BID’AH DALAM IBADAH
SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده
ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Pembahasan yang akan dilalui dalam tulisan ini merupakan perkara
yang mesti diketahui seorang muslim, karena jalan yang mesti ditempuh dalam
menjalankan tuntutan kalimat:Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh, adalah
dengan mengamalkan sunnahnya dan menghindari pengibadatan di luar petunjuknya.
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”. (HR
Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dalam riwayat An-Nasa’i dan Al-Baihaqy Rahimahumalloh,
terdapat tambahan:
وكل ضلالة في النار
“Dan setiap kesesatan di neraka” (Dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Juga hadits tentang Haji Wada’ dimana
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة وكل
بدعة ضلالة
“Waspadailah sesuatu yang diada-adakan pada perkara-perkara.
Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, sementara setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (HR Ath-Thobrony dari
‘Irbadh bin Sariyah Rodhiyallohu ‘Anhu. Hadits ini dishohihkan
para ulama. Imam Al-Albany Rahimahullohdi As-Silsilatush
Shohihah berkata: “Para huffadz (ulama-ulama yang
mengumpulkan riwayat-riwayat hadits, mempelajari dan menghapalnya) dari dulu
sampai sekarang sepakat akan keshohihannya)
Dari kata “seluruh” pada hadits-hadits tersebut dapat dipahami
bahwa setiap perkara yang baru dalam agama ini maka hukumnya bid’ah tanpa
terkecuali. ‘Abdulloh bin
‘UmarRodhiyallohu mengatakan: “Setiap bid’ah adalah kesesatan walau
orang-orang melihatnya sebagai sebuah kebaikan”. (Atsar ini shohih,
diriwayatkan Al-Baihaqy di Al-Madkhol ilas Sunan, dan Al-Lalika’iy)
Bid’ah ada termasuk
dosa besar bahkan ada yang sampai ke derajat kekafiran.
PENGERTIAN BID’AH
Secara bahasa, kata ini diartikan sebagai sesuatu yang baru
tanpa contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku bukanlah yang pertama dari
para rosul”. (QS Al-Ahqof 9)
Adapun pengertiannya dari segi istilah syar’i, berbeda pendapat
para ulama dalam mengibaratkannya, namun sepertinya pengertian yang terlengkap
adalah yang dijelaskan Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh. Para ulama
setelahnya banyak memakai ibarat dan menyandarkannya pada penjelasan beliau.
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh dalam
kitabnya Al-I’tishom mengatakan: “Bid’ah adalah ibarat
sebuah thoriqoh dalam agama yang dibuat-buat menyerupai
syari’at. Dimaksudkan dengan berjalan diatasnya untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Alloh Subhanah“. Selesai
Kemudian beliau Rahimahulloh menerangkan:
“Maka thoriqoh adalah jalan, sabil dan sunansemuanya
bermakna sama yaitu sesuatu yang diperintahkan untuk berjalan diatasnya. Hanya
saja (dalam definisi ini) saya mengaitkannya dengan agama, karena
padanyalah thoriqohtersebut dibuat-buat, dan kepadanyalah
pembuat thoriqoh menyandarkan thoriqoh tersebut.
Demikian juga apabila thoriqoh tersebut dibuat-buat dalam masalah dunia secara
khusus, tidak dinamakan bid’ah …
… menyerupai syari’at maksudnya, bahwasanya thoriqoh tersebut
menyerupai thoriqoh syar’iyyah namun pada hakikatnya tidak
demikian, malahan dia melawan thoriqoh syar’iyyahdari berbagai sisi
…
… seandainya thoriqoh tersebut tidak menyerupai
perkara-perkara yang disyari’atkan, maka dia bukanlah bid’ah, dikarenakan dia
tergolong amal-amal kebiasaan. Hanya saja pelaku bid’ah membuat-buatnya untuk
menyerupai sunnah sehingga menimbulkan kesamaran bagi yang
lain, atau thoriqoh tersebut menjadi samar dengan sunnah.
