PENTINGNYA
MENYELISIHI
JALAN ORANG-ORANG KAFIR
Diijinkan penyebarannya oleh:
Syaikhuna al-’allamah al-muhaddits
Abu Abdirrohman Yahya bin ‘Ali al-Hajuriy -hafidzohulloh-
Telah dimuroja’ah oleh:
Syaikhuna Abu ‘Amr Abdulkarim bin Ahmad al-Hajuriy -hafidzohulloh-
Ditulis oleh:
Al-faqir ilalloh Abu
Fairuz Abdurrohman bin
Sukaya Alut-Thuriy al-Qudsiy
Al-jawiy al-indonesiy -’afallohu ‘anhu-
Judul asli:
“Jalaul Ghubar Fi Ahammiyati Mukholafati Sabilil Kuffar”
Diterjemahkan oleh:
Abu Sholih Mushlih al-Jawiy al-Indonesiy
Judul terjemah:
“ Pentingnya Menyelisihi Orang-Orang Kafir”
Di darul hadits dammaj -harosahalloh-
MUKADDIMAH
الحمد لله نحمده ونستعينه
ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن
يضلل فلا هادي له
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن
محمدا عبده ورسوله
يا أيها الذين آمنوا
اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
﴿يا
أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا
كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا﴾
﴿
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم
ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما .﴾
أما بعد:
«فإن خير الحديث كلام
الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل
محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار».
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
kalamulloh (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
–shollallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah
yang diada-adakan (dalam agama). Setiap perkara yang diada-adakan itu adalah
bid’ah. Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.”
Alloh –ta’ala- telah memilih agama Islam ini untuk
hamba-hamba-Nya, sehingga tidaklah meridhoi agama apapun bagi hamba-Nya,
kecuali Islam tersebut. Alloh juga mengabarkan bahwa barangsiapa memilih agama
selainnya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi. Alloh telah menjadikan
kemuliaan dan‘izzah bagi orang yang berpegang teguh dengan agama
Islam ini. Dan sebaliknya Dia menjadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang
yang mencari agama selainnya. Alloh juga telah melarang hamba-hamba-Nya kaum
muslimin dari penyerupaan (tasyabbuh) terhadap orang-orang kafir dalam
rangka menjaga kemuliaan dan ‘izzah mereka serta melindungi
dari tertimpanya kerendahan dan kehinaan atas mereka.
Alloh –ta’ala- berfirman:
]ذَلِكَ مِنْ فَضْلِ
الله عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُون[ [يوسف: 38].
“Yang demikian itu adalah dari karunia Alloh
kepada kami dan kepada manusia seluruhnya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mensyukuri-Nya.” (QS. Yusuf: 38)
Kemudian, termasuk
bentuk sedikitnya rasa syukur manusia atas kenikmatan yang besar tersebut
adalah bermudah-mudahannya mereka dalam penyerupaan terhadap orang-orang kafir.
Bahkan mereka menyeru manusia kepada hal itu, baik dengan alasan kemoderenan
atau bahwa hal itu sudah marak tersebar atau dalam rangka mengikuti hawa nafsu.
Maka, sudah merupakan keharusan untuk memperingatkan kaum muslimin
akan pentingnya penyelisihan terhadap orang-orang kafir dan mengingatkan mereka
tentang beberapa hikmah tersembunyi yang terdapat dalam penyelisihan terhadap
kebiasaan ahli neraka. Kami memohon kepada Alloh –‘azza wa jalla- untuk
menjadikan usaha sederhana ini ikhlas untuk mendapatkan wajah-Nya dan sebagai
simpanan amal sholeh bagi penulisnya. Sesungguhnya Dia itu Al-Barr (yang
maha melimpahkan kebaikan) lagi Ar-Rohim (maha penyayang).
Saya sampaikan rasa syukur kepada Syaikhuna Al-Muhaddits
An-Nashihul Amin Abu Abdirrohman Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy -hafidzohulloh-
atas didikan beliau secara umum. Juga atas nasehat dan dorongan beliau bagi
murid-murid beliau untuk membela kaum muslimin dan memerangi orang-orang ahli
batil serta atas idzin beliau untuk penyebaran risalah ini.
Kemudian, saya sampaikan rasa syukur kepada Syaikhuna
Al-Fadhil Abu ‘Amr Abdulkarim Al-’Umariy Al-Hajuriy –ro’ahulloh wa
hafidzohu- atas bantuan beliau dalam koreksi risalah ini bersama dengan
beberapa peringatan beliau yang penting.
Juga saya menyampaikan rasa syukur kepada Syaikhuna
An-Nashih Abu Abdillah Thoriq bin Muhammad Al-Ba’daniy –ro’ahulloh
wa hafidzohu- atas muroja’ah beberapa bab dalam risalah ini dan atas
dorongan beliau untuk meneruskan penulisannya. Hal itu karena adanya
kitab-kitab ulama itu tidaklah menghalangi seorang tholibul ‘ilmi untuk
berpartisipasi dalam menasehati umat.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada saudara Abu Sholeh
Mushlih Al-Jawiy Al-Indonesiy –ro’ahulloh wa hafidzohu- atas bantuannya.
Semoga Alloh –ta’ala- membalas mereka dengan kebaikan
dan menerima amalan mereka semua. Lalu kita menuju ke pembahasan yang dimaksud
–wa billahit-taufiq-:
BAB PERTAMA
WAJIBNYA KETEGARAN DI ATAS JALAN YANG LURUS
Alloh –ta’ala- telah mengabarkan tentang pentingnya
ketegaran di atas jalan-Nya yang lurus dengan firman-Nya:
}فَمَنْ يُرِدِ الله
أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ
يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
كَذَلِكَ يَجْعَلُ الله الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ * وَهَذَا
صِرَاطُ رَبِّكَ مُسْتَقِيمًا قَدْ فَصَّلْنَا الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ{ [الأنعام/125، 126]
“Siapa yang Alloh menghendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam
dan siapa yang dikehendaki Alloh kesesatannya lantaran keingkarannya dan tidak
mau memahami petunjuk-petunjuk Alloh, niscaya Alloh menjadikan dadanya sesak
lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Alloh menimpakan
siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Inilah jalan Robb-mu yang lurus.
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat Kami kepada orang-orang yang
mengambil pelajaran.” (QS. Al-An’am: 125-126)
Alloh –ta’ala- berfirman:
}فَاسْتَمْسِكْ
بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ . وَإِنَّهُ
لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ {[الزخرف/43، 44]
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang
telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.
Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan
bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab.” (QS. Az-Zukhruf:
43-44)
Alloh –‘azza wa jalla- berfirman:
}وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ{ [الأنعام/153]
“Bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am:
153)
Alloh –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
}فَلِذَلِكَ فَادْعُ
وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آَمَنْتُ بِمَا
أَنْزَلَ الله مِنْ كِتَابٍ{ [الشورى/15]
“Maka karena itu, serulah mereka kepada agama
ini dan tetaplah dalam agama itu dan lanjutkanlah berdakwah, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Alloh…” (QS.
Asy-Syuro: 15)
Maka manusia sangatlah
membutuhkan hidayah kepada jalan yang lurus. Alloh telah mewajibkan atas
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memohon hidayah tersebut pada setiap rokaat
sholat lima waktu.
Imam Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata: “Firman
Alloh –ta’ala-: «اهدنا الصراط
المستقيم»mengandung
keterangan bahwasanya seorang hamba itu tidaklah mempunyai jalan lain untuk
meraih kebahagiaannya, kecuali dengan istiqomah di atas jalan yang lurus dan
tidak ada jalan lain untuk istiqomah di atas jalan tersebut, kecuali dengan
hidayah-Nya semata. Adapun firman Alloh –subhanahu wa ta’ala-: «غير المغضوب عليهم ولا الضالين» mengandung penjelasan dua golongan yang menyimpang
dari jalan yang lurus dan menjelaskan bahwasanya penyimpangan kepada salah satu
dari dua golongan tersebut merupakan penyimpangan menuju kesesatan yang itu
merupakan kerusakan ilmu dan keyakinan (aqidah). Adapun penyimpangan kepada
golongan kedua merupakan jalan menuju kemurkaan yang disebabkan oleh kerusakan
amal dan tujuan.” (Al-Fawaid, hal. 40, cet. Maktabah Darul Bayan)
Oleh karena tujuan mulia inilah, maka Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah –rohimahulloh- menulis sebuah kitab yang masyhur dan tiada
bandingannya –dalam babnya-: “Iqtidho’ Ash-Shirothil Mustaqim”. Beliau
mengatakan di dalamnya: “Tujuan –kitab ini- hanyalah untuk menerangkan betapa
butuhnya seorang hamba itu kepada hidayah tentang jalan yang lurus dan membuka
pintu untuk mengetahui jalan-jalan penyimpangan.” (Al-Iqtidho’: 1/92,
cet. Maktabah Ar-Rusyd)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Sesungguhnya jalan
yang lurus itu mencakup perkara-perkara batin yang terdapat dalam hati, baik
berupa keyakinan, kehendak dan sebagainya. Demikian pula mencakup
perkara-perkara dzohir (yang nampak), baik berupa perkataan
atau perbuatan. Hal itu terkadang berupa perkara peribadatan dan terkadang
berupa perkara adat-istiadat, baik dalam berpakaian, makanan, pernikahan,
tempat tinggal, persatuan, perpecahan, safar, bermukim, kendaraan dan lain
sebagainya.” (Iqtidho’ Ash-Shirothil Mustaqim: 1/92)
Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata: “Siapa yang diberi
petunjuk (hidayah) di dunia ini kepada jalan yang lurus yang karenanya
diutuslah para Rosul dan diturunkanlah kitab-kitab suci, niscaya ia akan
diberikan petunjuk kepada jalan yang lurus kelak, mengantarkannya kepada jannah (surga)
dan negeri pembalasan amalan. Semakin kokoh kaki seorang hamba di atas jalan
yang lurus ini yang telah dibentangkan oleh Alloh untuk hamba-hamba-Nya di
dunia, maka demikian juga kekokohannya di atas jalan yang terbentang di atas
punggung Jahannam. Seberapa panjang kadar perjalanannya di atas jalan ini, maka
akan mempengaruhi perjalanannya kelak di atas jalan itu (di akherat kelak).
Sebagian mereka ada yang melewatinya dengan secepat kilat, sebagian yang lain
melewatinya dengan sekejap mata, sebagian lainnya secepat angin, sebagian
lainnya seperti mengendarai kendaraan, sebagian mereka berlari dan yang lainnya
berjalan. Di antara mereka ada yang merangkak. Sebagian mereka ada yang selamat
dalam keadaan terkoyak-koyak dan sebagian yang lain terbanting ke neraka. Maka
hendaknya seorang hamba itu melihat perjalanan hidupnya di atas jalan ini (di
dunia) sama persis dengan jalan akherat itu sebagai balasan yang setimpal.
}هل تجزون إلا ما كنتم
تعملون{
“Tiadalah kalian dibalasi, melainkan setimpal
dengan apa yang dahulu kalian kerjakan.” (QS. An-Naml: 90)
Hendaknya pula seseorang itu melihat kepada syubuhat dan syahawat
yang memalingkannya dari perjalanan di atas jalan yang lurus ini. Sesungguhnya
itu merupakan cakar-cakar besi yang berada di tepi-tepi shiroth (di
akherat) yang menyambar dan merintangi seseorang yang melewatinya. Jika
syubhat-syubhat dan syahawat itu banyak terjadi dan menguat di
dunia ini, maka di sana demikian juga keadaannya.
}وما ربّك بظلّام للعبيد{
“Sekali-kali tidaklah Robb-mu itu menganiaya hamba-hamba-Nya.”
(QS. Fushilat: 46).”
(Madarijus Salikin; Al-Matholibul ‘Aliyah Allati
Isytamalat ‘Alaiha Shurotul Fatihah: 1/15, cet. Darul Hadits)
BAB KEDUA
PENTINGNYA MENYELISIHI JALAN ORANG-ORANG KAFIR
Sesungguhnya dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan akan besarnya perkara
menyelisihi jalannya orang-orang kafir. Di antara pentingnya penyelisihan
tersebut –terkandung di dalamnya bahaya penyerupaan terhadap mereka- adalah
sebagai berikut:
1. Terhindar dari
mengikuti hawa nafsu mereka.
Alloh –ta’ala- berfirman:
} ثُمَّ
جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ * إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ الله
شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالله وَلِيُّ
الْمُتَّقِين{ [الجاثية/18، 19]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya
mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak darimu sedikitpun dari siksaan
Alloh. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lain dan Alloh adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Jatsiyah: 18-19)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Termasuk
orang-orang yang tidak mengetahui adalah semua orang yang menyelisihi syariat
Alloh. Yang dimaksud dengan hawa-hawa nafsu mereka adalah apa yang mereka
cenderungi atau sukai dan apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin berupa
amalan dzohir(nampak) yang termasuk ajaran agama mereka yang batil
dan yang mengikutinya. Maka penyerupaan terhadap mereka berarti mengikuti apa
yang mereka cenderungi…” (Al-Iqtidho’: 1/98, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
2. Membangkitkan kemarahan dan kejengkelan orang-orang
kafir.
