بسم الله الرحمن الرحيم
MAKA PELAJARILAH FITNAH
Soal:
Apakah benar kaedah ini: “Bila terjadi perselisihan antara dua
kelompok maka lihat dari dua kelompok tersebut siapa yang paling dekat dengan
ulama’! Karena yang setiap yang dekat dengan ulama’ itu selalu benar?.
Jawab:
Tidak bisa diitlakkan seperti itu! Karena ada kalanya orang yang paling dekat
dengan ulama terkadang di atas kesalahan, begitu sebaliknya! namun hendaknya
seseorang berpatokan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman salafush sholih,
Alloh Ta’ala berkata:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
[النساء/59]
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah
dia kepada Allah (Al-Quran) dan Ar-Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagi
kalian) dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisa’: 59). Dan Alloh Ta’ala berkata:
الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ [البقرة/147]
“Kebenaran itu datangnya dari Robbmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu”. (Al-Baqaroh: 147).
Lihat Khowarj ada dari
mereka awalnya paling dekat dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib, namun
lihat ketika Ali Rodhiyallahu ‘Anhu mau damai dengan Mu’awiyyah Rodhiyallahu
‘Anhu maka mereka tidak terima, hingga kemudian berujung dengan pemberontakan!.
Juga lihat kejadian sepuluh tahun yang lalu, Ja’far Umar
Tholib dan Luqman bin Muhammad Ba’aduh serta
jaringannya seperti Muhammad As-Sewed, Usamah Faishol Mahri, Qomar
Su’aidi, Muhammad Afifuddin, Dzul Akmal, Dzul Qornain, Luqman Jamal, Asasuddin,Ja’far
Sholih, Askary, Ayip Syafrudin, Syafruddin dan
pengikut mereka, semuanya ketika itu merasa paling dekat dengan para ulama!
Bahkan lagu-lagu mereka: “Kami bersama para ulama”, namun apa yang ada pada
mereka? Apakah mereka diatas kebenaran? Wallohi tidak! Justru mereka menjadikan
ulama’ sebagai tameng, mereka suka mencari muka dihadapan ulama’, berdusta atas
nama ulama, ada dari mereka tidak faham dengan perkataan ulama’ namun sok faham
yang kemudian menyampaikan kepada umat tidak seperti yang dikatakan ulama’
tersebut. Wallahul Musta’an. -selesai-
(Dinukil dari jawaban al-Akh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
-Ayyadahulloh- “Patokan Dalam Mengetahui Kebenaran” 16 Jumadil Ula 1433H
)
Sebagian orang menyangka bahwa memahami fitnah dan membaca
buku-buku yang menjelaskan hakekat suatu fitnah atau buku-buku yang membantah
ahlul bathil merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Hal
ini adalah persangkaan yang keliru. Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyAllohu ‘anhu- sahabat Rosululloh shallallahu ‘alayhi
wa sallam yang dipercaya untuk memegang rahasia Rosululloh shallallahu ‘alayhi
wa sallam mengatakan:
كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ
الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى
Dahulu manusia bertanya
kepada Rosululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam perkara-perkara yang baik, dan
aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut hal tersebut akan
menimpaku.”
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ
قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ
كَانَ
أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنْ
الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ قِيلَ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ
قَالَ
مَنْ اتَّقَى الشَّرَّ وَقَعَ فِي الْخَيْرِ
telah bercerita kepada
kami [Waki'] dari [Sufyan] dari ['Atho` bin As Sa`ib] dari [Abu Al Bakhturi]
berkata; Berkata [Hudzaifah bin Al Yaman]: Para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa salam bertanya beliau tentang kebaikan, tapi saya justru bertanya
tentang keburukan. Ia ditanya: Kenapa kau melakukannya? Hudzaifah bin Al Yaman
menjawab: Barangsiapa menjaga diri dari keburukan, ia berada dalam kebaikan.
(Musnad Imam Ahmad no.22300)
Qobishoh bin ‘Uqbah
mengatakan: “Tidak akan berhasil orang-orang yang tidak mengetahui perselisihan
di antara manusia.” (Jami’ Bayanil Ilmi: 3/47)
Syaihul Islam
Mengatakan: ”Siapa saja yang lebih paham terhadap kejelekan maka dia akan lebih
tunduk dan hormat terhadap kebenaran, dan dengan kadar pengetahuannya tersebut
dia akan lebih mudah untuk menerima petunjuk.” (Majmu’ Al-Fatawa : 5/118)
Dan inilah Syaikh Robi’
Al-Madkholi imam jarh wat ta’dil masa ini menasehatkan dalam muhadhoroh beliau
di hadapan para tholibul ‘ilmi:
“Tuntutlah ilmu dan bersungguh-sungguhlah
dalam belajar serta bersegeralah! Dan di antara perkara-perkara yang membantu
kalian dalam memahami ilmu yang shohih adalah buku-buku bantahan (terhadap
ahlul batil), karena sesungguhnya hal tersebut merupakan bagian yang sangat
penting dalam menuntut ilmu. Orang-orang yang tidak tahu buku-buku bantahan
(terhadap ahlul batil) walaupun dia telah hafal berbagai ilmu, maka
sesungguhnya dia –barokallohu fiikum- berada dalam keadaan yang goncang.