Karena seseorang tidak akan mengikuti Rosululloh dengan sesuatu yang tidak
menyerupai perkara yang disyari’atkan, karena pada saat itu (ketika bid’ah
tidak menyerupai sunnah –pent) perkara bid’ah tersebut tidak akan mendatangkan
manfaat dan tidak akan menolak bahaya, serta orang lain tidak akan menyambutnya
…
… dimaksudkan dengan berjalan diatasnya untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Alloh Ta’ala, merupakan
makna bid’ah secara sempurna karena itulah tujuan dari “pensyari’atannya”. Hal
itu terjadi karena prinsip masuknya (orang tersebut) ke dalam bid’ah,
mendorongnya dan menganjurkan untuk berakhir kepada ibadah, karena Alloh Ta’alaberfirman:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepadaku”
Maka seakan-akan mubtadi’ (orang yang membuat
atau melakukan bid’ah) tersebut berpandangan bahwa yang diinginkan (dari ayat
tersebut) adalah makna ini (berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Alloh),
tidak jelas baginya bahwa apa-apa yang ditetapkan pemilik syari’at berupa
aturan-aturan dan batasan-batasan telah cukup. Dia menyangka -dari diri
sendiri- bahwa ketika perkara (ibadah) disebutkan secara mutlak (tidak ada
aturan dan ketentuan yang mengikat), mengharuskan (dia membuat) aturan-aturan
yang baku, dan kondisi-kondisi yang mengikat, bersamaan adanya apa-apa yang
merasuk kejiwanya berupa cinta ketenaran, atau tidak memperhitungkan
kemungkinan, maka masuklah ke dalam aturan baku (buatannya) ini unsur
kebid’ahan”. Selesai
PEMBAGIAN BI’DAH BERDASARKAN BENTUK ASALNYA
Dalil pokok yang menjelaskan masalah dan pembagian bi’dah ini
adalah sabda Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana di
Bukhory-Muslim, dari hadits ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha, bahwasanya
beliau Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan (suatu amalan atau keyakinan)
dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak”.
Dalam riwayat Muslim:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya
perintah kami, maka perkara itu tertolak”.
Dari perkataan beliau Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam:
“dalam perkara kami” diambil faidah bahwa masalah “perkara-perkara yang
dibuat-buat” adalah apa-apa yang dikaitkan dengan agama yang dahulu Nabi dan
para shohabatnya Ridhwanullohu ‘Alaihim berada di
atasnya. Maka perkara-perkara yang secara murni tidak terkait dengan
agama tidak dinamakan bid’ah.
Perkataannya beliau Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam: “tidak
ada padanya perintah kami”, masuk kedalamnya seluruh amalan yang tidak
datang perintah padanya seperti perkara-perkara yang dilarang dan
perkara-perkara mubah (boleh), yang coba-coba dimasukkan ke ibadah.
Dari kedua hadits ini diambil faidah, bahwasanya bid’ah bisa
terjadi dalam bentuk maksiat-maksiat atau perkara-perkara yang mubah, dengan
syarat pelakunya bertujuan dengannya untuk mendekatkan diri kepada Alloh.
Karena pada keadaan ini berarti pelakunya –dalam keyakinannya- telah
memasukkannya ke dalam “perkara kami”.
Karena itulah anda
akan mendapatkan ulama menghukumi sebagian amalan atau pelaku maksiat dan
kabair (dosa-dosa besar) dengan kebid’ahan, dan para ulama tidak menghukumi
sebagian yang lain dengan perbuatan yang sama.
