka senantiasanya bersama Rosululloh, mengambil perkataan dan amalan beliau, serta berpatokan terhadap segala sesuatu yang datang dari beliau bagaimanapun keadaannya, seperti apapun munculnya. Mereka memahami maksud yang beliau inginkan pertama kali, bahkan mereka tahu dan yakin bahwa itu adalah kebenaran yang tidak ditentang dan hikmah yang tidak akan rusak aturannya dan semua itu dicapai dengan sering dan kuatnya mereka untuk senantiasa bersama beliau.
Renungkanlah kisah ‘Umar ibnul Khoththob pada perdamaian Hudaibiyah, ketika dia berkata: “Wahai Rosululloh, bukankah kita di atas al-haq dan mereka di atas kebatilan?” Beliau menjawab: “Iya”. Dia berkata: “Maka kenapa kita memberi kerendahan pada agama kita, sehingga kita mesti kembali dan Alloh tidak memutuskan perkara antara kita dengan mereka?” Maka beliau berkata: “Wahai ibnul Khoththob! Saya adalah utusan Alloh dan Alloh tidak akan menyia-nyiakanku selamanya”. Maka Umar pergi dalam keadaan tidak sabar dan marah. Kemudian dia mendatangi Abu Bakr, maka ‘Umar mengatakan hal sama kepadanya. Maka Abu Bakr berkata: “Sesungguhnya beliau adalah utusan Alloh dan Alloh tidak akan menyia-nyiakannya selamanya”. Maka turunlah Al-Qur’an kepada Rosululloh tentang Al-Fath (pembukaan kota Mekah), kemudian dikirimkan kepada ‘Umar sehingga dibacanya. Maka ‘Umar berkata: “Wahai Rosululloh, apakah (ayat ini) tentang pembukaan (Mekah)? Beliau menjawab: “Iya”. Makahatinya merasa bahagia dan diapun rujuk.
Ini adalah salah satu faidah senantiasa bersama seorang alim dan menjalin keterkaitan dan sabar bersama mereka saat-saat munculnya permasalahan, sampai terlihat keterangan dengan jelas. Pada kondisi seperti inilah Sahl bin Hanif berkata pada hari perang Shiffin: “Wahai manusia, tuduhlah pemikiran-pemikiran kalian !! Demi Alloh, pada hari Abu Jandal[1], seandainya aku bisa menolak perintah Rosululloh, maka aku akan menolaknya”.
Beliau berkata seperti itu karena munculnya permasalahan yang ruwet bagi mereka, sementara surat Al-Fath turun setelah kesedihan dan kedukaan menyelimuti mereka yang disebabkan beratnya dan samarnya permasalahan. Akan tetapi mereka menerima saja dan meninggalkan pemikiran-pemikiran mereka sampai turun Al-Qur’an, sehingga hilanglah masalah dan kerancuan. Sehingga sikap seperti ini menjadi prinsip orang-orang yang setelah mereka. Maka para tabi’in senantiasa bersama para shahabat dan mengambil perjalanan mereka bersama Rosululloh sampai mereka betul-betul memahami. Mereka pun mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu-ilmu syariat. Cukup bukti bagi Anda atas keabsahan kaidah ini, bahwasanya Anda tidak mendapatkan seorang ulama yang ilmunya masyhur di kalangan manusia, kecuali dia memiliki teladan yang juga masyhur pada zamannya”. [Selesai penukilan dengan sedikit perubahan dari Al-Muwaafaqot 1/142-144]
Wajib bagi seorang penuntut ilmu untuk meminta tolong kepada Alloh, kemudian dengan ulama dan kitab-kitab mereka. Karena sebatas membaca dan menelaah saja, membutuhkan waktu yang panjang. Berbeda dengan orang yang duduk langsung kepada ulama yang menjelaskan, memaparkan, serta menerangkan jalan kepadanya. Saya tidak mengatakan kalau ilmu itu tidak bisa didapat kecuali harus duduk di depan masyayikh. Terkadang seseorang memperolehnya dengan membaca dan menelaah. Akan tetapi seringnya, jika orang tersebut tidak betul-betul tekun, dan tidak dikaruniai pemahaman, maka akan banyak melakukan kesalahan. Karena itulah dikatakan: “Barangsiapa yang dalilnya adalah kitabnya, maka kesalahannya akan lebih banyak dari benarnya”. Namun ini memang tidak secara mutlak pada kenyataan”. [Kitabul ‘Ilmi  karya Syaikh Al-Utsaimin Rahimahulloh]
Wahai saudaraku, umur kita pendek dan ilmu itu luas. Jangan cepat merasa puas atas apa yang didapatkan, apalagi rela dengan diri di atas kejahilan. Bahkan terkadang, seseorang merasa dirinya memiliki pemahaman bagus dan pencermatan tajam, namun ketika dibandingkan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah syari’ah, ternyata jauh.