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Orang-orang kafir
itu merasa gembira dengan penyerupaan atau penyesuaian kaum muslimin pada
beberapa perkara mereka dan mereka merasa senang dengannya.” (Al-Iqtidho’:
1/98, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
Saya katakan –waffaqoniyalloh-: jika orang-orang kafir
merasa gembira dengan penyesuaian kaum muslimin terhadap mereka, maka
penyelisihan terhadap mereka merupakan pembangkit kejengkelan atau kemarahan
mereka.
Imam Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata: “Maka bentuk
‘ubudiyah (penghambaan)-nya dalam hal itu adalah ‘ubudiyah orang-orang
khusus yang dinamakan dengan ‘ubudiyah muroghomah. Tidak
memperhatikan hal itu melainkan orang-orang yang dikaruniai bashiroh (ketajaman
pandangan) yang sempurna. Tiada sesuatu pun yang lebih dicintai oleh Alloh
daripada muroghomah (yaitu upaya untuk membangkitkan kemarahan
dan kejengkelan musuh, baik berupa ucapan maupun perbuatan) yang dilakukan oleh
wali-Nya terhadap musuh-Nya dan membangkitkan kebencian dan kemarahan musuh itu
demi Alloh. Alloh –subhanahu- telah mengisyaratkan tentang bentuk ‘ubudiyah ini
di beberapa tempat dalam Kitab-Nya. Pertama, dalam firman-Nya:
}ومن يهاجر في سبيل الله
يجد في الأرض مراغماً كثيراً وسعة{
“Barangsiapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya
mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas (yaitu untuk
melepaskan diri dari cengkeraman kuffar, sekaligus membuat mereka marah dan
geram) dan rezki yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 100)
Pada ayat ini, Alloh menamakan seorang yang berhijrah menuju
ibadah kepada Alloh sebagaimuroghiman (orang yang melakukan muroghomah)
yang dengan adanya hijrah tersebut menimbulkan kemarahan musuh Alloh dan
dirinya. Alloh mencintai dari diri wali-Nya upayanya untuk membangkitkan
kegeraman dan kemarahan musuh-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya –ta’ala-:
}ذلك بأنهم لا يصيبهم
ظمأ ولا نصب ولا مخمصة في سبيل الله ولا يطئون موطئا يغيظ الكفار ولا ينالون من
عدو نيلا إلا كتب لهم به عمل صالح إن الله لا يضيع أجر المحسنين{
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak
ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Alloh dan tidak pula
menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak
menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka
dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Alloh tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)
Alloh –ta’ala- berfirman memisalkan Rosululloh dan pengikut
beliau:
}ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي
التَّوْرَاةِ ومثلهم في الإنجيل كزرع أخرج شطأه فآزره فاستغلظ فاستوى على سوقه
يعجب الزراع ليغيظ بهم الكفار{
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurot dan
sifat-sifat mereka dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya, karena Alloh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
dengan kekuatan orang-orang mukmin.” (QS. Al-Fath: 29)
Maka upaya membangkitkan amarah dan kejengkelan orang-orang kafir
itu merupakan tujuan yang disukai oleh Robb kita dan sesuatu yang dituntut
oleh-Nya. Pengamalan hal itu termasuk kesempurnaan‘ubudiyah (penghambaan
kepada Alloh –ta’ala-). Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam-
telah menuntunkan bagi orang yang melakukan sholat, ketika lupa dalam sholatnya
hendaknya dia melakukan dua sujud sahwi, kemudian beliau bersabda:
«إن كانت صلاته تامة كانتا
ترغمان أنف الشيطان»([1]) وفي رواية: «ترغيماً
للشيطان»([2])
“Jika sholatnya telah sempurna, maka dua sujud
itu untuk membuat setan marah dan jengkel.”
Dalam riwayat lain: “Sebagai pembangkit kemarahan
setan.” Maka Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam-
menamakan keduanya sebagai pembangkit kemarahan.([3])
Maka siapa yang beribadah kepada Alloh dengan membangkitkan
kemarahan musuh-Nya, maka ia telah meraih sifat shiddiqiyyah dengan
bagian yang banyak. Sebesar apa kecintaan seorang hamba dan keloyalannya kepada
Robb-nya serta rasa permusuhannya terhadap musuh-Nya, maka sebesar itu pula
bagiannya dari amalan muroghimah tersebut. Oleh karena
amalan muroghimah inilah, maka sikap sombong dan congkak di
hadapan barisan musuh ketika dua pasukan berhadapan itu merupakan sikap yang
terpuji. Demikian juga ketika bersedekah secara sembunyi-sembunyi, karena tidak
ada yang melihatnya melainkan Alloh semata. Itu semua dalam rangka
membangkitkan kemarahan musuh dan mengerahkan kemampuannya baik jiwa maupun
harta untuk Alloh –‘azza wa jalla-. Ini adalah sebuah pintu ‘ubudiyah
yang tidak diketahui melainkan oleh sedikit manusia. Siapa yang merasakan
kelezatan amalan ini, niscaya ia akan menangis menyesali hari-harinya yang
telah berlalu sebelumnya. Allohlah yang dimintai pertolongan dan tawakkal. Tiada
daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Alloh semata.” (Madarijus
Salikin: 1/316-317, bab Manzilatut-taubah, cet. Maktabah
Ar-Rusyd)
3. Kalaulah sekiranya perbuatan itu bukan termasuk mengikuti
hawa-hawa nafsu mereka orang-orang kafir, maka tidak diragukan lagi
bahwa menyelisihi mereka dalam hal itu lebih efektif untuk menutup
pintu penyerupaan terhadap mereka dan lebih membantu untuk meninggalkannya
dalam rangka meraih keridhoan Alloh. (lihat: Al-Iqtidho’: 1/98)
4. Bahwasanya penyesuaian terhadap mereka
dalam hal itu dapat menghantarkan kepada penyesuaian pada selainnya. Sesungguhnya orang yang mendekat di
sekitar tanah larangan, akan mudah untuk masuk ke dalamnya. (lihat Al-Iqtidho’:
1/98, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
5. Penyesuaian terhadap orang kafir
menyebabkan hilangnya loyalitas kepada Alloh dan perlindungan-Nya terhadap si
pelaku hal itu. Alloh berfirman:
}وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ الله مِنْ وَلِيٍّ
وَلَا وَاق{
“Seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka
setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan
pemelihara bagimu terhadap siksa Alloh.” (QS. Ar-Ro’d: 37)
(lihat Al-Iqtidho’: 1/99, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
Penyesuaian terhadap mereka menyebabkan
kesesatan, berdasarkan firman
Alloh –ta’ala-:
}وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ
الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى الله
هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ الله مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِير{
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
“Sesungguhnya petunjuk Alloh itulah petunjuk yang benar.” Sesungguhnya jika
kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Alloh
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 120)
Dalam ayat ini terdapat
dalil bahwa agama Yahudi dan Nasrani tidaklah di atas hidayah (petunjuk yang
benar). Siapa yang mengikuti mereka, maka sungguh dia telah menyimpang dari
petunjuk yang benar dan terjatuh ke dalam kesesatan.