( Dinukil dari tulisan al-Akh Abu Zakariya Irham bin Ahmad Al-Jawy
“Di Atas Al-haq Kami akan Berlabuh Sebuah Jawaban & Penjelasan Tuntas
Kedustaan Buku “Kemana Kalian Akan Pergi dengan Fitnah ini?” Selesai ditulis
hari Selasa 04 Jumadil Awwal 1430 Di Darul Hadits Dammaj -harosahalloh-. Penambahan lafadz hadits
Musnad Imam Ahmad dari redaksi ISNAD)
Imam Al Wadi’y -rohimahulloh- ditanya: “Apakah berbicara tentang hizbiyyun atau tahdzir dari mereka termasuk perkara yang harom? Dan
apakah perkara ini khusus untuk ulama dan bukan hak para penuntut ilmu meskipun
telah jelas kebenaran bagi para penuntut ilmu tentang orang tersebut?”
Beliau -rahimahulloh- menjawab:
“Sudah semestinya untuk dia bertanya kepada ahlul ilmi tentang
perkara tersebut. Akan tetapi orang yang melarikan umat dari As Sunnah, dari Ahlussunnah dan majelis ulama, maka umat harus ditahdzir
dari orang itu. Jarh dan ta’dil harus orang tersebut mengetahui sebab-sebabnya
dan harus bertaqwa kepada Alloh subhana wa ta’ala tentang apa yang
diucapkannya, karena sesungguhnya asal dari kehormatan seorang muslim adalah
terhormat.
Sebagaimana sabda Nabi
-shalallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- :
فإنّ
دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم
هذا
“Sesungguhnya darah
kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah harom, sebagaimana haromnya
hari kalian ini di bulan kalian ini dan di negri kalian ini”.
Akan tetapi mubtadi’ah
tidak mengapa seorang thalibul ilmi memperingatkan orang darinya, pada
batas-batas yang diketahuinya, secara adil. Alloh ta’ala berfirman:
وإذا
قلتم فاعدلوا
“Dan jika kalian berbicara
maka berlaku adillah.”
ولا
يجرمنّكم شنآن قوم على ألاّ تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتّقوى
“Dan jangan sampai
kebencian terhadap suatu kaum menjerumuskan kalian untuk berbuat tidak adil.
Adillah kalian karena dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.”
إنّ
الله يأمر بالعدل والإحسان
“Sesungguhnya Alloh
memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.”
Dan Nabi -shalallohu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- memerintahkan Abu Dzarr untuk mengucapkan yang
benar walaupun itu pahit.
Bahkan Alloh -’azza
wajalla- berfirman di kitab-Nya yang mulia:
ياأيّها
الّذين آمنوا كونوا قوّامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين
والأقربين إن يكن غنيًّا أو فقيرًا فالله أولى بهما فلا تتّبعوا الهوى أن تعدلوا
وإن تلووا أو تعرضوا فإنّ الله كان بما تعملون خبيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kalian sebagai orang yang menegakkan keadilan, sebagai saksi untuk
Alloh walaupun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap orang tua dan sanak
kerabat. Kalau dia itu orang kaya ataupun miskin, maka Alloh itu lebih utama
daripada mereka berdua. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga
tidak berbuat adil. Dan jika kalian membolak-balikkan kata (untuk berbohong)
atau berpaling maka sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang kalian
kerjakan.”
Maka harus ada keadilan
ketika berbicara tentang hizbiyyun. Dan bukanlah aku maksudkan bahwasanya
engkau melihat seorang mubtadi’ dan engkau menyebutkan kebaikan dan kejelekan
yang ada padanya. Sesungguhnya mubtadi’ itu tidak pantas untuk kau sebutkan
kebaikan dan kejelekannya.” (“Tuhfatul Mujib” hal. 187-188)
Juga Imam Robi’ bin Hadi
Al madkholi -hafidhahulloh- ditanya: “Kebanyakan orang menyangka bahwasanya
membantah ahlul bida’ dan ahwa’ akan mematikan proses belajar yang sedang
ditempuh oleh penuntut ilmu dalam perjalanannya kepada Alloh. Apakah pemahaman
ini benar?”
Beliau -hafidhahulloh-
menjawab: “Ini adalah pemahaman yang bathil. Dan ini termasuk metode ahlul
bathil dan ahlul bida’ untuk memberangus lidah ahlus sunnah. Maka pengingkaran
terhadap ahlul bida’ termasuk pintu amar ma’ruf nahi munkar yang terbesar. Dan
tidaklah umat ini punya keistimewaan terhadap seluruh umat kecuali dengan
keistimewaan ini.