Kesimpulannya, bahwa bentuk masuknya bid’ah ada dua bentuk:
·
Perkara yang pada asalnya memang bukan ibadah, bisa jadi
munculnya dari perkara-perkara yang dilarang ataupun perkara-perkara yang
mubah. Misal yang
pertama seperti mendekatkan diri kepada Alloh dengan musik atau tarian[1]. Adapun yang kedua seperti orang yang
mencukur kepala –selain haji dan umroh- dengan keyakinan bahwa orang yang
mencukur lebih utama dari yang tidak mencukur, meyakininya sebagai kesempurnaan
zuhud, atau menyuruh orang yang taubat untuk mencukur rambutnya[2]. Jenis bid’ah yang semacam ini dinamakan
ulama sebagai Al-Bid’atul Haqiqiyyah. Imam
Asy-Syathiby Rahimahullohmengatakan: “Sesungguhnya Al-Bid’atul
Haqiqiyyah adalah perkara yang tidak ada dalil syar’inya, baik dari
kitab, sunnah, ijma’, atau sisi pendalilan yang diakui
oleh para ulama, baik secara umum maupun secara terperinci. Oleh karena itu dia
dinamakan bid’ah -sebagaimana telah lewat penyebutannya- karena dia adalah
suatu perkara yang diada-adakan tanpa adanya contoh yang terdahulu. Meskipun
seorang mubtadi’ tidak mau dikatakan bahwa amalan tersebut telah keluar dari
syari’at, karena dia menganggap bahwa perbuatannya tersebut masuk ke dalam
konsekwensi yang terkandung di dalam dalil. Tapi pengakuan tersebut tidaklah
benar, baik dilihat dari rincian perbuatan itu sendiri maupun dari yang tampak
secara zhohir. Adapun dari sisi rincian perbuatan tersebut, maka dinilai dari
tujuan perbuatan tersebut. Adapun secara zhohir, sebenarnya dalil-dalil yang
digunakan hanyalah sekedar syubhat, bukan dalil. Itu kalau memang benar si
mubtadi’ menggunakan dalil, kalau tidak maka perkara ini jelaslah sudah.”
Selesai.
·
Perkara yang pada asalnya adalah ibadah, namun dari salah satu
atau beberapa sifatnya terjadi sesuatu yang diada-adakan. Misalnya: Dzikir jama’ah. Dari sisi
dzikir saja, maka ini adalah ibadah yang disyari’atkan. Tapi dari sisi
jama’ahnya maka ini adalah sesuatu yang dibuat-buat. Jenis bid’ah yang semacam
ini dinamakan ulama sebagai Al-Bid’atul ‘Idhofiyyah. Imam
Asy-Syathiby Rahimahulloh mengatakan: “Adapun Al-Bid’atul
‘Idhofiyyahadalah sebuah perkara yang memiliki dua sisi. Salah satu sisinya
berkaitan dengan dalil, maka dari sisi ini dia tidak dinamakan bid’ah. Adapun sisi
yang lainnya yang tidak berkaitan dengan dalil maka dia tidak berbeda dengan
bid’ah yang hakiki. Maka ketika amalan tersebut memiliki dua sisi yang tidak
bisa saling terlepas satu sama lainnya, maka kita menamakannya sebagaiAl-Bid’atul
‘Idhofiyyah. Maknanya, jika ditinjau dari salah satu sisi maka dia
adalah sunnah karena bersandar kepada dalil, namun bila ditinjau dari sisi yang
lain maka dia adalah bid’ah karena bersandar kepada syubhat bukan kepada dalil,
atau tidak bersandar kepada apapun. Perbedaan antara kedua sisi tersebut secara
makna: Dari sisi asal perkara, terdapat dalil yang mendukungnya, akan tetapi
dari sisi pelaksanaan, kondisi, atau perinciannya tidak ada dalilnya. Padahal
hal-hal seperti ini membutuhkan dalil karena kebanyakan hal ini terjadi di
dalam masalah ibadah, bukan di dalam masalah adat kebiasaan murni.” Selesai
SEMUA PERKARA YANG TIDAK ADA DI ZAMAN SALAF KEMUDIAN MUNCUL DI
ZAMAN-ZAMAN BELAKANGAN APAKAH LANGSUNG DICAP BID’AH ?
Permasalahan ini terkait dengan pembahasan Sunnah Tarkiyah, yaitu
perkara-perkara yang sengaja ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam tanpa udzur. Hal ini diketahui dengan dua cara
sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qoyyim Al-JauziyyahRahimahullohu
Ta’ala:
·
Pernyataan mereka secara gamblang bahwasanya beliau meninggalkan
ini dan itu atau tidak melakukan ini dan itu, sebagaimana perkataan mereka
tentang Sholat ‘Ied: “Tidak ada azan, tidak ada iqomah dan tidak ada
seruan”.
·
Tidak adanya penukilan dari mereka, kalau seandainya beliau
kerjakan tentulah akan muncul keinginan dan pendorong mereka, sebagian atau
salah satu dari mereka untuk menukilkannya. Maka ketika tidak satupun dari
mereka yang menukilkannya, serta tidak diketahui bahwa perbuatan tersebut
terjadi di tengah-tengah mereka, diketahui bahwa hal tersebut tidak pernah ada.
