HADITS DHO’IF DAN HUKUM BERAMAL DENGANNYA
Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits
Al-Minangkabawy
2 Sya’ban 1433 H
Dammaj Harosahalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن
لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى
آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Diantara musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin sejak
generasi permulaan adalah menyebarnya hadits-hadits dho’if (lemah)
dan maudhu’ (palsu) di kalangan mereka. Saya tidak
mengecualikan seorang pun dari mereka walaupun ulama, kecuali orang-orang yang
Alloh kehendaki dari kalangan imam-imam ilmu hadits dan kritikusnya, seperti
Al-Bukhory, Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim Ar-Rozy dan selain mereka. Penyebaran
hadits-hadits seperti ini berdampak pada munculnya kerusakan yang banyak,
diantaranya ada yang berkaitan dengan keyakinan terhadap perkara ghoib,
diantaranya ada yang berkaitan dengan perkara-perkata pensyari’atan… [Muqoddimah
Silsilah Ahaditsid Dho’ifah wal Maudhu’ah karya Imam Al-Albany Rahimahulloh]
Kaum muslimin meyakini bahwa As-Sunnah merupakan pokok utama
dalam syari’at ini, barangsiapa yang mengingkari As-Sunnah, maka pada
hakekatnya dia telah mengingkari Al-Qur’an[1]. Alloh berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ^ قُلْ أَطِيعُوا
اللَهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِين
“Katakanlah wahai Muhammad: “Apabila kalian mencintai Alloh,
maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.
Alloh adalah Ghofur (maha pengampun) dan Rohiim (maha pemberi rahmat).
Katakanlah wahai Muhammad: “Taatlah kalian kepada Alloh dan Rosul-Nya. Jika
kalian berpaling, sesungguhnya Alloh tidak mencintai orang-orang yang
kafir.” (Ali ‘Imron: 31-32)
Sunnah tersebut kita ketahui dari hadits-hadits yang telah
dikumpulkan dalam berbagai kitab. Namun tidak semua hadits yang dinukilkan bisa
diyakini kebenarannya dari RosulullohSholallohu ‘Alaihi wa Sallam,
karena terdapatnya susupan-susupan yang muncul pada kitab-kitab hadits yang
diakibatkan kekeliruan periwayatnya atau pada hakikatnya hadits tersebut memang
tidak ada rantai periwayatannya sama sekali, namun dimasukkan oleh orang-orang
yang ingin menyebarkan pemahaman-pemahamannya atau tujuan-tujuan lainnya.
ANCAMAN DAN PERINGATAN ROSULULLOH TENTANG PARA PENYUSUP TERHADAP
HADITS NABAWI
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّار
“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka ambillah
tempat duduknya dari neraka.” (HR. Muslim dari Abu Hurairoh dan Rodhiyallohu ‘Anhu)
Bersamaan dengan kerasnya ancaman tersebut, beliau sendiri telah
mengkabarkan bahwa tetap akan ada yang bakal melanggarnya. Beliau Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ
تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Akan terdapat di akhir umatku ini, orang-orang yang
menyampaikan hadits yang tidak pernah didengar oleh kalian dan juga bapak-bapak
kalian. Maka menjauhlah kalian dari mereka dan jauhkanlah mereka dari kalian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu
‘Anhu)
Pada hadits ini
terdapat isyarat tentang munculnya para pendusta yang akan menyusupkan
hadits-hadits palsu ke dalam agama ini, sebagaimana diterangkan dalam riwayat
lain:
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ،
يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا
آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُم
“Akan terdapat di akhir umatku ini para dajjal pendusta, mereka datang kepada kalian dengan
hadits-hadits yang tidak pernah didengar oleh kalian dan juga bapak-bapak
kalian. Maka menjauhlah kalian dari mereka dan jauhkanlah mereka dari kalian.
Jangan sampai mereka menyesatkan dan memfitnah kalian.” (HR Muslim
dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Pada hadits tersebut terdapat isyarat bahwa tidak sepantasnya
hadits itu diambil, kecuali dari orang-orang yang dipercaya, diketahui kekuatan
hapalan dan tingkat ketelitiannya serta kejujuran dan sifat amanahnya. Demikian
seterusnya sifat orang-orang dalam rantai periwayatan sampai kepada shohabat.
Pada hadits tersebut juga terdapat tanda-tanda kenabian dan mukjizat beliau.
Terbukti terdapat di setiap zaman banyaknya para pendusta yang seringnya muncul
dari kalangan orang-orang bodoh yang berpemahaman sufi. [Faidhul Qodhir
Syarhu Jami’ish Shogir 4/132-133 karya Al-Munawy Rahimahulloh]
TERJAGANYA SYARI’AT AGAMA INI DENGAN ISNAD, DENGANNYA BISA
DIPERIKSA KEABSAHAN PENUKILAN-PENUKILAN
Diantara nikmat besar yang Alloh karuniakan kepada umat ini
adalah Alloh menjaga sunnah nabi-Nya yang terus diriwayatkan oleh para ulama
dari generasi ke generasi sehingga bisa diperiksa dan diketahui keabsahan
hadits tersebut dengan melihat kondisi orang-orang yang terdapat pada isnad (rantai
periwayatan), sehingga syari’at ini tetap terjaga -walaupun pada sebagian
orang- dari kekeliruan ataupun niat jahat orang-orang yang ingin mengubah agama
ini sebagaimana yang terjadi pada agama-agama terdahulu.