7. Penyesuaian terhadap mereka menyebabkan
tidak adanya pertolongan Alloh terhadap si pelakunya, sebagaimana dalam ayat:
} وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ الله مِنْ
وَلِيٍّ وَلَا نَصِير{ الآية.
“Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Alloh tidak lagi menjadi pelindung
dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 120
8. Penyesuaian terhadap mereka termasuk
bentuk kedzoliman. Firman Alloh –ta’ala-:
}وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ
الظَّالِمِينَ{
“Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk
golongan orang-orang yang dzolim.” (QS. Al-Baqoroh: 145)
9. Penyelisihan terhadap mereka merupakan
senjata kaum mukminin untuk mematahkan hujjah ahli kitab
terhadap mereka. Alloh –ta’ala-
berfirman:
}وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّة{ الآية
“Darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Harom dan dimana saja kamu sekalian berada, maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 150)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Lebih dari seorang salaf
berkata: “Maknanya adalah supaya orang-orang Yahudi itu tidak mampu berhujjah
atas kalian dengan adanya kesesuaian dalam arah kiblat, sehingga mereka
mengatakan: “Mereka telah menyesuaikan diri dengan kiblat kita. Maka sebentar
lagi mereka akan menyesuaikan diri dengan agama kita.” Maka Alloh
mematahkan hujjah mereka dengan penyelisihan kaum muslimin
dalam perkara kiblat. Yang dimaksud hujjah di sini adalah
segala sesuatu yang dijadikan alasan (argumentasi), baik itu perkara yang benar
(haq) ataupun batil (salah).” (lihat Al-Iqtidho’: 1/99, cet.
Maktabah Ar-Rusyd)
Beliau –rohimahulloh- juga berkata: “Maka Alloh telah
menerangkan bahwa termasuk hikmah dirubahnya arah kiblat adalah penyelisihan
terhadap orang-orang kafir dalam perkara kiblat mereka. Hal itu lebih kuat
untuk mematahkan ambisi mereka yang batil tersebut. Telah dimaklumi bahwa makna
ini telah ada pada setiap perkara penyelisihan dan penyesuaian. Sesungguhnya
orang kafir itu jika diikuti suatu perkaranya, maka ia akan mempunyai hujjah seperti
atau menyerupai hujjah orang Yahudi dalam masalah kiblat
tersebut.” (lihat Al-Iqtidho’: 1/100-101, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
10. Jauhnya dia dari penyerupaan terhadap
orang kafir merupakan kemaslahatan itu sendiri. Syaikhul Islam –rohimahulloh-
berkata: “Semakin jauh seseorang itu dari penyerupaan terhadap mereka dalam
perkara yang tidak disyariatkan bagi kita, maka semakin jauh pula dari terjatuh
ke dalam bentuk penyerupaan pada sesuatu yang dilarang. Ini merupakan
kemaslahatan yang besar.” (Al-Iqtidho’: 1/101, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
11. Siapa yang menyesuaikan diri dengan
orang-orang kafir terancam dengan adzab, sebagaimana firman Alloh –ta’ala-:
}وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ{
“Siapa yang menentang Rosul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. An-Nisa’: 115)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Apa yang mereka jalankan,
baik berupa petunjuk hidup ataupun amalan, maka itu merupakan jalan selain kaum
mukminin, tetapi jalan kaum mufsidin (perusak) yang tidak berilmu.” (Al-Iqtidho’:
1/102, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
12. Penyerupaan terhadap mereka orang-orang
yang binasa itu penyebab kebinasaan pula. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir –rodhiyallohu ‘anhu- bahwa
suatu hari Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- keluar dan melakukan
sholat mayit di pekuburan ahli Uhud mendo’akan mereka. Kemudian beliau menuju
mimbar dan bersabda:
«إني فرط لكم، وأنا شهيد
عليكم، وإني والله لأنظر إلى حوضي الآن، وإني أعطيت مفاتيح خزائن الأرض -أو مفاتيح
الأرض- وإني والله ما أخاف عليكم أن تشركوا بعدي، ولكن أخاف عليكم أن تتنافسوا
فيها» وفي رواية: «ولكني أخشى عليكم الدنيا أن تنافسوا فيها وتقتتلوا ، فتهلكوا
كما هلك من كان قبلكم»
“Aku menunggu kalian dan sebagai saksi atas
kalian. Sesungguhnya aku –demi Alloh- melihat kepada telagaku sekarang ini.
Sesungguhnya aku diberi kunci-kunci kekayaan dunia. Sesungguhnya –demi Alloh-
aku tidak takut bahwa kalian akan berbuat kesyirikan setelahku, tetapi aku
takut atas kalian bahwa kalian akan berlomba-lomba mendapatkan dunia itu.”
Dalam riwayat lain: “Tetapi aku takut atas kalian akan
dunia. Kalian akan berlomba-lomba dan bertarung karenanya, sehingga kalian akan
binasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah binasa.” (HR.
Bukhori, no. 6590 dan Muslim, no. 2296 dan ini lafadz Muslim)
Dalam hadits ‘Amr bin ‘Auf terdapat kisah harta Bahrain, yang
Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda di dalamnya:
«أبشروا وأملوا ما
يسركم، فوالله ما الفقر أخشى عليكم، ولكن أخشى عليكم أن تبسط الدنيا عليكم، كما
بسطت على من كان قبلكم، فتنافسوها، كما تنافسوها، فتهلككم كما أهلكتهم»
“Bergembiralah kalian dan berharaplah dengan apa
yang menyenangkan kalian. Demi Alloh, aku tidak khawatir bahwa kalian akan
tertimpa kefakiran, tetapi aku khawatir akan dibukakannya dunia itu bagi
kalian, sebgaimana telah dibukakan pada orang-orang sebelum kalian, sehingga
kalian saling berlomba untuk mendapatkannya sebagaimana yang mereka lakukan dan
dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan orang-orang
sebelum kalian.” (HR. Bukhori, no. 6425 dan Muslim, no. 2961)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wa sallam- telah mengabarkan bahwa beliau tidak khawatir akan
fitnah kefakiran. Akan tetapi beliau takut akan terbukanya dunia dan perlombaan
serta rakus untuk mendapatkannya. Inilah bentuk meraih kenikmatan dengan bagian
yang tersebut dalam ayat([4]).” (Al-Iqtidho’: 1/127, cet. Maktabah
Ar-Rusyd)
13. Penyerupaan terhadap mereka menyebabkan
munculnya celaan dari Alloh dan Rosul-Nya. Dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله
عنه :
عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: «لتتبعن سنن من كان قبلكم، شبرا شبرا وذراعا بذراع، حتى لو
دخلوا جحر ضب تبعتموهم»، قلنا: يا رسول
الله، اليهود والنصارى؟ قال: «فمن؟».