Seperti ditinggalkannya membaca niat ketika ingin sholat, atau meninggalkan
do’a bersama setelah sholat”. Selesai[3]
Dalil-dalil yang sah
tentang perkara-perkara agama ini tak terlepas dari dua bentuk. Ada dalil yang
bersifat khusus menunjukkan tata-cara secara langsung dan perinciannya, yang
seperti ini semua orang bisa memahami, baik salaf maupun orang-orang
setelahnya, yang seperti ini biasanya diamalkan oleh kaum muslimin secara
langsung. Ada lagi dalil yang bersifat umum atau samar bagi sebagian orang
dalam memahaminya, yang seperti ini mesti dikembalikan ke pemahaman salaf,
dengan melihat amalan mereka.
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh berkata di dalam
kitabnya Al-Muwafaqot (3/252-280): “Semua dalil syar’i tidak
terlepas dari salah satu kemungkinan berikut ini: Dalil yang selalu atau sering
diamalkan oleh para salaf yang terdahulu, atau dalil yang tidak diamalkan
kecuali jarang atau pada waktu tertentu saja, atau dalil yang tidak diamalkan
sama sekali. Jadi, dalil itu ada tiga jenis:
Pertama: Dalil yang selalu diamalkan atau sering. Tidaklah ada
permasalahan untuk berdalil dengannya atau beramal dengan kandungannya, dan ini
adalah sunnah yang diikuti dan jalan yang lurus. Dalil jenis ini ada yang mengandung
hukum wajib, sunnah, atau hukum-hukum yang lainnya.
Kedua: Dalil yang tidak diamalkan kecuali jarang atau pada
kondisi tertentu saja, bersamaan dengan adanya dalil lain yang lebih diutamakan
dan selalu atau lebih sering diamalkan. Dalil yang lain inilah yang merupakan
sunnah yang diikuti dan jalan yang ditempuh. Adapun dalil yang tidak diamalkan
kecuali sedikit, maka wajib untuk melakukan pemastian (tatsabbut) dalam dalil
tersebut dan dalam beramal dengan kandungannya. Adapun amalan, maka kita
mengamalkan dalil yang lebih umum dan banyak digunakan. Karena kesinambungan para ulama
terdahulu dalam menyelisihi dalil yang jarang diamalkan ini bisa jadi karena
sebab yang syar’i atau bukan karena sebab yang syar’i. Adapun kalau bukan
karena sebab yang syar’i maka hal ini tidaklah mungkin. Maka mestilah karena
suatu sebab yang syar’i yang mereka berusaha untuk mendahulukannya. Apabila
halnya seperti ini, maka beramal dengan kandungan dalil yang jarang diamalkan
menjadi seperti bentuk penolakan terhadap makna dalil yang mereka berusaha
untuk mengamalkannya, meskipun hal tersebut bukanlah penolakan dalil secara
hakiki. Maka haruslah kita berusaha untuk mengamalkan apa yang mereka berusaha
untuk mengamalkannya, dan mencocoki apa yang senantiasa mereka amalkan.