Alloh memuliakan agama ini dengan isnad yang
tidak diberikan kepada selainnya. Maka berhati-hatilah kalian dari mengikuti
langkah-langkah Yahudi dan Nashroni dengan menyampaikan hadits tanpa sanad,
sehingga kalian mencabut nikmat Alloh dari diri kalian, menghantamkan tuduhan
kepada kalian, merendahkan kedudukan kalian, bergabung dengan kaum yang Alloh
laknat dan murkai, menempuh jalan mereka… [Sirojul Muriidiin karya Imam
Al-Qodhi Abu Bakr Ibnul ‘Aroby Rahimahulloh sebagaimana
dinukilkan oleh Al-Kattany dalam Fahrosul Faharis 1/80 Rahimahulloh]
Ilmu isnad dan periwayatan termasuk perkara yang Alloh khususkan
bagi umat MuhammadSholallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menjadikannya
sebagai jembatan untuk mengetahui syari’at agama ini. Ahli Kitab (Yahudi dan
Nashrani) tidak memiliki isnad yang dengannya mereka bisa menelusuri
nukilan-nukilan, demikian juga para ahlul bid’ah, orang-orang sesat dalam umat
ini. Isnad tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang yang Alloh muliakan dengan
anugerahnya, yang itu Ahlus Islam, Ahlussunnah. Dengannya mereka membedakan
mana yang “sehat” dengan yang “sakit”, yang “bengkok” dengan yang “lurus”.
Sementara para ahlul bid’ah dan orang-orang kafir mereka hanya mengandalkan
nukilan-nukilan tanpa isnad, mereka membangun agama mereka di atas
nukilan-nukilan tersebut, tidak bisa dengannya mengetahui mana yang haq dari
kebathilan. [Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu TaimiyyahRahimahulloh: 1/9]
Sesuatu yang dinukilkan orang-orang di belahan timur, barat atau
keseluruhannya, atau yang dinukilkan seseorang yang terpercaya dari orang yang
semisalnya, namun ujungnya terhenti pada seseorang yang antara dia dengan
Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam terdapat pemisah (periwayat)
satu orang atau lebih. Orang ini tidak menyebutkan siapa pemisah yang telah
mengabarkan kepadanya syari’at Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam sehingga
pemisah tersebut tidak bisa diketahui. Model seperti ini banyak diambil oleh
kaum muslimin, namun kita tidak mengambilnya sama sekali dan tidak juga
menyandarkan kepada Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, karena kita
tidak mengetahui siapa yang menyampaikan hadits dari Nabi Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam. Bisa jadi orang tersebut tidak bisa dipercaya atau
diketahui bahwa apa yang diriwayatkan darinya berbeda dengan riwayat-riwayatnya
yang dikenal. Jenis seperti (terakhir) ini banyak terdapat pada
penukilan-penukilan Yahudi bahkan hal ini lebih tinggi daripada apa yang ada
pada mereka, karena mereka tidak mendekatkan isnad mereka ke Musa sebagaimana
dekatnya kita dengan Muhammad Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan
isnad mereka terhenti dan ini mesti, karena antara mereka dan Musa ‘Alaihis
Salam lebih dari tiga puluh generasi dalam seribu lima ratus tahun
lebih. Nukilan mereka hanya sampai kepada Hilal, Syamaany, Mar’aqiima dan
semisal mereka. Saya menyangka mereka cuma punya satu masalah yang diriwayatkan
dari pendeta mereka dari nabi diantara nabi-nabi mereka yang terakhir secara
langsung, tentang seorang lelaki menikahi anaknya apabila saudara lelaki
perempuan tersebut meninggal. Adapun nashrani mereka tidak punya penukilan
dengan sifat ini, kecuali pada masalah pengharaman perceraian saja, bersamaan
dengan itu nukilan ini berputar pada para pendusta yang diketahui kedustaannya…
Tidak ada dalil bagi kita dari perbuatan seseorang selain yang
diperintahkan Alloh Ta’ala untuk mengikutinya dan mengutusnya kepada kita untuk
menjelaskan agama-Nya, apalagi kalau penukilan perbuatan mereka terdapat
tambahan dari orang-orang yang keliru. Tidak ada hujjah pada orang yang keliru
tersebut karena wahyu tidak akan datang untuk menjelaskan kekeliruannya. Jenis
ini merupakan sifat penukilan seluruh nukilan Yahudi tentang syari’at mereka
yang sekarang mereka sudah tidak di atas Taurat tadi. Demikian juga sifat
penukilan Nashrani, kecuali dalam masalah pengharaman perceraian. Yahudi tidak