(أخرجه البخاري (7320) ومسلم (2669)).
Dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Pasti kalian
akan mengikuti orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta
demi sehasta, sampai jika mereka memasuki lubang biawak kalian pasti akan
mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rosululloh, yahudi dan
Nashoro?” Beliau bersabda: “Siapa lagi?” (HR. Al Bukhoriy (7320)
dan Muslim (2669)).
Dan dari Abu Huroiroh رضي الله عنه
:
عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: «لا تقوم الساعة حتى تأخذ أمتي بأخذ القرون قبلها، شبرا بشبر
وذراعا بذراع» ، فقيل: يا رسول
الله، كفارس والروم؟ فقال: «ومن الناس إلا أولئك». (أخرجه البخاري (7319)).
Dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Tidaklah akan
datang hari Kiamat sampai umatku mengambil apa yang diambil oleh generasi
sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.” Kami
berkata: “Wahai Rosululloh, seperti Persia dan Romawi?” Beliau bersabda: “Siapa
manusia selain mereka?” (HR. Al Bukhoriy (7319)).
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Maka telah diketahui bahwa
penyerupaan terhadap Yahudi dan Nasrani, Persia dan Romawi merupakan perkara
yang dicela oleh Alloh –ta’ala- dan Rosul-Nya –shollallohu ‘alaihi wa
sallam-.” (Al-Iqtidho’: 1/170, Maktabah Ar-Rusyd)
14. Penyerupaan terhadap orang-orang kafir
merupakan realisasi dari angan-angan jelek mereka terhadap kaum muslimin.
Setelah menyebutkan tafsir firman Alloh: ﴿لا تقولوا راعنا﴾ (QS. Al-Baqoroh:
104), maka Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Ini semua
menerangkan bahwa kalimat ini terlarang untuk diucapkan oleh kaum muslimin,
karena Yahudi dahulu mengatakannya –meskipun hal itu buruk pada Yahudi dan
tidak demikian pada kaum muslimin-. Hal itu karena ada unsur penyerupaan
terhadap orang-orang kafir dan membuka jalan untuk mencapai tujuan mereka.” (Al-Iqtidho’:
1/175, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
15. Penyerupaan kaum muslimin terhadap
orang-orang kafir merupakan sebab penyelisihan kaum muslimin sendiri terhadap petunjuk
Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Dalam tafsir firman Alloh –ta’ala-:
}إِنَّ الَّذِينَ
فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا
أَمْرُهُمْ إِلَى الله ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ {
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah
agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah
kepada Alloh. Kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 159)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Perkataan seseorang: “Aku sama
sekali tidak demikian. Aku tidak ikut-ikutan sama sekali terhadapnya. Bahkan
aku berlepas diri dari seluruh urusannya.” Jika Alloh telah membersihkan
Rosul-Nya –shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari segala urusan mereka,
maka barangsiapa mengikuti (ittiba’) Rosul secara hakiki, maka ia akan
berlepas diri sebagaimana Rosululloh berlepas diri. Barangsiapa sesuai dengan
mereka (orang-orang kafir), maka dia telah menyelisihi Rosul sebesar
penyesuaiannya terhadap mereka. Sesungguhnya dua orang yang berbeda dari segala
sisi dalam agamanya, maka setiap terjadi keserupaan terhadap salah satu agama
itu, maka akan terjadi penyelisihan terhadap agama yang lain.” (Al-Iqtidho’:
1/176-177, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
16. Penyerupaan kaum muslimin terhadap
orang-orang kafir merupakan sebab keluarnya mereka dari lingkaran kabar gembira
Alloh akan kemenangan yang akan diperoleh. Hal itu karena penyerupaan adalah sebab penting terwujudnya
loyalitas dan kecintaan terhadap mereka dan itu bukanlah ciri golongan Alloh
yang telah dijanjikan oleh-Nya berupa kemenangan. Alloh –ta’ala-
berfirman:
}إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
الله وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ * وَمَنْ يَتَوَلَّ الله وَرَسُولَهُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ الله هُمُ الْغَالِبُونَ {
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Alloh,
Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk kepada Alloh. Siapa mengambil Alloh, Rosul-Nya dan
orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya golongan Alloh
itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah: 55-56)
Dalil-dalil seperti ini banyak terdapat dalam Al-Quran. Syaikhul
Islam –rohimahulloh- berkata: “Alloh –subhanahu- memerintahkan untuk
berloyalitas terhadap kaum mukminin dengan sebenarnya –yang mereka itu adalah
golongan dan tentara Alloh- dan mengabarkan bahwa mereka itu tidak berloyal
kepada orang-orang kafir dan mencintai mereka. Loyalitas dan kecintaan itu
meskipun terkait dengan hati, tetapi penyelisihan secara dzohir (nampak)
lebih membantu (efektif) untuk memutuskan hubungan dan berlepas diri dengan
orang-orang kafir.” (Al-Iqtidho’: 1/183, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
17. Di sisi lain bahwa penyelisihan
terhadap orang-orang kafir termasuk upaya mengalahkan mereka. Dari Abu Huroiroh –rodhiyallohu ‘anhu-
bahwa Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«لا يزال الدين ظاهراً
ما عجّل الناس الفطر؛ لأن اليهود والنصارى يؤخرون»([5]).