Ketiga: Dalil yang tidak didapatkan di kalangan para ulama
terdahulu yang mengamalkan dalil tersebut sama sekali. Maka jenis ini lebih
tegas (untuk ditolak) daripada jenis yang sebelumnya, dan dalil-dalil yang terdahulu lebih
utama untuk diterapkan pada kondisi ini. Pada hakikatnya apa yang diperkirakan
oleh orang-orang generasi akhir bahwasanya ia adalah dalil -menurut persangkaan
mereka- bukanlah merupakan dalil sama sekali. Sebab, jika seandainya perkara
itu adalah dalil atas suatu masalah, kenapa para sahabat dan tabi’in
tidak bisa memahaminya lalu generasi akhir ini bisa memahaminya? Bagaimana
mungkin amalnya generasi terdahulu bisa berbenturan dengan pemahaman
konsekuensi dalil tersebut dan bertentangan dengannya? Apabila generasi
terdahulu meninggalkan suatu amalan, maka apa yang dilakukan oleh generasi
akhir dari jenis yang ketiga ini adalah merupakan penyelisihan terhadap ijma’
generasi yang terdahulu, dan siapa saja yang menyelisihi ijma’ maka dia
bersalah. Sebab umat Muhammad sholallohu ‘Alaihi wa sallam tidak
akan pernah bersatu di atas kesesatan. Maka apa saja yang mereka berada di
atasnya baik berupa melakukan amalan atau meninggalkan amalan, maka ia adalah
sunnah dan perkara yang dianggap, dan itulah petunjuk. Jadi, tidaklah ada
kemungkinan kecuali benar atau salah. Siapa saja yang menyelisihi para salaf
yang terdahulu berarti dia berada di atas kesalahan, dan ini cukup. Demikian
pula hadits dho’if (lemah) yang tidak diamalkan oleh para
ulama, pembahasannya seperti pembahasan permasalahan ini.” Selesai
Sebab apa yang disepakati salaf untuk ditinggalkan tidak boleh
bagi orang setelahnya mengamalnya karena tidaklah mereka meninggalkannya
kecuali mereka tahu kalau itu tidak boleh diamalkan.[4]
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh berkata di dalam
fatwa beliau (hal. 250): “Perkara apa saja yang para salafush sholih tidak
berada di atasnya maka ia bukanlah bagian dari agama. Mereka itu (salaf) lebih
bersemangat terhadap kebaikan daripada mereka (generasi akhir). Jika seandainya
pada suatu amal terdapat kebaikan pasti mereka telah melakukannya. Allah
Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian.” (QS Al-Maidah 3)
Malik bin Anas Rahimahulloh berkata: “Perkara
apa saja yang pada masa itu (masa salaf) bukan merupakan agama, maka pada masa
ini bukanlah merupakan agama.” Selesai
Kaidah Penting:
Jika dicermati dari
beberapa amalan salaf, terdapat perkara yang berkaitan dengan agama namun tidak
pernah dilakukan sebelumnya. Apakah perbuatan itu termasuk penyelisihan
terhadap orang-orang sebelum mereka (yaitu sebelum perbuatan ini terjadi) ?
Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata di dalam
kitab Iqtidho’ Shirotil Mustaqim (1/295): “Sesungguhnya hal
ini tidak dilakukan oleh para salaf, padahal telah ada tuntutan untuk
melakukannya dan tidak adanya penghalang darinya. Jika seandainya hal
ini murni kebaikan atau lebih besar kebaikannya mestilah para salaf Rodhiyallohu
‘Anhum lebih berhak untuk melakukannya daripada kita karena
sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam lebih besar daripada kita. Mereka itu lebih
bersemangat terhadap kebaikan. Kesempurnaan kecintaan dan pengagungan terhadap
beliau hanyalah tercapai dengan mengikuti beliau, mentaatinya, mengikuti
perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhohir, menyebarkan apa
yang dibawa, dan bersungguh-sungguh di atasnya dengan hati, tangan, dan lisan.
Maka inilah jalannya orang-orang awal yang terdahulu dari kalangan Muhajirin,
Anshor, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” Selesai
Ada dua rukun yang
beliau sebutkan sebagai tolak ukur bahwa salaf meninggalkan suatu perkara
benar-benar karena perkara tersebut memang sesuatu yang terlarang dalam agama
ini. Kedua perkara itu adalah:
·
Ada tuntutan di zaman mereka untuk melakukannya, namun mereka
tidak melakukannya.
·
Mereka mampu untuk melakukannya, alias meninggalkannya bukan
karena udzur.
Jika dua perkara ini
tidak didapatkan maka tidak bisa dikatakan kalau salaf meninggalkan karena hal
tersebut terlarang dalam agama ini, secara mutlak. Kita bawa dua contoh untuk
pendekatan.