memungkinkan mereka untuk mencapai Shohabat nabinya, tidak juga tabi’i, sementara
Nashoro paling tingginya hanya mencapai Syam’un, terus ke Paulus lalu
uskup-uskup mereka generasi demi generasi. Ini perkara yang tidak bisa seorang
dari mereka mengingkari dan mereka tidak akan bisa mengingkari sedikitpun,
kecuali seseorang diantara mereka mengklaim dengan cara berdusta. [Al-Fashl
fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal 2/69-70 karya Imam Ibnu HazmRahimahulloh]
Imam ‘Abdulloh Ibnul Mubarok Rahimahulloh mengatakan:
“Isnad (rantai periwayatan) merupakan bagian dari agama. Kalaulah bukan karena isnad, maka
sungguh siapa yang mau bisa mengatakan sesukanya.” [Muqoddimah Shohih
Muslim]
BERHATI-HATINYA PARA SALAF -sejak zaman shohabat- DAN ULAMA
HADITS DALAM MEMILAH SERTA UPAYA MEREKA MENJELASKAN KEPADA MANUSIA
Tak semua yang
didengar bisa diriwayatkan, seorang muslim mesti berhati-hati dalam
menyampaikan perkataan karena hal tersebut bisa malah menjadi bencana bagi
dirinya. Alloh Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak satu pun kata yang terlontar, melainkan disisinya ada
malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat(” (QS. Qof 18)
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها في النار أبعد مما
بين المشرق والمغرب
“Sungguh seorang hamba, berbicara dengan sepatah kata tanpa
peduli dengan apa yang dia ucapkan, maka dia akan tergelincir ke dalam neraka
lebih jauh dari apa-apa diantara timur dan barat.” (HR. Bukhory Muslim dari Abu
Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seorang lelaki dikatakan berdusta apabila dia
menyampaikan setiap yang dia dengar.”(HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Karena itulah, para salaf yang berhati-hati untuk menerima dan
menyampaikan sebuah perkataan terlebih-lebih perkataan tersebut disandarkan
kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Mujahid Rahimahulloh berkata: “Busyair
Al-’Adawy datang kepada Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, maka
mulailah dia menyebutkan hadits dan berkata: “Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda … Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda …”. Ibnu ‘Abbas pun tidak mengacuhkan perkataannya dan
tidak melihat kepadanya, maka Busyair berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, ada apa
denganku sehingga aku melihat engkau tidak mendengarkan haditsku? Aku
menyampaikan hadits Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam namun
engkau tidak mendengarnya?” Ibnu ‘Abbas lantas berkata: “Dahulu kami jika
mendengar seseorang berkata: “Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”,
mata-mata kami bercucuran dan kami simak dengan telinga-telinga kami. Ketika
manusia mulai menempuh berbagai cara, maka kami tidak mengambil hadits kecuali
dari yang kami kenal”.
Ibnu Sirin Rahimahulloh mengatakan: “Mereka
(para salaf) dahulu tidak bertanya tentang isnad. Namun setelah terjadi fitnah,
mereka mengatakan: “Sebutkan kepada kami nama-nama periwayat kalian”. Maka jika
dilihat (periwayatnya) ahlus sunnah, hadits-hadits mereka diambil. Sementara
jika dilihat (periwayatnya) ahlul bid’ah, hadits-hadits mereka tidak diambil”.
Kholifah bin Musa Rahimahulloh mengatakan: “Aku
mendatangi Gholib bin ‘Ubaidillah, maka dia mendiktekanku hadits. Dia berkata:
“Makhul telah berkata kepadaku … Makhul telah berkata kepadaku …”, kemudian dia
pun pergi kencing. Maka akupun melihat tumpukan kertasnya, ternyata yang
tertulis disitu: “Aban telah berkata kepadaku dari Anas… Aban telah berkata
kepadaku dari fulan…”, maka aku pun berdiri dan meninggalkannya”.
Sufyan Rahimahulloh berkata: “Dahulu
orang-orang (para ahli hadits) mengambil hadits dari Jabir (Al-Ju’fy) sebelum
dia menampakkan apa yang ditampakkannya. Maka ketika dia menampakkan apa yang
ditampakkannya orang-orangpun mencurigai hadits-haditsnya dan sebagian mereka
langsung meninggalkannya. Dikatakan kepada Sufyan: “Apa yang telah dinampakkannya?”
Sufyan berkata: “Iman terhadap Roj’ah (kembalinya seseorang
setelah kematiannya, merupakan salah satu keyakinan syi’ah-rofidhoh –pen)”.
