Powered By Blogger

Translate

Jumat, 20 Juli 2012

PELAJARILAH FITNAH


بسم الله الرحمن الرحيم
MAKA PELAJARILAH FITNAH
Soal:
Apakah benar kaedah ini: “Bila terjadi perselisihan antara dua kelompok maka lihat dari dua kelompok tersebut siapa yang paling dekat dengan ulama’! Karena yang setiap yang dekat dengan ulama’ itu selalu benar?.
Jawab:
Tidak bisa diitlakkan seperti itu! Karena ada kalanya orang yang paling dekat dengan ulama terkadang di atas kesalahan, begitu sebaliknya! namun hendaknya seseorang berpatokan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman salafush sholih, Alloh Ta’ala berkata:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا  [النساء/59]
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Quran) dan Ar-Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisa’: 59). Dan Alloh Ta’ala berkata:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ  [البقرة/147]
“Kebenaran itu datangnya dari Robbmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al-Baqaroh: 147).
Lihat Khowarj ada dari mereka awalnya paling dekat dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib, namun lihat ketika Ali Rodhiyallahu ‘Anhu mau damai dengan Mu’awiyyah Rodhiyallahu ‘Anhu maka mereka tidak terima, hingga kemudian berujung dengan pemberontakan!.
Juga lihat kejadian sepuluh tahun yang lalu, Ja’far Umar Tholib dan Luqman bin Muhammad Ba’aduh serta jaringannya seperti Muhammad As-SewedUsamah Faishol MahriQomar Su’aidiMuhammad AfifuddinDzul AkmalDzul QornainLuqman JamalAsasuddin,Ja’far SholihAskaryAyip SyafrudinSyafruddin dan pengikut mereka, semuanya ketika itu merasa paling dekat dengan para ulama! Bahkan lagu-lagu mereka: “Kami bersama para ulama”, namun apa yang ada pada mereka? Apakah mereka diatas kebenaran? Wallohi tidak! Justru mereka menjadikan ulama’ sebagai tameng, mereka suka mencari muka dihadapan ulama’, berdusta atas nama ulama, ada dari mereka tidak faham dengan perkataan ulama’ namun sok faham yang kemudian menyampaikan kepada umat tidak seperti yang dikatakan ulama’ tersebut. Wallahul Musta’an. -selesai-
(Dinukil dari jawaban al-Akh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory -Ayyadahulloh- “Patokan Dalam Mengetahui Kebenaran” 16 Jumadil Ula 1433H )
Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى
Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ
قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ
telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)
Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)
Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)
Dan inilah Syaikh Robi’ Al-Madkholi imam jarh wat ta’dil masa ini menasehatkan dalam muhadhoroh beliau di hadapan para tholibul ‘ilmi:
“Tuntutlah ilmu dan bersungguh-sungguhlah dalam belajar serta bersegeralah! Dan di antara perkara-perkara yang membantu kalian dalam memahami ilmu yang shohih adalah buku-buku bantahan (terhadap ahlul batil), karena sesungguhnya hal tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Orang-orang yang tidak tahu buku-buku bantahan (terhadap ahlul batil) walaupun dia telah hafal berbagai ilmu, maka sesungguhnya dia –barokallohu fiikum- berada dalam keadaan yang goncang.
( Dinukil dari tulisan al-Akh Abu Zakariya Irham bin Ahmad Al-Jawy “Di Atas Al-haq Kami akan Berlabuh Sebuah Jawaban & Penjelasan Tuntas Kedustaan Buku “Kemana Kalian Akan Pergi dengan Fitnah ini?” Selesai ditulis hari Selasa 04 Jumadil Awwal 1430 Di Darul Hadits Dammaj -harosahalloh-. Penambahan lafadz hadits Musnad Imam Ahmad dari redaksi ISNAD)
Imam Al Wadi’y -rohimahulloh- ditanya: “Apakah berbicara tentang hizbiyyun atau tahdzir dari mereka termasuk perkara yang harom? Dan apakah perkara ini khusus untuk ulama dan bukan hak para penuntut ilmu meskipun telah jelas kebenaran bagi para penuntut ilmu tentang orang tersebut?”