MANFAATKAN PELUANG JANGAN TUNDA KESEMPATAN
Terkadang ketika ada kelapangan dan keluangan untuk menuntut ilmu ke hadapan ulama, seseorang terlalaikan dan tersibukkan oleh perkara-perkara yang tidak mendesaknya. Dia menyangka bahwa masih ada hari esok, sehingga dia bisa begini dan begitu. Dia lupa, bisa saja kesempatan itu muncul sekali dalam hidupnya, atau hasratnya menjadi pudar, atau keistiqomahannya menjadi goncang.Na’udzubillah.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِى آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati-hati anak Adam, seluruhnya berada antara dua jari dari jari jemari Ar-Rohman, seperti sebuah hati. Dia memalingkannya sesuai kehendak-Nya”. (HR Muslim dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohuma)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Apabila kalian merasa berat dan lambat dalam memenuhi panggilan agama, maka kalian tidak akan merasa aman bahwasanya Alloh akan menghalangi hati kalian, sehingga setelah itu kalian tidak mampu lagi untuk memenuhinya sebagai balasan bagi kalian karena meninggalkannya setelah jelas dan terangnya kebenaran. Sebagaimana firman Alloh:
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّة
“Begitu pula kami memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana mereka pertama kali mereka tidak beriman dengan AL-Qur’an.” (QS Al-An’am 110) [Selesai penukilan dari Al-Fawa’id 1/ 90]
Fakta menjadi saksi, betapa banyak kita lihat ikhwan-ikhwan yang dulunya mampu dan berkeinginan untuk belajar ke hadapan ulama, namun sekarang malah tersibukkan dengan berbagai urusan atau habis dananya, bahkan sebagian mereka terseret ke jurang hizbiyyah yang mengakibatkan mereka merasa tidak butuh kepada ulama dan merendahkan mereka.
Abu Bakr Al-Isma’ily Rahimahulloh mengatakan: “Ketika datang kabar kematian Muhammad bin Ayyub Ar-Rozy, maka aku menangis dan berteriak-teriak, kusobek jubahku dan kuletakkan tanah ke atas kepalaku. Maka keluargaku pun berkumpul, mereka berkata: “Apa yang menimpamu?” Aku katakan: “Berita kematian Muhammad bin Ayyub, kalian telah menghalangiku untuk menempuh perjalanan kepadanya”. Kemudian mereka menanyaiku dan mengizinkanku untuk pergi ke Nasa, menemui Al-Hasan bin Sufyan. Ketika itu disini belum ada sehelai rambutpun -dia mengisyaratkan ke wajahnya-“.
Abu Ishaq Ibrohim bin Al-Qodhi Abu Ahmad Al-‘Assal Rahimahumalloh mengatakan: “Ketika Al-Qodhy meninggal dan anak-anaknya dalam keadaan duduk bersedih, masuklah dua orang laki-laki memakai pakaian hitam. Keduanya mengangkat suara dan berkata: “Duhai Islam”. Lantas mereka berduapun ditanya tentang diri mereka. Maka keduanya berkata: Kami datang dari Agmat daerah Maroko. Kami menempuh perjalanan selama satu setengah tahun agar sampai kepada imam ini untuk mendengar darinya. Ternyata kedatangan kami pas dengan kematiannya”. [Kedua kisah ini di Siyar A’lamin Nubala’ karya Imam Az-Dzahabi.]