Sallam bin Muthi’ Rahimahulloh mengatakan,
sampai kepada Ayyub (As-Sikhtiyani) berita bahwa aku mendatangi ‘Amr
(bin’Ubaid). Maka suatu hari Ayyubpun mendatangiku, dia berkata: “Engkau
melihat seseorang yang tidak aman dengan agamanya sendiri, maka bagaimana
engkau merasa aman dengannya dalam masalah hadits?” [Atsar-atsar
tersebut di atas di Muqoddimah Shohih Muslim]
‘Ufair bin Mi’dan Al-Kila’iy Rahimahulloh mengatakan:
“’Amr bin Musa Hamsh mendatangi kami, maka kami pun bekumpul dengannya di
masjid. Lalu dia mulai berbicara: “Syaikh kalian yang sholeh telah menceritakan
kepadaku …” Ketika dia (‘Amr) mulai banyak bicara kepada kami, maka kukatakan
kepadanya: “Siapakah syaikh kami yang sholeh tersebut? Sebutkanlah namanya
kepada kami biar kami mengenalnya.” ‘Amr berkata: “Kholid bin Mi’dan”. Aku
(‘Ufair) berkata kepadanya: “Tahun berapa engkau berjumpa dengannya?” Dia
menjawab: “Tahun seratus delapan”. Aku bertanya lagi: “Dimana engkau
menjumpainya?” Dia menjawab: “Di perang Armenia”. Maka akupun berkata
kepadanya: “Bertaqwalah engkau wahai orang tua dan jangan berdusta. Kholid bin
Mi’dan meninggal tahu seratus empat, apa engkau menduga engkau menemuinya empat
tahun setelah kematiannya?. Kutambah lagi, dia (Kholid) tidak pernah ikut
perang di Armenia, dahulu dia ikut perang dengan Romawi. [Al-Kifayah fi
‘Ilmi Riwayah 119 karya Al-Khothib Al-Baghdady Rahimahulloh]
Bagi yang ingin
melihat lebih lanjut, silahkan melihat kitab-kitab tentang biografi para
periwayat seperti Tahdzibut Tahdzib, Tahdzibul Kamal dll. Disitu akan
didapatkan penilaian ulama tentang para periwayat, baik yang sezaman dengan
ulama tersebut maupun yang disimpulkan dari penelitian terhadap periwayatan
hadits-hadits darinya.
Para ulama yang mengharuskan diri-diri mereka untuk membongkar
aib para periwayat hadits dan penukilnya, serta memfatwakannya ketika ditanya,
sebabnya hanyalah karena besarnya bahaya perkara tersebut (kalau
dibiarkan). Karena kabar-kabar tentang agama ini menyangkut penghalalan,
pengharaman, perintah, larangan, anjuran berbuat kebaikan dan ancaman dalam
berbuat kejelekan. Apabila ada seorang periwayat yang bukan merupakan sumber kajujuran
dan amanah, lantas datang orang lain -yang paham dengan kondisi periwayat
tersebut- untuk meriwayatkan hadits darinya, kemudian dia tidak menjelaskan
kondisi gurunya kepada orang-orang yang tidak mengenalnya, maka orang tersebut
berdosa karena perbuatannya, menipu kaum muslimin yang awam. Karena bisa saja
diantara orang yang mendengar hadits-hadits tersebut mengamalkan secara
keseluruhan atau sebagiannya sementara kebanyakan hadits-hadits tersebut
hanyalan kabar-kabar bohong yang tidak ada asalnya sama sekali.[Muqoddimah
Shohih Muslim]
UPAYA ULAMA HADITS DALAM MEMILAH YANG SEHAT DAN YANG CACAT
Ketahuilah -semoga Alloh Ta’ala memberimu taufik-, bahwasanya
wajib bagi setiap orang untuk membedakan riwayat-riwayat yang “sehat” dengan
riwayat-riwayat yang “sakit”, antara penukil-penukil yang dipercaya dengan para
penukil yang tertuduh[2]. Tidak boleh menyampaikan riwayat-riwayat
tersebut, kecuali yang jelas diketahui asalnya dan terjaga kredibilitas (baik
dari sisi kekuatan hapalan maupun kadar keilmuan dan keimanan –pen) para
penukilnya, wajib menjaga dari riwayat-riwayat yang bersalah dari orang-orang
tertuduh serta parang pembangkang dari kalangan ahlul bid’ah. Dalil atas yang
kami katakan berupa keharusan-keharusan tersebut tidak boleh diselisihi adalah
firman Alloh Jalla Dzikruhu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ
نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian
seorang yang fasiq maka jangan terburu-buru, telitilah dan pelajari dengan
seksama. Agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecerobohan) yang akhirnya membuat kalian menyesali perbuatan itu.” (QS Al
Hujurot 6)
Serta firman-Nya Jalla Tsana’uhu:
مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“Dari orang-orang yang kalian ridhoi sebagai saksi.” (QS Al-Baqoroh 282)
Dia ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Persaksikanlah oleh orang dari kalian yang
memiliki keadilan yang mendorong untuk tidak berbuat zholim.” (QS
Ath-Tholaq ayat 2)
Apa-apa yang kami sebutkan berupa ayat-ayat tersebut menunjukkan
bahwa kabar dari seorang yang fasiq, tidak diterima, persaksian
orang yang tidak ‘Adl, tidak diterima. Masalah pengkabaran,
walaupun secara makna berbeda dengan masalah masalah persaksian dari beberapa
sisi namun kedua perkara tersebut sama dalam mayoritas sisinya, kabar dari
seorang yang fasiq tidak diterima di sisi ulama sebagaimana ditolaknya
persaksian fasiq oleh mereka semua.