Beliau -rahimahulloh- menjawab:
“Sudah semestinya untuk dia bertanya kepada ahlul ilmi tentang perkara tersebut. Akan tetapi orang yang melarikan umat dari As Sunnah, dari Ahlussunnah dan majelis ulama, maka umat harus ditahdzir dari orang itu. Jarh dan ta’dil harus orang tersebut mengetahui sebab-sebabnya dan harus bertaqwa kepada Alloh subhana wa ta’ala tentang apa yang diucapkannya, karena sesungguhnya asal dari kehormatan seorang muslim adalah terhormat.
Sebagaimana sabda Nabi -shalallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- :
فإنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah harom, sebagaimana haromnya hari kalian ini di bulan kalian ini dan di negri kalian ini”.
Akan tetapi mubtadi’ah tidak mengapa seorang thalibul ilmi memperingatkan orang darinya, pada batas-batas yang diketahuinya, secara adil. Alloh ta’ala berfirman:
وإذا قلتم فاعدلوا
“Dan jika kalian berbicara maka berlaku adillah.”
ولا يجرمنّكم شنآن قوم على ألاّ تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتّقوى
“Dan jangan sampai kebencian terhadap suatu kaum menjerumuskan kalian untuk berbuat tidak adil. Adillah kalian karena dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.”
إنّ الله يأمر بالعدل والإحسان
“Sesungguhnya Alloh memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.”
Dan Nabi -shalallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- memerintahkan Abu Dzarr untuk mengucapkan yang benar walaupun itu pahit.
Bahkan Alloh -’azza wajalla- berfirman di kitab-Nya yang mulia:
ياأيّها الّذين آمنوا كونوا قوّامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين إن يكن غنيًّا أو فقيرًا فالله أولى بهما فلا تتّبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا فإنّ الله كان بما تعملون خبيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai orang yang menegakkan keadilan, sebagai saksi untuk Alloh walaupun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap orang tua dan sanak kerabat. Kalau dia itu orang kaya ataupun miskin, maka Alloh itu lebih utama daripada mereka berdua. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga tidak berbuat adil. Dan jika kalian membolak-balikkan kata (untuk berbohong) atau berpaling maka sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
Maka harus ada keadilan ketika berbicara tentang hizbiyyun. Dan bukanlah aku maksudkan bahwasanya engkau melihat seorang mubtadi’ dan engkau menyebutkan kebaikan dan kejelekan yang ada padanya. Sesungguhnya mubtadi’ itu tidak pantas untuk kau sebutkan kebaikan dan kejelekannya.” (“Tuhfatul Mujib” hal. 187-188)
Juga Imam Robi’ bin Hadi Al madkholi -hafidhahulloh- ditanya: “Kebanyakan orang menyangka bahwasanya membantah ahlul bida’ dan ahwa’ akan mematikan proses belajar yang sedang ditempuh oleh penuntut ilmu dalam perjalanannya kepada Alloh. Apakah pemahaman ini benar?”
Beliau -hafidhahulloh- menjawab: “Ini adalah pemahaman yang bathil. Dan ini termasuk metode ahlul bathil dan ahlul bida’ untuk memberangus lidah ahlus sunnah. Maka pengingkaran terhadap ahlul bida’ termasuk pintu amar ma’ruf nahi munkar yang terbesar. Dan tidaklah umat ini punya keistimewaan terhadap seluruh umat kecuali dengan keistimewaan ini.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar dan beriman kepada Alloh.”
Pengingkaran terhadap kemungkaran merupakan penerapan dari ilmu yang telah dipelajari oleh pemuda muslim, yaitu pemahaman dari agama alloh -tabaroka wata’ala- dan penelaahannya terhadap kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya yang mulia -’alaihish shalatu was salam-.