PEMAHAMAN LAMBAT ATAU UMUR TELAT BUKAN PENGHALANG UNTUK DUDUK BERMAJELIS DENGAN ULAMA
Tak jarang seseorang yang secara lahiriyyah terlihat memiliki kelapangan dari segi waktu, beban dan pendanaan untuk melakukan melakukan perjalanan menuju majelis para ulama, namun memiliki keengganan. Diantara alasan yang sering dikemukakan adalah kedua alasan ini. Sungguh hal itu bukanlah alasan yang pas, namun justru menunjukkan lemahnya keinginan pembicara, sehingga dia melewatkan kesempatan meraih berbagai keutamaan yang berkaitan dengan “menuntut ilmu” yang diimpikan kebanyakan saudaranya.
Abu Bakr Muhammad bin Thorkhan At-Turky mengatakan: “Imam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad –yakni bapak Abu Bakr Ibnul ‘Aroby- mengatakan bahwa Abu Muhammad Ibnu Hazm menceritakan kepadanya alasan yang menyebabkan beliau belajar fiqih: “Bahwasanya suatu ketika beliau menghadiri jenazah kemudian masuk ke dalam masjid, lalu duduk tanpa sholat dua raka’at. Kemudian seorang lelaki berkata kepadanya: “Berdirilah dan sholat tahiyyatul masjid”. Ketika itu umur beliau dua puluh enam tahun”. [Riwayat ini disebutkan Imam Adz-Dzahabi di Siar A’lamin Nubala’] Sekarang siapa yang mengingkari beliau sebagai salah satu rujukan dalam masalah fiqih?
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ^ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ^ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم
“Bacalah, Robbmulah Yang Memuliakan. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkannya apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-‘Alaq 3-5)
Allohlah yang memuliakan hamba dengan ilmu, Dialah yang mengajarkan manusia dari kejahilan. Kita hanyalah mengambil dan menjalankan sebab sementara Allohlah yang memberikan.
الرَّحْمَنُ ^ عَلَّمَ الْقُرْآنَ ^ خَلَقَ الْإِنْسَانَ ^ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“Ar-Rohman. Dialah yang mengajarkan Al-Qur’an. Yang menciptakan manusia, dan mengajarkannya berbicara menulis dan memahami.” (QS Ar-Rohman 1-4)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan hidayah umum kepada manusia berupa fithrah, Kitab-Kitab yang diturunkan, para Rosul yang diutus, untuk mengetahui al-haq dan mengetahui sebab-sebab didapatkannya ilmu. Pada setiap orang terdapat perkara yang menuntutnya untuk mengetahui kebenaran dan mencintainya. Ada orang yang diberi hidayah oleh Robbnya kepada bermacam-macam ilmu yang dengannya memungkinkan dia untuk sampai kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Alloh menjadikan fithrah orang tersebut mencintai ilmu tersebut. Namun ada juga manusia yang berpaling dari menuntut ilmu yang bermanfaat baginya karena kebodohan dan kelalaiannya sendiri. Maka tidak maunya dia menuntut ilmu, tidak tahunya dia dengan kebenaran serta tidak inginnya dia memperoleh kebaikan tidak bisa disandarkan kepada Alloh.” [lihat Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 14/ 296-297]
Maka yang semestinya bagi seorang muslim adalah untuk tidak meremehkan dirinya sendiri dan tidak berputus asa dari rahmat Alloh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِز
“Seorang mukmin yang kuat lebih Alloh cintai daripada seorang mukmin yang lemah dan pada setiap mereka terdapat kebaikan. Bersemangatlah pada apa-apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Alloh dan jangan lemah.” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Pada hadits ini terdapat dorongan untuk berkeinginan kuat dalam menjalankan ketaatan kepada Alloh pada setiap perkara. Demikian juga terdapat isyarat untuk meninggalkan jiwa yang lemah dan semangat yang kendor.