As-Sunnah juga menunjukkan penolakan riwayat-riwayat yang tidak
betul sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam penolakan riwayat
fasiq. Hal tersebut sebagaimana pada hadits masyhur dari Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ
أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits yang dilihatnya
adalah dusta maka dia adalah salah seorang pendusta.”
Abu Bakr bin Abi Syaibah berkata kepadaku: “Waki’ menyampaikan
kepada kami dari Su’bah dari Al-Hakam dari ‘Abdurrohman bin Abi Laila dan
Samuroh bin Jundub Rodhiyallohu ‘Anhu.” Abu Bakr bin Abi Syaibah
juga menyampaikan dari jalan yang lain, (dia berkata): “Waki’ menyampaikannya
kepada kami dari Syu’bah dari dan Sufyan, dari Habib dari Maimun bin Abi Syabib
dari Al-Mughiroh bin Syu’bah Rodhiyallohu ‘Anhu.” Samuroh dan
Al-Mughiroh berkata: “Rosululloh menyebutkan –hadits tersebut di atas-”. [Perkataan
Imam Muslim bin HajjajRahimahulloh pada muqoddimah Shohih Muslim]
Para pendusta dalam penukilan hadits diketahui dengan pencarian
dan penelitian tentang ada tidaknya celaan ulama hadits pada seorang periwayat.
Sekelompok orang dari orang-orang bodoh yang berlagak zuhud tidak mau mendengar
celaan ulama hadits terhadap para pendusta tersebut. Mereka mengatakan hal itu
adalah ghibah (menggunjing). Mereka tidak menyadari bahwasanya perbuatan ulama
hadits adalah untuk membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Kalau
tidak begitu, akan masuk ke dalam syari’at ini perkara-perkara yang bakal
merusaknya, bahkan para pendusta tersebut telah memasukkannya ke dalam syari’at
dan berusaha keras. Namun Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak
mengosongkan setiap zaman dari orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
memilah mana hadits yang muncul dari para pendusta ataupun penyelewengan yang
dilakukan oleh orang-orang bodoh, sebagai bentuk penjagaan syari’at-Nya.
Allohlah yang menguasai urusannya. [Lihat Kasyful Musykil min Haditsish
Shohihain 3/592 karya Ibnul Jauzi Rahimahulloh]
Para ulama pun membagi hadits menjadi beberapa golongan
diantaranya: Shohih, Hasan, Dho’if dan Maudhu’.
Penilaian
kategori-kategori ini dilihat dari kondisi perowi itu sendiri berupa kekuatan
dan ketelitian sesorang periwayat serta kadar keagamaannya. Disamping itu juga
dilihat keterkaitan antar periwayat dalam rantai periwayatan, jangan sampai
menggunakan hadits yang ternyata periwayat yang satu tidak mendengar dari
sebelumnya. Faktor lain yang diperhatikan adalah penelusuran riwayat-riwayat
semakna, karena dengannya bisa dilihat mana riwayat yang saling menguatkan dan
mana yang tidak. Lebuh lanjutnya dipelajari di ilmu Mushtolahul Hadits.
Dua kategori pertama adalah hadits yang bisa diterima dan wajib
digunakan. Karena dari penelitian yang dilakukan terhadap periwayatan, dapat
memberi keyakinan atau dugaan kuat bahwa riwayat tersebut sah berasal dari
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun haditsdho’if,
adalah hadits yang dicurigai kekeliruannya bisa jadi karena padanya terdapat
periwayat yang dikenal hapalan lemah atau seorang mubtadi’ yang gemar
menyebarkan pemahamannya dan sebagainya. Sementara hadits maudhu’ (palsu)
terdapat diantara periwayatnya yang diketahui sebagai pemalsu hadits atau
memang asalnya hanyalah perkataan yang masyhur di kalangan manusia kemudian
orang-orang menduganya sebagai hadits. Hadits maudhu’ tidak
boleh dipakai berdalil, karena memang bukan hadits pada hakikatnya.
HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHO’IF
Para ulama sepakat bahwasanya hadits yang syadiidud
dho’f (dho’ifnya berat) tidak boleh diamalkan, dan bahwasanya hadits
yang yang dho’if (baik berat ataupun ringan) tidak diterima dalam menetapkan
suatu hukum.
Namun mereka berselisih pada perkara: Apabila hadits
tersebut dho’if yasiir (ringan) apakah boleh dipakai
dalam fadho’il a’mal (keutamaan- keutamaan amalan) atau tidak?
Dipahami dari kata fadho’il a’mal, bahwa maksudnya
adalah: hukum amalan tersebut memiliki dalil yang sah namun ada hadits dho’if
(yang ringan) tentang balasannya (pahala-pahalanya). Termasuk
ke hukum amalan: penetapan sifat amalan, kadar, waktu dll yang semua ini tidak
boleh ditetapkan dengan dalil yang sah. Dengan demikian pada hakikatnya
disebutkan atau tidak hadits fadho’il ini, amalan tersebut
telah ditetapkan dengan dalil lain.