Maka apabila perkara amar ma’ruf nahi munkar ini tidak diterapkan, khususnya terhadap ahlul bida’, maka dia bisa jadi masuk ke dalam firman Alloh -tabaroka wata’ala-:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ  – كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ
“Orang-orang yang kafir dari bani Isroil telah dilaknat dengan lisan Dawud dan ‘Isa bin Maryam. Yang demikian itu adalah karena kedurhakaan mereka dan sikap mereka yang melampaui batas. Mereka dulunya tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka kerjakan. Sungguh jelek apa yang mereka kerjakan.” (Qs.Al-Maidah 78-79)
Dan jika seseorang melihat kebid’ahan tersebar, ada penyerunya, ada pembawanya, pembelanya, dan ada orang yang memerangi ahlussunnah demi kebid’ahan itu, bagaimana dia diam saja?
Ucapan mereka,”Sesungguhnya membantah ahlul bida’ dan ahwa’ akan mematikan ilmu” ini bohong. Justru ini bagian dari ilmu dan penerapan ilmu.
Apapun yang terjadi, maka seorang penuntut ilmu itu harus mengkhususkan waktu-waktu untuk memperoleh ilmu. Dan harus bersungguh-sungguh untuk memperolehnya. Tidak bisa dia menghadapi kemungkaran kecuali dengan ilmu. Bagaimanapun keadaannya dia harus memperoleh ilmu dan sekaligus pada waktu yang sama menerapkannya. Alloh -tabaroka wata’ala- memberkahi pelajar yang mengamalkan ilmunya ini.
Dan terkadang bisa dicabut keberkahan itu manakala dia melihat kemungkaran di depan matanya tapi dia berkata,”nggak, nggak, aku belum belajar.” Dia melihat kesesatan dan ahlul bathil mengangkat syiar kebathilan dan mengajak orang kepadanya dan menyesatkan orang, dia justru berkata,”Tidak, tidak. Aku nggak mau sibuk dengan perkara-perkara ini, aku akan menyibukkan diri dengan ilmu.” Yaitu latihan untuk berbasa-basi. Semoga Alloh memberkahi kalian.” (“Ajwibatu Fadhilatusy Syaikh Robi’” hal. 34-35)
Dan dari sisi yang lebih umum, Imam Ibnu Baaz -rahimahulloh- berkata: “Maka setiap kita memiliki kewajiban. Setiap muslim di negri Alloh, di timur dan barat, di seluruh penjuru dunia. Setiap muslim, setiap penuntut ilmu, setiap ulama, dia punya kewajiban di dalam dakwah ke jalan Alloh yang dia telah dimuliakan Alloh dengannya, dan menolak syubhat-syubhat, dan membela Islam dari kebatilan, dan membantah lawan-lawannya, dengan cara-cara dan metode yang dipandangnya bermanfaat, yang menyampaikan kebenaran dan membikin manusia berminat untuk menerima kebenaran, dan dipandangnya bisa untuk menghentikan kebatilan.
Dan termasuk dari musibah yang terbesar adalah: Seseorang berkata,”Bukanlah aku yang bertanggung jawab dengan itu.” Ini salah. Ini merupakan kemungkaran yang besar. Ini bukan perkataan orang yang berakal. Kecuali jika pada posisi yang telah dicukupi oleh orang yang lain, suatu kemungkaran yang telah dihilangkan oleh orang yang lain, suatu kebatilan yang telah diperingatkan oleh orang yang lain.” –sampai pada ucapan beliau:- “Maka setiap orang harus menunaikan kewajibannya sampai kebenaran itu tertolong, dan sampai kebatilan itu tertumpas, dan sampai tegaknya hujjah terhadap lawan-lawan Islam.” (selesai) (“Al Ghozwul Fikry” karya beliau -rahimahulloh- hal. 17)
[dinukil dari 'Hizbiyyah Luqman Ba'abduh' tulisan Abu Fairuz Abdurrohman bin Sukaya Al Qudsi Al Indonesi ‘afallohu ‘anhu Di Markiz Induk Darul Hadits Dammaj Yaman]

MUTIARA YANG BERKILAU

Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى

Dahulu manusia bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan menimpaku.”

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ

قَالَ مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ

telah bercerita kepada kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi] berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan. (Musnad Imam Ahmad no.22300)

Qobishoh bin ‘Uqbah mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)

Syaihul Islam Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)