Yang dimaksud dengan “kuat” disini adalah kesungguhan diri dan tabiat terhadap  perkara-perkara akhirat, sehingga orang yang memiliki sifat seperti ini lebih berani untuk maju menghadapi musuh dalam jihad, lebih cepat keluar dan pergi dalam menghadapinya, serta lebih bersungguh-sungguh menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, sabar terhadap gangguan dan perkara-perkara tersebut serta menahan beban demi Alloh Ta’ala, lebih memiliki rasa cinta terhadap sholat, puasa, zikir dan seluruh ibadah dan lebih bersemangat dalam menunaikan dan menjaganyanya. [Syarh Shohih Muslim – Imam An-Nawawy Rahimahulloh)
Lemah dalam menjalankan ketaatan adalah diantara sifatnya orang-orang munafik dan kita dilarang untuk menyerupai perbuatan mereka. Alloh berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى
“Sesungguhnya orang-orang munafik ingin menipu Allah, namun Allohlah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk melakukan sholat, mereka berdiri dalam keadaan malas.” (QS An-Nisa’ 142)
Makanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa berdo’a kepada Alloh meminta perlindungan dari sikap malas sebagaimana di hadits Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ
“Wahai Alloh, aku berlindung kepadamu dari sifat lemah, malas, penakut, pikun dan pelit”. (HR Bukhory-Muslim)
Ketahuilah, bahwasanya kemalasan, keinginan yang lemah dan mengulur-ulur kesempatan adalah penyebab tidak ditolongnya seseorang dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya keinginan yang kuat dan sungguh-sungguh adalah sebab penting turunnya pertolongan Alloh bagi seorang hamba dalam menjalankan amalan kebajikan yang diimpikannya.
Alloh berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Orang-orang yang besungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS Al-‘Ankabut 69)
Diantara yang menunjukkan keinginan kuat adalah sebab ditolongnya seorang hamba dalam mencapai kebaikan yang dicarinya adalah sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik; bahwa paman beliau yang bernama Anas bin An-Nadhor tidak bisa mengikuti perang Badr. Maka dia berkata: “Wahai Rosululloh, aku tidak menghadiri peperanganmu yang pertama melawan musyrikin. Sungguh jika Alloh mentakdirkan aku untuk memerangi musyrikin, maka Dia akan melihat apa yang akan aku perbuat”. Maka ketika hari perang Uhud, kaum muslimin terpukul mundur dalam keadaan kacau. Maka dia berkata: “Wahai Alloh, aku berlepas diri kepadaMu dari perbuatan mereka -yakni para sahabatnya yang mundur dalam keadaan kacau- dan aku berlepas diri dari mereka -yakni kaum musyrikin-. Dia pun maju, maka Sa’ad bin Mu’adz menghadap kepadanya. Dia berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga!! Demi Robb An-Nadhor aku mencium baunya dari arah seseorang!!”
Sa’ad bin Mu’adz berkata pada Rosululloh: “Aku tidak mampu wahai Rosululloh, untuk berbuat sebagaimana yang dia lakukan”.