Namun kebanyakan ulama yang membolehkan pemakaian
hadits dho’if dalam fadho’il a’mal, pada
prakteknya tetap menggunakan hadits tersebut pada amalan-amalan yang tidak ada
dalil yang sah dalam menetapkannya. [Lihat Tamamul Minnah 35 Karya Imam
Al-AlbanyRahimahulloh]
Bahkan dalam banyak contoh, mereka memukul rata istilah dho’if,
sehingga masuk ke dalamnya syadiidud dho’f terkadang maudhu’!!! [Lihat
Hajjatun Nabi Kama Rowaha Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu 126
Karya Imam Al-Albany Rahimahulloh]
Maka: Kami nasehatkan
kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di belahan timur maupun barat untuk
meninggalkan amal dengan hadits dho’if secara keseluruhan, dan
memfokuskan perhatian mereka untuk beramal dengan apa-apa yang sah dari
Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-hadits yang shohih terdapat
kecukupan dari hadits-hadits dho’if. Dengan langkah ini terdapat
keselamatan dari jatuhnya seseorang dalam pendustaan atas Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam. [Shohih At-Targhib 1/ 65-66 Karya Imam Al-AlbanyRahimahulloh]
Yang benar dalam masalah ini adalah tidak boleh menyampaikan hadits kecuali
yang sah. Barangsiapa yang membeda-bedakan syari’at, maka wajib baginya
mendatangkan bukti. Jika seseorang menyebutkan hadits dho’if atau maudhu’ dan
hadits yang tidak ada asalnya, maka terangkan bahwasanya tidak boleh beramal
dengannya. Wallohu A’lam. [Makhroj minal Fitnah 103 Karya
Imam Al-Wadi’iy Rahimahulloh]
Imam Asy-Syaukany (Al-Fawa’idul Majmu’ah) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar (Tabyinul
‘Ajab) mengatakan: “Ini adalah pensyari’atan, maka barangsiapa yang
mengklaim adanya perincian wajib baginya untuk mendatangkan bukti dan
kebenaran. Terkadang pada suatu hadits seseorang keliru menyangkanya termasuk
ke masalah At-Targhib wat Tarhib (anjuran dan ancaman),
kemudian datang orang yang lain menarik hukum dari hadits tesebut, maka itu
adalah pensyari’atan. [Ijabatus Sa’il 449 - Imam Al-Wadi’iy Rahimahulloh]
BAGAIMANA CARA MEMILAH HADITS?
Penukilan-penukilan banyak benarnya dan banyak dustanya, maka
dalam pembedaan antara ini dan itu, kembalinya adalah kepada ilmu hadits,
sebagaimana kita kembali kepada ahlinahwu dalam membedakan mana
yang sastra arab dan mana yang bukan atau kembali ke dokter untuk masalah
pengobatan. Setiap bidang ilmu memiliki orang-orang yang dikenal dengan
keilmuannya. [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah-Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah 4/10]
Jalan bagi orang yang ingin berdalil dengan hadits-hadits dari
Kitab Sunan yang empat (Abu Daud, Tirmidzy, An-Nasa’i dan Ibnu Majah) terlebih
Sunan Ibnu Majah, serta kitab lain seperti Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah dan
Mushonnaf ‘Abdur Rozzaq, serta kitab-kitab hadits yang lain, sesungguhnya
pengumpulnya tidak memasukkan hadits yang shohih dan hasan saja. Karena itu
bagi orang yang ingin memakai hadits untuk berdalil: Kalau dia seorang yang
mampu untuk membedakan hadits yang shohih atau dho’if,
maka dia tidak boleh berdalil dengannya langsung sampai dia meneliti hadits
tesebut dari berbagai sisi. Namun jika dia tidak mampu maka dia mencari ulama
yang dikenal memiliki kemampuan untuk itu maka dia mengikutinya. Kalau tidak
bisa, janganlah dia berdalil seperti pencari kayu bakar di malam hari (tidak
bisa membedakan antara kayu dan ular), bisa-bisa dia berdalil dengan sesuatu
yang batil tanpa dia sadari. [Perkataan Ibnu Hajar -dengan sedikit
perubahan- sebagaimana dinukil di Mirqotul Mafatih 1/21]
Apabila seseorang tidak memiliki kemampuan dalam
merojihkan shohih atau dho’ifnya hadits,maka: Dia
mengikuti pendapat orang yang dia yakini paling berilmu. Hal ini tidak
teranggaptaqlid (mengikuti pendapat dengan membabi-buta), karena
Alloh ‘Azza wa Jalla mengatakan dalam Kitab-nya yang mulia:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ
فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian
seorang yang fasiq maka jangan terburu-buru menerimanya, telitilah dan pelajari
dengan seksama.” (QS. Al Hujurot 6)
Apabila dia bisa meminta (mencari) penjelasan dari yang
mendho’ifkannya, maka dia mesti memintanya. Namun apabila dia tidak mampu atau
tidak paham, maka ambil pendapat ulama (hadits) yang paling berilmu. [Dari
kaset Syaikh Muqbil Rahimahulloh beberapa hari sebelum beliau
meninggal, sebagaimana dinukil dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah li ‘Allamatid
Diyaaril Yamaniyyah 2/300. Makna semisal juga dijelaskan oleh Imam Asy-Syathiby
di Al-I’tishom 3/109]
Tidak diragukan bahwa bahwa apabila seorang Imam mengatakan:
“Ini hadits shohih, maka maknanya dia mengabarkan bahwa para
periwayat adalah orang-orang yang sempurna kredibilitasnya serta sisi kekuatan
dan ketelitian hapalan, demikian pula terpenuhi syarat-syarat hadits shohih yang
lain. Masalah ini termasuk masalah pemberitaan dari seorang yang adil, mesti
diterima dan bukan termasuk taqlid. [Taudhihul Afkar li Ma’ani Tanqihul
Anzhor 1/80 karya Al-Amiir Abu Ibrohim Ash-Shon’any Rahimahulloh]
[Lihat juga perkataan Imam Asy-Syaukany dalam Irsyadun Nuqod ila Taisiril
ijtihad]
Tapi ingat, untuk
menentukan orang yang paling berilmu jangan asal-asalan, karena ada orang yang
masyhur di kalangan muslimin sebagai pakar hadits, namun dia tergelincir dalam
beberapa perkara seperti bergampangan dalam mentsiqohkan orang yang tidak
dikenal.