·
Rukun pertama ada tapi rukun kedua tidak ada. Seperti
memakai microphone untuk adzan. Tuntutannya ada ketika itu,
karena Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh
‘Abdulloh bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu yang bermimpi melihat
cara adzan untuk mendatangi dan menyampaikannya kepada Bilal Rodhiyallohu
‘Anhu agar dia yang adzan. RosulullohSholallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan
alasannya: “Sesungguhnya dia, lebih tinggi suaranya darimu”. Kisah
shohih ini di Sunan Abu Daud dari ‘Abdulloh bin Zaid Rodhiyallohu
‘Anhu. Memang tekhnologinya belum ada di zaman mereka, bagaimana
mereka bisa mengerjakannya ?. Jawaban seperti inilah yang diberikan bagi
orang-orang yang menuduh Salafy sebagai orang-orang yang kaku dan bodoh, dengan
ejekan: “Kenapa tidak haji pakai onta saja, kenapa tidak buat masjid dengan
pelepah korma saja, kenapa … kenapa …
·
Rukun kedua ada tapi rukun pertama tidak ada. Seperti kisah Abu
Bakr Rodhiyallohu ‘Anhuyang mengumpulkan Al-Qur’an dalam sebuah
mushaf. Awalnya beliau enggan karena hal tersebut tidak dilakukan ketika
Rosululloh masih hidup sementara mereka mampu melakukannya. Namun setelah
dibujuk-bujuk oleh ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu dengan menyebutkan
bahwa tuntutannya ada di zaman mereka yaitu banyak para penghapal Al-Qur’an
yang terbunuh di kancah perang Yamamah (tahun 12 H) menghadapi pasukan
Musailimah Al-Kadzdzab, maka akhirnya Abu Bakr menyetujuinya, dan kemudian
perkara ini disepakati oleh seluruh shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum
Ajma’in. Kisah ini di Shohih Al-Bukhory dari Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu
‘Anhu.
Inilah jawaban bagi
orang-orang yang melakukan bid’ah perayaan Isro’ Mi’roj, Maulid Nabi dsb.
Mereka melakukannya untuk meningkatkan keimanan dan kecintaan kepada
Rosululloh, maka bukankah perkara-perkara ini juga dibutuhkan oleh para salaf?
Lantas kenapa mereka tidak mengerjakannya sementara mereka mampu untuk itu?
Peringatan Penting:
Perlu dicermati juga, bahwasanya terdapat ulama Sunnah yang
terjatuh dalam ijtihadnya –Semoga Alloh mengampuni mereka- yang
kemudian diikuti oleh sebagian orang dengan fanatik buta ketika mereka
membolehkan perkara yang pada hakikatnya adalah bid’ah. Kalau bukan karena
penggambaran masalah yang disampaikan kepada mereka tidak sesuai kenyataan,
maka rata-rata kesalahan mereka kembalinya pada kekeliruan dalam memahami dan
mempraktekkan dua rukun yang disebutkan Syaikhul Islam tersebut.
PENYEBAB-PENYEBAB MUNCULNYA BID’AH
Bid’ah menyebar di
kalangan kaum muslimin, disebabkan beberapa faktor, diantaranya:
·
Tidak memahami dan mempelajari Al-Qur’an dan hadits dengan
pemahaman yang benar, sesuai dengan pemahaman Salafus sholih.
·
Tidak mengetahui ilmu hadits, sehingga bisa mengetahui mana
hadits yang sah dan diamalkan, serta mana hadits yang tidak bisa diamalkan atau
bahkan dibuat-buat.
·
Menjadikan orang-orang yang sesat dan jauh ilmunya dari
pemahaman salaf sebagai ulama panutan.
·
Fanatik dan terlalu berlebihan dalam memegang perkataan seorang
ulama, kiyai, ustadz, sehingga tidak mengembalikannya ke dalil-dalil.
·
Mengikuti dalil-dalil yang maknanya samar pada sebagian orang,
dengan tidak mengembalikannya ke pemahaman salaf.
·
Menjunjung akal dalam masalah pensyariatan, padahal tidak semua
perkara agama yang bisa dicerna oleh akal, banyak yang hikmahnya hanya
diketahui oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala
·
Mengikuti hawa nafsunya dalam menentukan hukum, hal ini sering
muncul pada orang-orang yang punya semangat besar tapi ilmu kurang.