Anas bin Malik mengatakan: “Kami mendapatkan lebih dari delapan puluh tusukan dengan pedang, tombak dan panah. Kami menemukannya dalam keadaan terbunuh dan kaum musyrikin telah mencincangnya. Tidak seorangpun yang mengenalinya, kecuali saudarinya karena melihat ujung jemarinya. Kami meyakini bahwa ayat ini turun tentangnya dan orang-orang yang semisalnya:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Diantara orang-orang mukmin terdapat sekelompok orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Alloh. Diantara mereka ada yang gugur dan diantara mereka ada yang menunggu-nunggu. Mereka tidak sedikitpun mengubah janji.” (QS Al-Ahzab 23) [Kisah ini di Shohih Bukhory.]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dalam Miftah Daris Sa’adah (1/46) mengatakan: “… kesempurnaan setiap manusia hanya tercapai dengan dua jenis ini, keinginan yang mendorongnya serta ilmu yang membuka pikiran dan menunjukinya. Luputnya tingkatan kebahagiaan dan kesejahteraan hanyalah disebabkan luputnya dua perkara ini atau salah satunya. Baik orang tersebut tidak memiliki ilmu tentang tingkatan kebahagiaan sementara dia sendiri tidak mau bergerak untuk mencarinya, atau dia memiliki ilmu tentangnya namun bangkit hasratnya untuk itu, tabiatnya terus-terusan tertahan pada titik terendah, hatinya terhalang dan bertolak belakang dari kesempurnaan yang diciptakan untuknya.”
Al-‘Alamah As-Sa’dy Rahimahulloh mengatakan: “Kesungguhan dan ketegaran, keduanya adalah sebab terbesar untuk menggapai tuntutan yang beragam. Diantara do’a Nabi:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الثَّبَاتَ فِي الأَمْرِ ، وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ
“Wahai Alloh, aku meminta kepadamu ketegaran dalam urusan dan kesungguhan dalam kebaikan.”
Karena dengan kedua perkara itulah seorang hamba akan mencapai kesempurnaan … Adapun kekurangan, bisa disebabkan tidak adanya kesungguhan, atau kesungguhan yang tidak pada kebaikan …  atau tidak adanya ketegaran yang disebabkan sikap plin-plan dan tidak bisa mengambil keputusan”.[Majmu’ul Fawaid wantiqoshil Awabid]
BAGI YANG MEMILIKI HALANGAN UNTUK
MENIMBA ILMU LANGSUNG DARI ULAMA
Memang tidak semua orang memiliki kemudahan untuk duduk di depan ulama, apalagi salafiyyun yang berada jauh dari keberadaan ulama. Mereka harus mempersiapkan dana dulu, meninggalkan keluarga yang masih dalam tanggungannya dan alasan-alasan lain yang pantas. Jika seseorang memang jujur untuk memperbaiki dirinya dengan menelusuri ilmu ke sumbernya, maka dalam kondisi seperti ini semestinya seorang pecinta ilmu tetap menjaga keinginan kuatnya untuk menimba ilmu dari mata airnya. Bukankah Alloh maha kuasa untuk mewujudkan segala sesuatu? Apa yang tidak bisa diperbuatnya hari ini, apakah mustahil besok terjadi? Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Salman Rodhiyallohu ‘Anhu? Bukankah Alloh telah mengatakan:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
“Setiap jiwa tidak mengetahui apa yang dikerjakannya esok.” (QS Luqman 34)
Namun bagaimanapun besarnya keinginan kita untuk menggapai kebaikan, tak akan lepas dari kehendak dan pertolongannya-Nya. Karena itulah seringkali didapatkan masalah peribadahan digandengkan dengan permintaan tolong kepada-Nya. Alloh berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Demikian juga Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mewasiatkan Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu untuk tidak meninggalkan dzikir di akhir sholat:
اللَّهُمَّ أَعِنّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِك
“Ya Alloh, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan dalam kebagusan[2] ibadahku kepada-Mu”. (HR. Abu Daud dishohihkan Syaikh Albany Rahimahulloh).