Ibnu Hibban Rahimahulloh adalah seseorang yang
bergampangan dalam mentsiqohkan orang yang tidak dikenal, adapun dalam
masalah jarh, beliau keras. [Rijalul Hakim 1/8 karya Imam
Al-Wadi’iy Rahimahulloh]
Hal ini tentu berpengaruh besar dalam menentukan shohih atau
tidaknya sebuah hadits. Karena yang menjadi patokan dalam masalah ini
adalah seseorang alim yang dikenal sebagai orang yang benar-benar
cermat, teliti dan berhati-hati. Hal ini bisa kita ketahui dari
biografinya, baik berupa rekomendasi ulama lain terhadapnya maupun kritikan mereka,
serta besarnya perhatian seorang alim tersebut dalam masalah penghukuman
derajat hadits.Wallohu A’lam
Satu lagi: seseorang
mesti memperhatikan penggunaan istilah yang berbeda di kalangan ulama seperti
istilah hasan yang dipakai oleh Imam Tirmidzi, kalau diteliti, ternyata istilah
beliau tidaklah sebagaimana yang digunakan mayoritas ulama.
Beliau mengatakan dalam sunannya: “Apa-apa yang kami sebutkan
dalam kitab ini dengan hadits hasan, yang kami maksudkan dengan hasan di sisi
hanyalah: Setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat
seseorang yang muttaham bilkadzib (dalam istilahmuhadditsin maknanya
orang yang diketahui berdusta pada selain hadits nabi), dan bukan pula
haditsnya syadz, serta hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu
sisi saja, demikianlah yang kami katakan hadits hasan di sisi kami”. Maka
dengan pernyataannya ini, tidak bisa dinukilkan dari Tirmidzi hadits hasan
sebagaimana istilah yang umum. [Taqyiid wal Iidhoh syarhu Muqoddimati
Ibnish Sholah 45 karya Imam Al-‘Iroqy Rahimahulloh]
Demikian juga bagi seorang pencari kebenaran tidak mencukupkan diri dari
pembahasan ‘Ilal(kecacatan tersembunyi) yang disampaikan oleh imam
terdahulu.
Terkadang orang-orang sekarang tertipu dengan zhohir isnad,
sementara ulama-ulama hadits terdahulu telah mendapatkan ‘illah padanya.
Orang-orang belakangan tidak ada apa-apanya dibandingkan orang-orang terdahulu
seperti Imam Bukhory, Imam Ahmad, Muslim bin Hajjaj, Abu Hatim, Abu Zur’ah,
Yahya bin Ma’in, ‘Abdurrohman bin Mahdi Syufyan Ats-Tsauri dan Sufyan bin
Al-‘Uyainah, Imam Nasa’iy, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi. [Ghoratul
Asyrithoh 1/185 karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahulloh]
Mereka -para ulama terdahulu- adalah para huffazh,
mereka menghapal riwayat guru-guru dan murid-murid seorang periwayat. Bahkan
bukan satu riwayat isnad saja, melainkan mereka menghapal berapa yang
diriwayatkan gurunya dan berapa yang diriwayatkan muridnya. Sehingga jika ada
penambahan dari salah seorang diantara (murid-murid) seorang periwayat, mereka
mengenal kalau tambahan itu bukan hadits milik si periwayat. [Al-Muqtaroh
181-182 karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahulloh]
Imam Ahmad berkata: “Dahulu saya dan ‘Ali bin Al-Madiniy
berdiskusi tentang orang yang paling kokoh dalam periwayatan dari Az-Zuhriy.
Maka ‘Ali berkata: “Sufyan bin Al-‘Uyainah”. Aku berkata: “Malik bin Anas,
dialah yang paling sedikit kesalahannya dalam periwayatan dari Az-Zuhri.