·
Lalai dalam mempelajari pemahaman-pemahaman yang menyimpang
serta mengetahui tokoh-tokohnya, sehinggah bid’ah yang mereka masa masuk
perlahan-lahan
·
Banyak interaksi dengan orang kafir dan kebiasaan mereka
sehingga apa yang didapatkan pada mereka dipraktekkan ke dalam Islam
·
Khurafat dan adat-istiadat yang dibawa ke perkara agama
APA YANG DIDAPATKAN PELAKU BID’AH ?
Ibadah tidak bisa hanya mengandalkan semangat dan kuatnya
seseorang dalam melakukannya, karena yang dinilai adalah keihklasan dan
kecocokannya dengan petunjuk Rosulullah Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bukan
sekedar banyaknya ibadah. Karena itulah susah payah yang dikerjakan pelaku
bid’ah justru menuai banyaknya kerugian, diantaranya:
·
Amalannya tertolak
Telah lewat penyebutan hadits ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha.
Demikian juga firman AllohSubhanahu wa Ta’ala:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ
أَعْمَالًا ۞ الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Maukah kalian Kami kabarkan
dengan orang yang paling rugi amalannya ?. Yaitu orang-orang yang sia-sia
perbuatannya di kehidupan dunia sementara mereka menyengkan telah berbuat
sebaik-baiknya” (Al-Kahf 103-104)
·
Taubatnya terhalang selama dia masih dalam kebid’ahannya
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله احتجز التوبة عن صاحب كل بدعة
“Sesungguhnya Alloh menghalangi taubat pemilik setiap
bid’ah” (HR Thobrony dari AnasRodhiyallohu
‘Anhu, dishohihkan Imam Al-Albany Rahimahulloh)
·
Tidak bisa mendatangi telaga Rosululloh kelak di padang mahsyar
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أنا فرطكم على الحوض وليرفعن رجال منكم ثم
ليختلجن دوني فأقول يا رب أصحابي ؟ فيقال إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك
“Aku akan mendahului kalian di telaga, dan sungguh Alloh akan
menampakkan (kepadaku) sekelompok lelaki dari kalian, kemudian Dia memalingkan
mereka sebelum sampai kepadaku. Maka Aku katakan: “Wahai Robb, shohabatku[5] ?”. Lantas dikatakan: “Sesungguhnya
engkau tidak mengetahui apa yang mereka buat-buat sepeninggalmu”. (Bukhory-Muslim dari ‘Abdulloh bin
Mas’ud rodhiyallohu ‘Anhu)
·
Menanggung dosa orang-orang yang mengikuti perbuatannya
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa yang membuat suatu jalan (metode) yang jelek di
dalam Islam, maka dia akan menanggung dosa atas jalan dibuatnya itu serta dosa
orang-orang yang beramal dengannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa
orang-orang (yang mengikuti) tersebut sedikitpun”. (HR Muslim dari Jarir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu
‘Anhu)
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Ditulis oleh: Abu
Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy
24 Jumadits Tsani 1433
H
KITAB-KITAB SEPUTAR MASALAH INI:
·
Al-I’tishom karya
Imam Asy-Syathiby Rahimahullohu Ta’ala
·
Al-Muwafaqot karya
Imam Asy-Syathiby Rahimahullohu Ta’ala
·
Iqtidho’ Shirotil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullohu
Ta’ala
·
Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi’ Fil Ummah karya Syaikh Salim Al-Hilaly Hafizhohullohu
Ta’ala
[1] Jami’ul Ulum wal Hikam (1/60)
karya Al-Hafizh Ibnu Rojab Rahimahulloh Ta’ala
[2] Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (21/118)
[3] I’lamul Muwaqqi’in (2/389)
dengan sedikit perubahan dan peringkasan
[4] Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘Ala ‘Ilmil
Kholaf (hal 31) karya Al-Hafizh Ibnu Rojab Rahimahulloh Ta’ala
[5] Pendalilan dengan hadits ini dari sisi
keumuman makna. Adapun sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang tersebut
adalah segelintir orang yang sempat melihat Rosululloh kemudian murtad. Baik
orang-orang yang baru masuk Islam maupun orang-orang badui tidak senantiasa
bersama beliau. Seperti halnya orang-orang myrtad yang diperangi Abu Bakr
karena menentang syari’at zakat. Lihat Syahr Shohih Muslim karya
An-Nawawy danFathul Bari karya Ibnu Hajar Rahimahumalloh.