Di tempat lain Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ^ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh akan membukakan baginya jalan keluar, serta membeikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan kebutuhannya.” (QS. Ath-Tholaq: 2-3)
Kemudian, bentuk kesempurnaan tawakkal adalah seorang hamba senantiasa mencari jalan menuju apa yang dia citakan. Karena itulah, merupakan ciri orang yang memiliki keinginan keras untuk menuntut ilmu kepada ulama adalah dengan berusaha mencari jalan-jalannya dan tetap memanfaatkan waktunya dalam menuntut ilmu walau dengan kemampuan yang terbatas, serta ketika datang kesempatan yang lebih mendukung kesempatannya untuk belajar, maka dia akan bersegera. Jika seseorang di kampungnya, tidak ada da’i salafy yang bisa membimbingnya maka mungkin sementara dia bisa memanfaatkan tulisan-tulisan baik dari buku ataupun situs-situs salafy, serta rekaman-rekaman pelajaran. Namun perlu diingat ilmu itu butuh penjatahan waktu. Kalau jatahnya “sambilan”, maka dapatnya juga sambilan, yang seperti ini menunjukkan lemahnya kepedulian seseorang terhadap ilmu walau apapun yang dia koarkan, wallohul Musta’an.
Ketika dapat peluang untuk duduk di majelis seorang pengajar, maka seorang pecinta ilmu pun segera mendatanginya dengan susah payah demi mengambil aqidah-aqidah salaf dan perkara halal-haram yang dibutuhkannya, serta berusaha mempelajari ilmu-ilmu yang akan membuka pemahamannya, seperti nahwu, ilmu hadits dsb. Manfaat yang didapatkan menjadi lebih besar jika seseorang memilki kemampuan memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu penunjang lainnya, karena kitab-kitab ulama serta rekaman pelajaran-pelajaran mereka banyak tersebar. Walaupun tidak persis keutamaannya dengan belajar langsung di depan ulama, namun paling tidak membaca langsung kitab-kitab ulama sunnah, menyimak rekaman pelajaran-pelajaran mereka termasuk bentuk pengambilan ilmu dari sumbernya, wallohu ‘Alam.
Seperti inilah orang yang jujur dengan pengakuannya, memanfaatkan berbagai sarana yang bisa mengantarkannya kepada tujuannya. Juga pada model yang seperti inilah diterapkannya dalil-dalil tentang keutamaan orang yang memiliki ‘azm (keinginan keras) untuk berbuat kebaikan, diantaranya:
مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِه
“Barangsiapa yang meminta mati syahid dengan jujur, maka Alloh menyampaikannya ke kedudukan syuhada walaupun meninggal di atas kasurnya”. (HR Muslim dari Sahl bin Hanif Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dari Anas Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau menyebutkan bahwa dalam suatu peperangan RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلَّا وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ حَبَسَهُمُ العُذْرُ
“Sesungguhnya terdapat kaum-kaum di Madinah berada dibelakang kita. Tidak satupun jalan antara dua bukit ataupun lembah yang kita lalui, kecuali mereka bersama kita. Uzurlah yang menahan mereka.” (HR Al-Bukhory)
Bergembiralah orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi dan usaha keras dalam mencari kebaikan bagi dirinya, baik di depan ulama ataupun tidak. Apakah pantas orang-orang menyangka: Apabila dia duduk bersama ulama, maka dia akan memborong ilmu sebanyak-banyaknya, sementara dia lalai memanfaatkan celah-celah ilmu yang ada disekitarnya? Cerdaskah orang yang melepas burung di tangan karena mengharap burung di langit? Anggap kalau dia ditakdirkan duduk bersama ulama, apakah hal itu menjamin seseorang mendapat faidah? Sebagaimana kita menyaksikan perbedaan santri di ma’had-ma’had, demikian juga dengan orang-orang yang duduk di hadapan ulama. Kenyataan dari zaman dahulu cukup menjadi pelajaran. Ilmu didapatkan bagi siapa yang benar-benar menginginkan bukan sebatas angan-angan.
Latihlah diri dan jagalah niat, semoga Alloh memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan memudahkan jalan-jalannya …
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

[1] Salah satu isi perjanjian Hudaibiyah, bahwasanya kaum muslimin hijroh bersama Rosululloh, dikembalikan kepada keluarga mereka yang ada di Makkah. Diantaranya adalah Abu Jandal Rodhiyallohu ‘Anhu.
[2] Yakni ibadah yang diridhoi, berupa keikhlasan niat dan kesesuaian dengan sunnah

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)