“Agama ini senantiasa menang selama manusia
menyegerakan buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani
mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud,
no. 2353; hadits hasan)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Ini adalah dalil bahwa
kemenangan agama itu terwujud dengan penyegeraan berbuka puasa guna menyelisihi
Yahudi dan Nasrani. Jika penyelisihan terhadap mereka merupakan sebab kemenangan
agama ini dan maksud dari pengutusan para Rosul itu adalah untuk memenangkan
agama Alloh atas agama lainnya, maka bentuk penyelisihan itu sendiri
merupakan salah satu tujuan terbesar diutusnya para Rosul tersebut.” (Al-Iqtidho’:
1/209, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
18. Penyelisihan terhadap orang-orang kafir
merupakan sebab untuk meraih kebaikan dan keselamatan kaum mukminin serta untuk
memperoleh kemanfaatan bagi mereka.Hal ini karena pada penyelisihan terhadap para penghuni neraka
Jahim tersebut membantu mereka untuk memisahkan diri dari orang-orang
berpenyakit dan menjauhi mereka. Itu merupakan salah satu sebab terbesar untuk
selamat dari penyakit yang lebih berbahaya daripada penyakit-penyakit fisik
tersebut.” (Al-Iqtidho’: 1/197-198, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
19. Penyelisihan terhadap orang-orang kafir
merupakan sebab kesempurnaan kaum mukminin. Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Tidaklah
terdapat pada perkara-perkara mereka itu melainkan sesuatu yang membahayakan
atau mengandung kekurangan. Hal itu karena ulah tangan-tangan mereka berupa
amalan-amalan kebid’ahan, tidak berlalu lagi (mansukh) dan sebagainya.
Sama sekali tidak mungkin tergambar bahwa sesuatu dari amalan mereka tersebut
mengandung kesempurnaan. Sehingga, penyelisihan terhadap mereka pada seluruh
perkara itu adalah manfaat dan kebaikan bagi kita sampai-sampai pada
perkara-perkara dunia yang mereka tekuni, bisa jadi hal itu membahayakan sisi
akherat atau sisi dunia yang lebih penting. Penyelisihan terhadap itu semua
merupakan kemanfaatan bagi kita.” (Al-Iqtidho’: 1/198, cet. Maktabah
Ar-Rusyd)
20. Perhatian penting: Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Secara
garis besar, kekafiran itu bagaikan penyakit hati, bahkan lebih parah lagi. Kapan
hati tersebut sakit, maka tidak satu anggota badan pun dinyatakan sehat secara
mutlak. Kebaikan itu hanyalah dengan tidak adanya penyakit hati pada segala
urusannya, meskipun penyakit itu tersamar bagimu. Akan tetapi cukuplah bahwa
kerusakan yang terjadi pada inti sesuatu pasti akan mempengaruhi cabangnya.
Siapa yang memperhatikan hal ini, maka ia telah mengetahui sebagian hikmah yang
diturunkan oleh Alloh.” Sampai pada ucapan beliau: “Pada hakekatnya, seluruh
amalan dan urusan orang-orang kafir itu pasti ada kekurangannya yang hal itu
menghalangi mereka untuk mendapatkan kemanfaatan yang sempurna.” (Al-Iqtidho’:
1/198-199, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
21. Penyelisihan terhadap orang-orang kafir
merupakan sebab keselamatan dari murka Alloh –‘azza wa jalla-. Dari Ibnu ‘Abbas –rodhiyallohu ‘anhuma-
bahwasanya Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«أبغض الناس إلى الله
ثلاثة: ملحد في الحرم، ومبتغ في الإسلام سنة جاهلية، ومطلب دم امرئ بغير حق ليريق
دمه».
“Tiga jenis manusia yang paling dibenci oleh
Alloh: mulhid (pembuat penyelewengan syariat) di tanah harom, orang yang
mencari sunnah jahiliyyah dalam berislam, orang yang menuntut darah seseorang
untuk ditumpahkan tanpa haq.” (HR. Bukhori, no. 6882,
bab Man Tholaba Dam Imriin, cet. Darul Kitab Al-Arobi)
Syaikhul Islam -rohimahulloh- berkata: “Setiap yang menginginkan dalam Islam
untuk melakukan sesuatu dari sunnah jahiliyah, maka dia telah masuk dalam
hadits ini. Yang dimaksud sunnah jahiliyah adalah setiap adat-istiadat yang
mereka lestarikan. Sunnah itu adat, yaitu jalan atau metode kehidupan yang
terulang-ulang, dilakukan oleh segolongan manusia yang mereka anggap sebagai
bentuk peribadatan ataupun tidak. Alloh –ta’ala- berfirman:
}قَدْ خَلَتْ مِنْ
قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ{
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kalian
sunnah-sunnah, karena itu berjalanlah kalian di muka bumi.” (QS. Ali-Imron:
137)
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«لتتبعن سنن من كان
قبلكم»([6])
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah
orang-orang sebelum kalian.”
Yang dimaksud dengan ittiba’ itu adalah pengikutan jejak dan
pengambilan metode. Jadi siapa yang melakukan sesuatu dari sunnah-sunnah
mereka, maka dia telah melakukan ittiba’ terhadap sunnah jahiliyah. Ini adalah
dalil umum yang melazimkan keharaman mengikuti segala sesuatu dari sunnah
jahiliyah, baik dalam perayaan-perayaan mereka ataupun selainnya.” (Al-Iqtidho’:
1/254, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
Bukanlah yang dimaksud dengan jahiliyah itu adalah sekedar
perbuatan-perbuatan orang Arab sebelum diutusnya Nabi, tetapi sebagaimana
perkataan Syaikhul Islam –rohimahulloh-: “Demikian juga
segala apa yang menyelisihi apa yang para Rosul datang dengannya, baik hal itu
dari Yahudi dan Nasrani. Semuanya itu adalah perkara jahiliyah.” (Al-Iqtidho’:
1/258, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
Beliau –rohimahulloh- juga berkata: “Sabda Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wa sallam- dalam hadits (tersebut di atas):
«ومبتغ في الإسلام سنة
جاهلية»
“…orang yang mencari sunnah jahiliyyah dalam
agama islam…”
Termasuk dalam hal ini adalah seluruh perkara jahiliyah secara
mutlak atau terkait dengan Yahudi, Nasrani, Majusi, Sho’ibah, penyembah berhala
atau campuran dari itu semua atau sebagiannya. Demikian juga pecahan dari
sekte-sekte jahiliyah tersebut. Maka sesungguhnya semuanya itu, baik perkara
yang diada-adakan (bid’ah) atau yang telah dihapus hukumnya (mansukh),
adalah termasuk perkara jahiliyah setelah diutusnya Rosululloh Muhammad –shollallohu
‘alaihi wa sallam-. Meskipun istilahjahiliyyah itu tidaklah
dipakai kecuali ketika masa bangsa Arab ketika itu, akan tetapi maknanya adalah
satu.” (Al-Iqtidho’: 1/259-260)
22. Penyelisihan kita terhadap para
penghuni neraka Jahim tersebut lebih selamat daripada diikut-sertakan bersama
mereka dari sisi hukum. Dari
Ibnu Umar –rodhiyallohu ‘anhuma-, beliau berkata: “Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wa sallam- bersabda:
«ومن تشبه بقوم فهو منهم»([7])
“Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 4026, hadits shohih)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Sanadnya jayyid.