Sementara Ibnu ‘Uyainah melakukan kesalahan pada sekitar dua puluh hadits yang
diriwayatkan dari Az-Zuhri yaitu pada hadits ini … itu …”, aku sebutkan sampai
delapan belas hadits. Lalu aku katakan: “Sekarang sebutkan berapa kesalahan
Malik”, maka dia menyebutkan dua … tiga hadits. Kemudian aku kembali dan
meneliti kesalahan Ibnu ‘Uyainah ternyata lebih dua puluh hadits. [‘Ilal
wa Ma’rifatir Rijal 2/349 karya Imam AhmadRahimahulloh]
Karena itu sangat disarankan bagi kaum muslimin dalam menghadapi
sebuah permasalahan untuk melihat penjelasan para ulama hadits tentang riwayat
tersebut karena bisa saja ada yang menshohihkan dan mendho’ifkan. Bagi
yang telah mengetahui adanya kecacatan sebuah hadits yang
diterangkan oleh pakarnya namun dia tetap bersikeras dengan pendapat ulama yang
dipercayanya, maka yang seperti ini telah terseret ke taqlid tanpa disadarinya,wallohu
a’lam.
Namun bukan berarti penghukuman hadits khusus bagi mereka, karena: Tidak ada dalil yang tidak
membolehkan orang sekarang untuk menshohihkan atau mendho’ifkan. Namun orang
sekarang sebatas peneliti (dari kitab dan perkataan-perkataan para Imam
terdahulu) sementara para ulama-ulama hadits terdahulu mereka, memiliki
kecermatan tentang matan (lafazh hadits), isnad, apa-apa yang menyelisihi
tarikh[3]. Maka boleh bagi seseorang untuk menghukumi
hadits apabila orang tersebut telah memenuhi syarat untuk menghukumi hadits,
dan dia bukan termasuk pengikut hawa nafsu, -menshohihkan dan mendho’ifkan
sesuai keinginannya- seperti Muhammad ‘Abduh Al-Mishry, Jamaluddin Al-Afghony,
Muhammad Rosyid Ridho, Muhammad Ghozali. Maka waspadalah kalian dari ahlul
ahwa’ baik yang terdahulu maupun sekarang [Ghoratul Asyrithoh 1/186-187
karya Imam Al-Wadi’iyRahimahulloh, dengan perubahan]
Sebagaimana masa-masa
sebelumnya, maka di masa kitapun terdapat ulama hadits, yang penjelasan
isnadnya dapat dilihat dari kitab-kitab mereka, seperti Syaikh bin Bazz,
Al-Albany, Muqbil bin Hadi, Robi’ Al-Madkholy, Yahya Al-Hajury dan ulama-ulama
lain serta para peneliti yang diketahui dari rekomendasi ulama tentang keahlian
mereka di bidang ini. Semoga kita bisa mengambil faidah dari
penjelasan-penjelasan mereka dan Alloh tambahkan kepada kita ilmu bermanfaat,
bagi pemiliknya dan kaum muslimin di dunia maupun di akhirat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
KITAB-KITAB YANG TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN:
Muqoddimah Shohih Muslim bin Hajjaj Rahimahulloh,
Faidhul Qodhir Syarhu Jami’ish Shogir karya Al-Munawy Rahimahulloh , Al-Fashl
fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal karya Imam Ibnu Hazm Rahimahulloh, Al-Kifayah
fi ‘Ilmi Riwayah karya Al-Khothib Al-BaghdadyRahimahulloh, Kasyful
Musykil min Haditsish Shohihain karya Ibnul Jauzi Rahimahulloh,
Taudhihul Afkar li Ma’ani Tanqihul Anzhor karya Al-Amiir Abu Ibrohim
Ash-Shon’anyRahimahulloh, Taqyiid wal Iidhoh syarhu
Muqoddimati Ibnish Sholah karya Imam Al-‘IroqyRahimahulloh, ‘Ilal
wa Ma’rifatir Rijal karya Imam Ahmad Rahimahulloh.
Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh, Minhajus
Sunnah An-Nabawiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh
Muqoddimah Silsilah Ahaditsid Dho’ifah wal Maudhu’ah, Tamamul
Minnah, Hajjatun Nabi Kama Rowaha Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu
‘Anhu, dan Shohih At-Targhib Karya Imam Al-AlbanyRahimahulloh
Kumpulan Fatwa Syaikh Muqbil Rahimahulloh tentang
Mushtolah Hadits dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah li ‘Allamatid Diyaaril
Yamaniyyah, Rijalul Hakim, Makhroj minal Fitnah, Ijabatus Sa’il,Ghoratul
Asyrithoh, dan Al-Muqtaroh karya Imam
Al-Wadi’iy Rahimahulloh
[1] Lihat artikel tentang: ‘Apa itu Sunnah?’
dan ‘Apa itu Bid’ah?’
[2] Keliru dalam periwayatan, asal nukil
dari siapa saja, sengaja memalsukan hadits atau perkara-perkara lain yang lebih
lanjut dikupas di ilmu Mushtholah Hadits.
[3] Kekeliruan dapat dlihat dari waktu
pengambilan hadits, sebagaimana kisah yang telah disebutkan terdahulu