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat
terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, kalian memerintahkan yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar dan beriman kepada Alloh.”
Pengingkaran terhadap
kemungkaran merupakan penerapan dari ilmu yang telah dipelajari oleh pemuda
muslim, yaitu pemahaman dari agama alloh -tabaroka wata’ala- dan penelaahannya
terhadap kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya yang mulia -’alaihish shalatu was
salam-.
Maka apabila perkara
amar ma’ruf nahi munkar ini tidak diterapkan, khususnya terhadap ahlul bida’,
maka dia bisa jadi masuk ke dalam firman Alloh -tabaroka wata’ala-:
لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى
ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ – كَانُواْ لاَ
يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ
“Orang-orang yang kafir
dari bani Isroil telah dilaknat dengan lisan Dawud dan ‘Isa bin Maryam. Yang
demikian itu adalah karena kedurhakaan mereka dan sikap mereka yang melampaui
batas. Mereka dulunya tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka
kerjakan. Sungguh jelek apa yang mereka kerjakan.” (Qs.Al-Maidah 78-79)
Dan jika seseorang
melihat kebid’ahan tersebar, ada penyerunya, ada pembawanya, pembelanya, dan
ada orang yang memerangi ahlussunnah demi kebid’ahan itu, bagaimana dia diam
saja?
Ucapan
mereka,”Sesungguhnya membantah ahlul bida’ dan ahwa’ akan mematikan ilmu” ini
bohong. Justru ini bagian dari ilmu dan penerapan ilmu.
Apapun yang terjadi,
maka seorang penuntut ilmu itu harus mengkhususkan waktu-waktu untuk memperoleh
ilmu. Dan harus bersungguh-sungguh untuk memperolehnya. Tidak bisa dia
menghadapi kemungkaran kecuali dengan ilmu. Bagaimanapun keadaannya dia harus
memperoleh ilmu dan sekaligus pada waktu yang sama menerapkannya. Alloh
-tabaroka wata’ala- memberkahi pelajar yang mengamalkan ilmunya ini.
Dan terkadang bisa
dicabut keberkahan itu manakala dia melihat kemungkaran di depan matanya tapi
dia berkata,”nggak, nggak, aku belum belajar.” Dia melihat kesesatan dan ahlul
bathil mengangkat syiar kebathilan dan mengajak orang kepadanya dan menyesatkan
orang, dia justru berkata,”Tidak, tidak. Aku nggak mau sibuk dengan
perkara-perkara ini, aku akan menyibukkan diri dengan ilmu.” Yaitu latihan
untuk berbasa-basi. Semoga Alloh memberkahi kalian.” (“Ajwibatu Fadhilatusy
Syaikh Robi’” hal. 34-35)
Dan dari sisi yang lebih
umum, Imam Ibnu Baaz -rahimahulloh- berkata: “Maka setiap kita memiliki
kewajiban. Setiap muslim di negri Alloh, di timur dan barat, di seluruh penjuru
dunia. Setiap muslim, setiap penuntut ilmu, setiap ulama, dia punya kewajiban
di dalam dakwah ke jalan Alloh yang dia telah dimuliakan Alloh dengannya, dan
menolak syubhat-syubhat, dan membela Islam dari kebatilan, dan membantah
lawan-lawannya, dengan cara-cara dan metode yang dipandangnya bermanfaat, yang
menyampaikan kebenaran dan membikin manusia berminat untuk menerima kebenaran,
dan dipandangnya bisa untuk menghentikan kebatilan.
Dan termasuk dari
musibah yang terbesar adalah: Seseorang berkata,”Bukanlah aku yang bertanggung
jawab dengan itu.” Ini salah. Ini merupakan kemungkaran yang besar. Ini bukan
perkataan orang yang berakal. Kecuali jika pada posisi yang telah dicukupi oleh
orang yang lain, suatu kemungkaran yang telah dihilangkan oleh orang yang lain,
suatu kebatilan yang telah diperingatkan oleh orang yang lain.” –sampai pada
ucapan beliau:- “Maka setiap orang harus menunaikan kewajibannya sampai
kebenaran itu tertolong, dan sampai kebatilan itu tertumpas, dan sampai
tegaknya hujjah terhadap lawan-lawan Islam.” (selesai) (“Al Ghozwul Fikry”
karya beliau -rahimahulloh- hal. 17)
[dinukil dari 'Hizbiyyah
Luqman Ba'abduh' tulisan Abu Fairuz Abdurrohman bin Sukaya Al Qudsi Al Indonesi
‘afallohu ‘anhu Di Markiz Induk Darul Hadits Dammaj Yaman]