Kemudian beliau berkata: “Hadits ini paling sedikit menunjukkan keharaman
menyerupai mereka meskipun dzohirnya menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai
mereka, sebagaimana firman Alloh:
]وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ[
"Siapa di antara kalian berloyalitas dengan
mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (QS.
Al-Maidah: 51)
…sampai pada ucapan beliau: "Kemungkinan bahwa orang itu
dianggap sebagai golongan mereka tersebut pada sisi kesamaan yang terjadi dalam
penyerupaan terhadap mereka. Jika hal itu berupa kekafiran, maksiat atau
penampilan, maka hukumnya mengikuti hal tersebut. Semuanya itu menunjukkan
keharaman penyerupaan terhadap mereka." (Al-Iqtidho': 1/270-271,
cet. Maktabah Ar-Rusyd)
Beliau –rohimahulloh- juga berkata: "Telah diketahui
bahwa penyerupaan terhadap sesuatu itu mengharuskan adanya kesamaan hukum
dengan yang diserupai sesuai dengan besarnya kadar penyerupaan." (Majmu'
Fatawa: 22/259)
23. Penyelisihan terhadap para penghuni
neraka Jahim itu lebih baik daripada kebinasaan. Dari Ibnu 'Abbas –rodhiyallohu 'anhuma-,
beliau berkata: "Rosululloh –shollallohu 'alaihi wa sallam-
bersabda pada siang hari melempar jumroh 'Aqobah di atas onta beliau:
«القط لي حصى»
"Ambilkan aku kerikil." Maka kuambilkan beliau tujuh biji kerikil
kecil untuk dilemparkan. Kemudian beliau meletakkannya pada telapak tangannya
sembari bersabda:
«أمثال هؤلاء فارموا»،
ثم قال: «أيها الناس إياكم والغلو في
الدين فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين»([8]).
“Kerikil seperti inilah yang hendaknya kalian
lemparkan.” Kemudian beliau
bersabda: “Wahai manusia, janganlah kalian bersikap ghuluw
(melampaui batas) dalam agama ini. Sesungguhnya yang telah membinasakan
orang-orang sebelum kalian hanyalah sikap ghuluw dalam beragama.” (HR.
Ibnu Majah, no. 3029, hadits shohih)
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Hal tersebut menunjukkan bahwa
menjauhi dan memisahkan diri jalan hidup mereka secara mutlak menjadikan lebih
jauh lagi untuk terjatuh ke dalam apa yang membuat mereka binasa. Sebaliknya
berpartisipasi bersama mereka, meskipun dalam beberapa metode kehidupan mereka,
dikhawatirkan akan menjadikan dirinya binasa.” (Al-Iqtidho’: 1/329, cet.
Maktabah Ar-Rusyd)
24. Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Telah jelas bagimu bahwa di antara inti penyebab
hilangnya agama dan syariat Alloh serta munculnya kekafiran dan kemaksiatan
adalah tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang kafir,
sebagaimana inti segala kebaikan adalah dengan melestarikan sunnah-sunnah para
Nabi dan syariat mereka. Karena tujuan itulah (yaitu hilangnya agama dan
syariat Alloh) besarnya kemunculan kebid’ahan dalam agama, meskipun tidak
dengan penyerupaan terhadap orang-orang kafir. Bagaimana lagi kalau terkumpul
keduanya (yaitu bid’ah dan tasyabbuh)?” (Al-Iqtidho’:
1/198, cet. Maktabah Ar-Rusyd)
25. Di antara yang menambah pentingnya menyelisihi kekhususan
orang-orang yang mempunyai kekurangan, baik dari Arab Badui, non Arab, ahli
kitab dan sebagainya dari hewan-hewan adalah ucapan Syaikhul Islam
–rohimahulloh-: “Yang menunjukkan hal itu adalah (sisi keempat): sabda
Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam Ash-Shohih (Bukhori
dan Muslim):
«العائد في هبته كالعائد
في قيئه ليس لنا مثل السوء»([9])
“Orang yang kembali mengambil hibahnya seperti
hewan (anjing) yang kembali memakan muntahannya. Tidaklah pantas bagi kita
permisalan yang buruk itu.”
Oleh karena itu, diceritakan bahwa Imam Asy-Syafi’iy dan Ahmad
berdiskusi tentang masalah ini. Imam Asy-Syafi’iy berkata: “Anjing itu
bukan mukallaf (dibebani untuk menjalankan syariat).” Maka
Imam Ahmad menjawab: “Kita tidaklah pantas mendapatkan permisalan yang buruk
itu.”
Hujjah dalam hadits ini adalah bahwasanya Nabi tidaklah menyebutkan
permisalan ini, kecuali untuk menerangkan bahwa manusia itu jika menyerupai
anjing, maka ia akan tercela meskipun anjing tersebut tidaklah dikatakan
tercela dari sisi pembebanan syariat. Oleh karena itu, tidaklah kita pantas
mendapatkan permisalan yang buruk itu. Alloh –subhanahu- telah
menerangkan dalam firman-Nya:
}ساء مثلًا{
“Amat buruklah perumpamaan…” (QS. Al-A’rof: 177)
Sesungguhnya permisalan dengan hewan anjing adalah permisalan yang
buruk dan seorang mukmin itu terbebas dari permisalan yang buruk. Jika ia
mempunyai permisalan buruk dari anjing, maka ia menjadi tercela sebesar apa
yang ada pada permisalan buruk tersebut.” (Majmu’ Fatawa: 32/258)
Beliau –rohimahulloh- juga berkata: “Kesimpulannya, bahwa
penyerupaan (tasyabbuh) terhadap sesuatu itu mendatangkan pujian dan
celaan sesuai dengan yang diserupai. Akan tetapi meskipun yang diserupai itu
bukan mukallaf, maka hal itu tidaklah meniadakan bentuk taklif (pembebanan
syariat) bagi orang yang menyerupainya, sebagaimana hal itu jika ada orang yang
menyerupai anak kecil atau orang gila. Wallohu subhanahu a’lam.” (Majmu’
Fatawa: 32/259, cet. Maktabah Ibnu Taimiyah).
26. Di antara yang menunjukkan atas besarnya perkara penyelisihan
terhadap penghuni neraka Jahim tersebut adalah hadits Abu Huroiroh –rodhiyallohu
‘anhu-, beliau berkata: “Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam-
bersabda:
«إن اليهود والنصارى لا
يصبغون فخالفوهم»
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani itu
tidak menyemir uban mereka, maka selisihilah mereka.” (HR. Bukhori, no. 3462, kitab Ahadits Ambiya’, bab Maa
Dzukiro ‘an Bani Isroildan Muslim, no. 2103, kitab Libas,
bab Fii Mukholafatil Yahud) dan yang selainnya dari dalil-dalil
tentang perintah merubah warna uban.
Syaikhul Islam –rohimahulloh- berkata: “Lafadz hadits ini menunjukkan
perintah untuk menyelisihi mereka dan larangan untuk menyerupai mereka untuk
membiarkan warna putih uban yang itu bukanlah hasil perbuatan kita sendiri.
Maka pelarangan untuk melakukan tasyabbuh terhadap mereka itu
lebih utama. Oleh karena itu, perbuatan tasyabbuh tersebut hukumnya
haram berbeda dengan yang pertama.” (Al-Iqtidho’: 1/303, cet. Maktabah
Ar-Rusyd).
Demikianlah risalah
ringkas ini saya susun sebagai nasihat kepada diri saya sendiri dan Muslimin,
semoga Alloh memberkahi.
والحمد لله رب العالمين.
([1]) HR. Ibnu Hibban dalam shohihnya, no. 2667 (Al-Ihsan),
kitab Sholat, bab Sujud Sahwi, cet.Muassasah Ar-Risalah dan Ibnu Majah, no. 1210,
kitab Sholat, bab Maa Ja-a Fiiman Syakka…, cet. Darussalam,
dari Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiyallohu ‘anhu- dengan sanad hasan.
([2]) HR. Muslim dalam shohihnya, no. 571, kitab Masajid
wa Mawadhi’ Sholat, bab Sahwi fi Sholah, cet. Darul Kitab
Arobi, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiyallohu ‘anhu-.
([3]) Dho’if,
HR. Abu Dawud, no. 1025, kitab Sholat, bab Idza Syakka fii
Itsnatain, dari hadits Ibnu ‘Abbas –rodhiyallohu ‘anhuma-. Dalam
sanadnya terdapat perowi bernama Abdulloh bin Kaisan Abu Mujahid
Al-Marwazi meriwayatkan dari Ikrimah. Imam Dzahabi berkata: “Imam
Bukhori berkata: “Diamunkarul hadits.” Abu Hatim berkata: “Dho’if.”
An-Nasa’iy berkata: “Laisa bil-qowi.“ (lihat Mizanul
I’tidal, no. 4527, cet. Ihya’ Kutub Arobiyah)
([4]) Yaitu firman Alloh ta’ala:
﴿فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِم﴾ [التوبة: 69]
“Maka kalian bersenang-senang dengan bagian kalian
sebagaimana orang-orang sebelum kalian bersenang-senang dengan bagian mereka.”
([5]) HR. Abu Dawud, no. 2353, kitab Syiyam,
bab Maa Yustahabbu Lin Ta’jilil Fithr, cet. Darussalam: “Telah
mengabarkan kepada kami Wahb bin Baqiyah dari Kholid dari Muhammad
bin ‘Amr dariAbu Salamah dari Abu Huroiroh dari Nabi –shollallohu
‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda demikian.
Wahb bin Baqiyah Abu Muhammad Al-Wasithi dikenal dengan nama: Wahban, tsiqoh.
(Tahdzib: 4/328, cet. Ar-Risalah). Kholid bin Abdillah
Al-Wasithi Ath-Thohhan, distiqohkan oleh Imam Ahmad, Abu Hatim Ar-Rozi dan
Abu Zur’ah Ar-Rozi, sebagaimana dalam Jarh wat Ta’dil, no. 1536,
cet. Darul Fikr. Muhammad bin ‘Amr bin Alqomah Abu Abdillah Al-Laitsi,
dia hasanul hadits lahu auham. (Tahdzib: 3/662, cet.
Ar-Risalah)
Kesimpulannya bahwa hadits ini hasan, walhamdulillah.
([6]) Dari Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiyallohu ‘anhu-
bahwa Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو سلكوا جحر ضب لسلكتموه». قلنا: يا رسول الله اليهود والنصارى؟ قال: «فمن؟».
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Sampai-sampai jika mereka melalui jalan Dhobb (jalannya sempit, gelap dan
berliku-liku), niscaya kalian akan mengikutinya juga.” Kami bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah
mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Jawab beliau: “Siapa lagi kalau bukan
mereka?!” (HR. Bukhori, no. 3456, kitab Ahadits Ambiya’,
bab Maa Dzukiro ‘an Bani Isroil, cet. Darul Kitab Al-’Arobi dan
Muslim, no. 2669, kitab Al-’Ilmi, bab Ittiba’ Sunanil-Yahud,
cet. Darussalam).
([7]) Hadits shohih, HR. Abu Dawud, no. 4026 (Aunul
Ma’bud), kitab Libas, bab Fii Libsi Syuhroh, cet.
Darul Hadits. Lihat perkataan Imam Al-Albani –rohimahulloh- dalam Irwa’ul
Gholil, no. 1269. Cet. Maktabul Islami.
([8]) Hadits shohih, HR. Ibnu Majah, no.
3029, kitab Manasik, bab Qodr Hasho Romiy, cet.
Darussalam, dengan lafadz tersebut: “Telah mengabarkan kepada kami Ali
bin Muhammad, dari Abu Usamahdari ‘Auf dari Ziyad
bin Hushoin dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu
‘Abbas –rodhiyallohu ‘anhuma- demikian.
Ali bin Muhammad bin Ishaq Abu Muhammad
Ath-Thonafisi: tsiqoh. (Tahdzib:
3/19, cet. Ar-Risalah). Abu Usamah Hammad bin Salamah: tsiqoh terkenal. ‘Auf
bin Abi Jamilah Al-A’robi:tsiqoh, tertuduh berpaham Qodariyah dan Syi’ah.
(Mizan I’tidal, no. 6536, cet. Dar Kutub Ilmiyah).Ziyad bin Hushoin
bin Qois Al-Handzoli Al-Yarbu’i: tsiqoh, termasuk perowi Shohih
Muslim. (Tahdzib: 1/645, cet. Ar-Risalah).
([9]) HR. Bukhori, no. 2622, kitab Al-Hibah wa
Fadhluha, bab Laa Yahil Liahadin an Yarji’a…, cet. Dar
Kutub Arobi dan Muslim, no. 1622, kitab Al-Hibat, bab Tahrim
Ruju’ fii Shodaqoh, cet. Darussalam, dari Ibnu Abbas –rodhiyallohu
‘anhuma-.